Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Massiara Oleh Mila Muzakkar

Empat hari setelah lebaran, aroma kehidupan khas Jakarta mulai tercium. Arus mudik mulai terjadi. Satu-satu toko kelontong dan aneka jajajan di pinggir jalan mulai meriah. Lengang dan sepi hanya mampir sekelibat di kota yang masih menjadi incaran banyak warga daerah ini. Secepat kilat, Jakarta "menyala" lagi. 

Ini jauh berbeda dengan suasana lebaran di daerah. Ingatanku melayang jauh ke kampung halaman, saat aku masih kanak-kanak hingga awal-awal masa kuliah. Lebaran adalah momen yang sakral, sangat dinantikan, dan dipersiapkan dalam berbagai aspek. Yang berduit, yang pas-pasan, bahkan yang kekurangan untuk makan sehari-hari, sama siapnya menyambut dan menjalani momentum lebaran.

Sewaktu anak-anak, hari keempat sampai seminggu lebih setelah lebaran, orang-orang akan susah menemukanku. Bukan karena aku ngumpet atau bertapa di gunung, tapi aku dan teman-teman kecilku sibuk keliling kampung, yang dalam tradisi Bugis-Makassar, dikenal dengan nama "Massiara". 

Dengan baju, sandal, dan tas baru, yang kami beli di pasar sentral beberapa hari sebelum lebaran-biasanya ini hasil tabungan berbulan-bulan- kami siap berpetualang, Massiara ke tetangga, lalu ke rumah keluarga dekat dan jauh, hingga ke kampung sebelah. 

Untuk sampai ke kampung sebelah, terkadang kami numpang di mobil pick up milik siapa saja, yang kebetulan akan melewati kampung yang akan aku tuju. Sengatan matahari yang membakar tubuh mungil kami, atau hujan rintik, sama sekali bulan halangan.

Kami tetap senang, membayangkan akan memamerkan pakaian baru kami, juga membayangkan mencicipi-seringkali membungkus dengan sehelai tisu, lalu dimasukkan ke tas- kue-kue dan minuman enak, lalu berharap pulang dengan membawa "amplop THR". Rasanya, di situlah puncak kebahagiaan seorang anak kecil ketika lebaran. 

Di kampungku, salah satu desa di Sulawesi Selatan, Massiara juga dilakukan oleh orang dewasa. Para Ibu dan Bapak terbiasa Massiara dengan rela berdempet-dempetan di mobil bak terbuka. Biasanya dilakukan sepanjang hari, jadi tak usah heran saat melihat sebagian make up para Ibu luntur terbakar matahari di siang bolong. Dan sekali lagi, mereka tetap senang. Tak ada stempel lelah di wajahnya 

Semua Umat Massiara

Massiara adalah salah satu tradisi khas masyarakat di Sulawesi Selatan. Di kota dan di desa, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, beragama Islam atau bukan Islam, semua melakukan Massiara. 

Secara makna, Massiara bukan sekedar berkunjung, salam-salaman, foto, dan makan kue. Lebih dari itu, tradisi ini bertujuan membangun kembali silaturahmi yang sempat putus, memperkuat tali persaudaraan bukan hanya antar umat Islam, tapi juga umat noj Islam, serta bentuk syukur dan perayaan kemenangan setelah melewati satu bulan puasa. 

Yang juga penting, Massiara tak hanya dilakukan oleh antar sesama umat Islam. Para tetangga, keluarga, dan teman di luar Islam, juga turut Massiara ke rumah umat Islam. Di momen inilah terjadi obrolan-obrolan ringan misalnya, tuan rumah mengenalkan anaknya yang sudah merantau ke luar kota, atau cerita resep kue-kue yang berjejer di sepanjang meja. Suasana pun cair, semua umat Tuhan melebur dalam tali persaudaraan.

Massiara, Tinggal Kenangan

Makin kesini, tradisi Massiara mulai menurun, terutama pada masyarakat yang tinggal di kota. Di rumah-rumah, masyarakat mulai enggan membuat bertoples-toples kue. Kalau pun ada, mereka lebih memilih beli di toko kue. "Sudah jarang orang Massiara," kata Mamiku, suatu hari saat aku tanya kenapa tidak membuat kue lagi. 

Setelah merantau ke Jakarta, dan mudik lebaran, suasana indah Massiara itu memang t'lah pudar. Bahkan tetangga pun jarang saling mengunjungi. Mereka lebih suka bersalam-salaman di jalan, tepat setelah shalat ied. Jujur, aku sedih dengan kenyataan ini. Aku rindu berat dengan suasana Massiara.

Rumah-rumah yang dulu ramai dengan sandal di depan pintu, obrolan ini-itu, tawa yang sesekali meledak, juga aroma khas kue-kue mentega, t'lah tergantikan oleh layar ponsel. Pesan lebaran hasil forward dari WA pribadi dan grup WA serta video call dianggap mampu menggantikan keintiman Massiara. 

Tidak. Mereka keliru. Massiara adalah momen yang tak bisa digantikan oleh ucapan di poster, WA, dan video call. Sebab Massiara bukan sekadar salam di hari raya, ia adalah nyala yang hampir redup, tergerus gelombang dingin dunia digital.

4 April 2025

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies