Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Malin Kundang: Batu, Ibu, dan Luka yang Membatu Elza Peldi Taher

Di pesisir Pantai Air Manis, Padang, Sumatra Barat, ombak berkejaran membelai sebuah bongkahan batu yang menyerupai manusia bersujud. Itulah yang dipercaya sebagai Malin Kundang—anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu karena malu mengakui perempuan renta yang melahirkannya. Di sanalah dongeng bersatu dengan debur ombak, dan legenda melekat pada bebatuan. Batu Malin Kundang telah lama menjadi ikon wisata di Sumatra barat, tapi juga simbol luka lama yang belum sembuh dalam narasi kebudayaan Minangkabau: hubungan getir antara anak dan ibu, antara kesuksesan dan akar asal. 

Malin bukan hanya nama; ia adalah metafora tentang jarak dan lupa. Ia anak rantau yang kembali dalam jas hujan kekayaan, namun malu pada peluh ibunya yang bersisa di tikar tua. Sang ibu, dengan baju lusuh dan tubuh renta, membawa doa yang tak berubah meski waktu dan dunia telah berubah. Tetapi dongeng ini tidak berhenti sebagai kritik pada sang anak. Ia juga mempertanyakan sosok ibu yang akhirnya mengutuk. Sebuah akhir yang membuat kita meringis—karena dalam kenyataan, cinta ibu sejati tak mengenal titik, apalagi batu sebagai balas dendam.

Islam meletakkan ibu pada kemuliaan yang tinggi. Dalam surah Luqman ayat 14, Allah berfirman: “*Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah*...” Bahkan dalam hadis sahih disebutkan ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “*Siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan baik dariku?*” Nabi menjawab: “*Ibumu*.” Tiga kali berturut-turut. Baru setelah itu, ayah. Itulah takaran cinta yang tak terbandingkan.

Namun hidup bukanlah dongeng, dan ibu bukan dewi yang tak punya luka. Kita tahu, tak semua ibu mampu menahan kecewa. Di dunia nyata, cinta juga bisa terluka, dan luka bisa membeku jadi kemarahan. Dalam konteks itu, legenda Malin Kundang tak sekadar cerita moral, tapi cermin sosial tentang ekspektasi dan kesedihan yang tak tertampung. Ia mengajak kita menengok sisi manusiawi seorang ibu—yang merindu terlalu dalam, menanti terlalu lama, dan kecewa terlalu dalam pula.

Di Minangkabau, rantau adalah takdir budaya. Anak laki-laki diharapkan pergi, mencari ilmu, mencari harta, membangun nama. Tapi terlalu sering, rantau tak hanya menjauhkan tubuh, tapi juga melupakan hati. Anak yang merantau membawa harapan yang menggantung, dan harapan yang tak ditunaikan bisa menjelma jadi duka. Maka mungkin saja, legenda ini bukan tentang kutukan yang literal, tapi tentang rasa kehilangan yang mengeras menjadi simbol.

Dan di sinilah kita dihadapkan pada pertanyaan lebih dalam: apakah cinta selalu harus dibalas? Apakah seorang ibu harus terus memberi, meski tak pernah menerima kembali? Bukankah cinta yang tertinggi adalah cinta yang tak berharap kembali, seperti laut yang terus pasang meski tak pernah tahu kapan kapal akan kembali ke dermaga?

Jika legenda Malin Kundang membuat kita takut durhaka, seharusnya juga membuat kita berani mencintai dengan lapang. Karena pada akhirnya, Malin bukan hanya anak yang lupa, tapi juga gambaran dari diri kita yang mungkin—di satu titik kehidupan—pernah mengecewakan orang yang mencintai tanpa syarat. Dan ibu dalam cerita itu, adalah cermin dari setiap cinta yang pernah patah oleh diam dan lupa.

Kita tak perlu takut jadi batu. Tapi kita harus takut menjadi manusia yang kehilangan kepekaan, kehilangan akar, dan tak tahu cara pulang.

Pondok Cabe Udik 16 April 2025

Elza Peldi Taher

https://hatipena.com/esai-dan-puisi-esai/malin-kundang-batu-ibu-dan-luka-yang-membatu/

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.