![]() |
Kumpulan Puisi Esai (Mini) 2020-2025 dari 63 Penulis
- Pengantar Buku 65 Puisi Esai: Kesaksian Zaman (2025)
“Sejarah bukan hanya milik mereka yang duduk di singgasana,
tetapi juga milik tubuh-tubuh yang dilempar ke sungai,
nama-nama yang hanya dikenang oleh angin,
dan luka-luka yang menjelma puisi dalam sunyi.”
Di sebuah lorong sempit di Ambon, seorang lelaki tua duduk termenung di beranda rumahnya yang separuh hancur.
Namanya Abdullah Latua, seorang nelayan yang kehilangan rumahnya dalam kerusuhan sektarian 1999.
Ia bercerita tentang hari ketika langit berubah merah, ketika suara doa bercampur dengan teriakan ketakutan, ketika saudara berubah menjadi musuh dalam hitungan detik.
Abdullah tak pernah mencatat apa yang terjadi. Sejarahnya tercecer di antara abu dan darah. Ia tidak menulis buku, tidak membuat film dokumenter, tidak memiliki rekaman suara. Yang ia miliki hanya kenangan yang pelan-pelan terkikis oleh usia.
Tapi suatu hari, seorang penulis muda datang ke rumahnya. Ia mendengarkan kisah Abdullah, lalu menuliskannya dalam bentuk puisi esai. Sebuah kisah yang sebelumnya hanya tersimpan dalam ingatan seorang lelaki tua kini menjadi abadi dalam kata-kata.
Momen inilah yang pertama kali saya ingat lagi ketika membaca ulang sekitar 65 puisi esai dari 60 penulis lebih, dengan judul buku “Kesaksian Zaman.” Buku ini disunting oleh Dhenok Kristianti yang juga seorang penyair penulis puisi esai.
-000-
Sejarah tidak selalu dicatat oleh para pemenang. Kadang-kadang, sejarah terselip dalam bisikan mereka yang kalah, orang-orang seperti Abdullah. Kisahnya tak pernah masuk dalam buku teks sekolah. Tragedinya hanya menjadi angka dalam statistik.
Di sinilah puisi esai menjadi lebih dari sekadar karya sastra. Ia menjadi dokumen sejarah yang hidup, menjembatani masa lalu dengan masa kini, menghadirkan kembali suara-suara yang nyaris lenyap dalam arus besar peradaban.
Puisi esai bukan sekadar puisi, dan bukan sekadar esai. Ia adalah hibrida yang unik, tempat fakta dan emosi berkelindan, tempat sejarah direkonstruksi bukan hanya melalui angka, tetapi melalui rasa.
Ia memiliki akurasi akademik dari esai, tetapi juga keindahan lirikal dari puisi. Ia menyentuh akal dan hati sekaligus. Ia ekspresi hati yang memiliki catatan kaki.
Buku yang kita baca ini adalah bukti bagaimana sejarah bisa diselamatkan melalui puisi esai. Di dalamnya, ada kisah para korban perang, para imigran yang terusir dari tanahnya, anak-anak yang kehilangan rumah, para pencari keadilan yang tak pernah mendapat tempat dalam berita utama.
-000-
Di banyak kebudayaan, sejarah diwariskan lewat cerita lisan. Para leluhur mengisahkan tentang peperangan, bencana, atau kepahlawanan dalam bentuk lagu dan puisi.
Tapi zaman modern menuntut kita mencatat segalanya dalam bentuk dokumen formal. Dan di sinilah puisi esai mengambil peran unik: ia adalah bentuk sastra yang tetap mempertahankan unsur naratif lisan tetapi dikodifikasi dalam teks tertulis yang bisa diwariskan lintas generasi.
Seorang anak di masa depan mungkin akan membaca puisi esai tentang Tragedi Mei 1998, Genosida Rohingya, atau Konflik Poso. Melalui sajak dengan catatan kaki, ia akan melihat dengan matanya sendiri, akan merasakan dengan hatinya sendiri, dan dapat menelusuri kisah sebenarnya.
Sebuah buku sejarah bisa menceritakan fakta bahwa ratusan perempuan diculik dan diperkosa pada Mei 1998. Tapi puisi esai bisa membuat kita merasakan dinginnya lantai sel.
Atau membayangkan ketakutan dalam napas pendek-pendek mereka yang terkunci dalam ruangan gelap. Atau perasaan kehilangan yang tak bisa dijelaskan oleh angka dan statistik.
-000-
Sejarah resmi hanya mencatat apa yang dianggap penting oleh penguasa. Tapi puisi esai membuka pintu bagi mereka yang suaranya tidak pernah didengar.
Di dalamnya, ada kisah para buruh yang mati tanpa nama, para petani yang dirampas tanahnya, para korban perang yang terlupakan.
Di dalamnya, ada keadilan yang tidak pernah mereka dapatkan di dunia nyata. Tetapi setidaknya, dalam puisi, dalam kata-kata, mereka tetap hidup, mereka tetap dikenang.
Karena sejarah bukan hanya tentang kejadian. Sejarah adalah tentang ingat dan lupa. Dan selama puisi esai masih ditulis, kita belum lupa.
Dan jika kita belum lupa, mereka masih ada.
-000-
Karakter puisi esai menyerupai genre sastra yang lebih tua: historical fiction, tapi tetap ada perbedaannya.
Sejarah bukan hanya catatan yang tertulis dalam buku. Ia berdenyut dalam ingatan manusia, dalam luka yang belum sembuh, dalam kisah-kisah yang tetap dibisikkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, bagaimana kita menuliskannya agar tetap hidup?
Ada dua cara yang sering dipilih dalam sastra untuk mengabadikan sejarah. Historical fiction, yang menunggu waktu hingga sejarah cukup jauh untuk diceritakan ulang dalam kisah-kisah panjang yang kaya akan detail.
Dan puisi esai, yang menangkap peristiwa selagi debu masih beterbangan, sebelum kenyataan berubah menjadi arsip yang dingin.
Keduanya sama-sama ingin mengabadikan, tetapi mereka menempuh jalan yang berbeda.
Historical fiction lahir dari jeda waktu. Seorang penulis memilih sebuah peristiwa, biasanya yang sudah terjadi lebih dari lima puluh tahun lalu.
Ia menelusuri dokumen sejarah, membaca kesaksian, mewawancarai mereka yang tersisa dari masa itu. Kemudian, dengan kebebasan seorang novelis, ia menciptakan dunia di dalamnya—memperkenalkan tokoh-tokoh yang mungkin nyata, mungkin fiksi. (1)
Lalu ia menyusun dialog yang tak pernah benar-benar diucapkan, tetapi masuk akal dalam konteks zamannya.
Sejarah dalam historical fiction tidak lagi sekadar fakta, tetapi menjadi kisah yang lebih manusiawi. Ia bukan hanya tentang peristiwa besar yang dicatat dalam buku-buku akademik, tetapi tentang individu-individu kecil yang hidup di dalamnya.
Kita melihat Perang Napoleon bukan hanya sebagai strategi militer. Itu juga sebagai kehancuran yang merobek keluarga-keluarga dalam War and Peace karya Tolstoy.
Kita merasakan teror Perang Dunia II dari sudut pandang seorang gadis kecil dalam The Book Thief karya Markus Zusak.
Dengan historical fiction, sejarah dihidupkan kembali dalam bentuk yang bisa kita sentuh, yang bisa kita rasakan seolah-olah kita ada di sana.
Tetapi bagaimana dengan sejarah yang belum sempat menjadi masa lalu? Bagaimana dengan tragedi yang baru saja terjadi tadi pagi?
Di sinilah puisi esai mengambil tempatnya. Ia tidak menunggu waktu untuk memberi jarak. Ia tidak menunggu fakta didokumentasikan secara resmi. Ia mencatatnya selagi peristiwa masih berdenyut, selagi tangisan masih terdengar, selagi luka masih basah.
Seorang buruh perempuan ditemukan terbunuh setelah memperjuangkan hak-haknya. Maka lahirlah puisi esai tentang Marsinah.
Sebuah kota terbakar dalam amukan kerusuhan etnis. Puisi esai menangkap ketakutan, rasa kehilangan, dan trauma yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan statistik.
Seorang imigran di negeri asing menjadi korban kebencian yang dibangun oleh berita palsu. Puisi esai tidak hanya menuliskan faktanya, tetapi juga perasaannya, penderitaannya yang tak tertangkap oleh laporan jurnalistik biasa.
Dengan puisi esai, sejarah tidak perlu menunggu lima puluh tahun untuk dianggap pantas diceritakan. Ia bisa ditulis sekarang, saat itu juga.
-000-
Historical fiction memberi kita jarak. Ia memperindah masa lalu, membuatnya lebih mudah dicerna, membiarkan kita merenungkannya dari kejauhan.
Puisi esai, sebaliknya, tak membatasi diri menunggu 50 tahun peristiwa itu berlalu. Ia menolak untuk memberikan kenyamanan itu. Ia memaksa kita untuk juga melihat sejarah dari dekat, untuk merasakannya tanpa filter nostalgia.
Sejarah dalam historical fiction sering kali adalah kisah yang telah selesai, sudah ada akhirnya, sudah bisa direkonstruksi. Sejarah dalam puisi esai masih bergerak, masih bernafas, masih bisa berubah oleh satu kejadian lagi.
Jika historical fiction menghidupkan kembali masa lalu, puisi esai memastikan kita tidak bisa melupakan masa kini.
-000-
Maka pertanyaannya bukan mana yang lebih baik. Keduanya adalah cara untuk menjaga ingatan tetap hidup.
Tetapi jika ada kisah yang harus segera diceritakan, jika ada peristiwa yang tidak boleh menunggu hingga menjadi catatan sejarah resmi, maka puisi esai adalah jawabannya.
Karena sejarah bukan hanya apa yang terjadi dulu. Sejarah adalah apa yang masih terjadi sekarang.
-000-
Di sepanjang sejarah, puisi sering dianggap sebagai medium untuk mengekspresikan keindahan bahasa dan renungan batin.
Namun, dalam buku ini, puisi bukan sekadar estetika. Ia adalah catatan sejarah yang bernyawa, testimoni atas tragedi yang terlupakan, dan suara bagi mereka yang tak punya panggung dalam narasi besar dunia.
Buku ini menampilkan berbagai topik sosial, politik, dan kemanusiaan. Yang menulis bukan hanya oleh penyair, tetapi juga wartawan, akademisi, aktivis, dosen, dan berbagai profesi lain.
Inilah esensi puisi esai: memberi ruang bagi siapa saja untuk mencatat kenyataan melalui seni kata, menjadikan sastra sebagai alat demokrasi, bukan hanya milik elite sastra.
Dari sekian banyak kisah, ada banyak dalam puisi esai yang mewakili keragaman buku ini
1. Perang yang Mengoyak Ambon, Luka yang Tak Sembuh
Konflik Ambon meninggalkan jejak panjang dalam ingatan kolektif. Seorang saksi bercerita, bukan dengan angka-angka statistik, tetapi dengan perasaan kehilangan yang mengendap selama puluhan tahun. Puisi ini bukan hanya rekaman tragedi, tetapi juga upaya merekonsiliasi luka lama.
2. Luka Imigran dalam Dunia yang Tak Ramah
Di negara-negara maju, para imigran datang dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Tetapi sering kali, mereka justru menemukan prasangka, diskriminasi, dan tuduhan yang tak berdasar. Di era media sosial, kebencian menyebar lebih cepat dari kebenaran.
Saya sendiri yang menulis puisi esai ini. Ketika mengunjungi dua anak saya yang sekolah di London, saya merasakan suasana anti imigran yang lumayan di segmen tertentu masyarakat sana.
Sentimen itu meledak ketika terjadi kasus pembunuhan warga Inggris. Muncul aksi protes dan demo atas imigran Muslim, yang disebarkan sebagai pembunuhnya.
Namun fakta menunjukkan, ternyata pembunuhnya warga Inggris sendiri, bukan imigran Muslim. Aksi protes itu tak akan mudah termakam oleh berita palsu jika tak ada bara sentimen negatif terhadap imigran Muslim.
Saya rangkai puisi esainya agak panjang, agar terasa suasana psikologis massa.
“Ahmad, masih trauma.
Keluarganya dianiaya. Masjidnya diserang massa.
Ia dituduh bagian dari jaringan imigran, parasit, dan pembunuh.
Ia melihat dirinya pohon tua yang terhempas angin sejarah. Tangan-tangan yang gemetar oleh spirit kebencian menebangnya.
Akar kasihnya dianggap ancaman.
Di dalam masjid di Kota London,
Ahmad mencoba mengingat kembali kisah itu.
Di pagi hari, matahari masih bersembunyi,
awan menggantung kelabu, dan waktu terasa sakit.
Southport, sebuah kota kecil di UK, melihat tiga anak tak lagi tertawa.
Pisau menghentikan hidup mereka,
meninggalkan delapan anak lainnya terluka,
dua dewasa terkulai di lantai berdarah.
Jerit memenuhi udara, dan kota itu berubah.
-000-
Siapa tega membunuh anak-anak?
Namun lebih tajam dari pisau itu,
adalah kata-kata yang berlarian di dunia maya.
Nama Ali Al-Shakati, mereka sebut.
Si Ali itu pelaku pembunuh kejam anak-anak.
Ia seorang imigran, Muslim,
yang katanya tiba di London, naik perahu,
melawan ombak, membawa dosa ke tanah ini.
Dari layar-layar kecil handphone, isu menyebar,
kebencian tumpah.
“Ini mereka! Para pencari suaka!”
“Masjid-masjid mereka, sarang kejahatan!”
Teriakan menggema di jalan-jalan,
kaca jendela masjid pecah,
doa berubah jadi ketakutan.
Tapi, siapakah Ali itu?
Tak ada yang namanya Ali Al-Shakati.
Ia hanyalah bayangan,
sebuah kebohongan yang lahir dari algoritma,
dari sebuah situs bernama Channel 3 Now.
Sosok Ali yang viral ini,
tak pernah hadir,
seperti kapal yang tak pernah tiba.
Ali adalah sosok yang dilukis oleh angin,
tak pernah nyata, hanya jejak di pasir.
Ia adalah kapal tanpa pelaut,
yang berlayar di lautan kebohongan.”
Siapa pelaku kriminal yang membunuh anak-anak?
Ternyata pelaku sebenarnya seorang pria kelahiran Cardiff,
Wales, anak tanah ini,
bukan imigran.
Apalagi, bukan Muslim.”
3. Penghayat Kepercayaan dan Hak yang Masih Dipertanyakan
Ketika seseorang meninggal, seharusnya yang tersisa hanyalah doa. Namun bagi sebagian orang, kematian justru memunculkan persoalan baru: di mana mereka bisa dimakamkan? Kepercayaan yang berbeda masih menjadi alasan bagi diskriminasi di negeri yang seharusnya menjunjung toleransi.
4. Tragedi Buruh dan Marsinah yang Tak Pernah Usai. Seorang perempuan buruh yang dibunuh karena memperjuangkan hak-hak pekerja. Tahun demi tahun berlalu, tetapi keadilan masih seperti bayangan yang sulit digenggam.
Ini bukan sekadar puisi, tetapi peringatan bahwa darah kaum pekerja seringkali mengering di trotoar tanpa pernah dicatat dalam sejarah resmi.
5. Perempuan dalam Belenggu Kekerasan dan Tradisi
Dari pedalaman desa hingga kota besar, dari budaya patriarki hingga kekerasan domestik—kisah perempuan dalam puisi ini menampilkan pergulatan mereka melawan norma yang mengekang dan kekerasan yang sering dianggap lumrah.
6. Ketimpangan Sosial dan Kaum Miskin Kota
Di balik gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan mewah, ada lorong-lorong sempit di mana kaum miskin kota bertahan hidup. Mereka tidak meminta belas kasihan, tetapi hak yang seharusnya menjadi milik mereka: pendidikan, kesehatan, dan kesempatan yang sama.
7. Islam dan Politik Identitas di Era Digital
Di media sosial, ayat-ayat suci sering kali digunakan sebagai senjata. Politik identitas menjadi alat untuk meraih kekuasaan, menciptakan sekat-sekat baru di antara sesama anak bangsa. Dalam puisi ini, agama bukan hanya soal keimanan, tetapi juga medan pertempuran opini dan kekuasaan.
8. Kekerasan dalam Konflik Tanah dan Petani yang Terusir
Di banyak tempat, tanah bukan sekadar lahan, tetapi identitas dan kehidupan. Namun, atas nama investasi dan pembangunan, petani sering kali terusir dari tanah leluhur mereka. Perlawanan terjadi, tetapi apakah keadilan benar-benar berpihak kepada mereka yang tak bersuara?
9. Perjalanan Spiritual dan Krisis Keimanan
Di tengah dunia yang semakin modern, seseorang bertanya: apakah masih ada ruang untuk Tuhan? Dalam puisi ini, perdebatan antara dogma dan pencarian makna menjadi narasi utama. Kadang-kadang, yang paling religius pun mengalami kegamangan tentang apa yang benar dan apa yang hanya tradisi yang diwariskan.
10. Dilema Kemajuan Teknologi dan Krisis Kemanusiaan
Kita hidup di zaman di mana manusia dan mesin semakin menyatu. Tetapi apakah kemajuan teknologi selalu berarti kemajuan moral? Dalam puisi ini, seseorang melihat bagaimana dunia menjadi lebih canggih, tetapi juga lebih dingin dan kehilangan sentuhan manusiawi.
11. Janji Digital di Dunia Sunyi” (Isu: Penipuan dan Kesepian di Era Digital)
Di dunia maya, cinta jadi permainan,
Janji manis berpendar di layar yang dingin,
Ketika kata-kata membangun istana di awan,
Nyatanya hanya perangkap bagi hati yang rapuh
12. Tukang Es yang Dipermalukan Orang Dekat Presiden.
Di sudut jalan, seorang lelaki menjual dingin,
Tapi yang ia terima olok- olok orang dekat presiden.
Sementara hidupnya menguap di antara harga yang naik.
13. “Darmawan Menolak Takdir” (Isu: Identitas Gender dan Perjuangan Melawan Stigma)
Namanya Darmawan, tapi bukan itu dirinya,
Di tubuh yang asing, ia berjuang sendiri,
Dunia bertanya, “Siapa kau sebenarnya?”
Tapi jawabannya telah ia genggam sejak lama
14. “Tanah yang Hilang, Negeri yang Lenyap”
Di atas ladang, pemuda itu berdiri,
Tanahnya kini hanya nomor di dokumen hukum,
Di balik janji pembangunan yang nyaring diucap,
Tersembunyi reruntuhan mimpi yang tak lagi utuh.
-000-
Latar Belakang Para Penulis puisi esai di buku ini juga sangat Inklusif. Ini sesuai dengan semboyan puisi esai: “Yang Bukan Penyair, Silahkan Ambil Bagian.”
Buku ini membuktikan bahwa puisi bukan hanya milik penyair, tetapi juga milik mereka yang hidup di garis depan realitas. Di antara para penulisnya, kita menemukan:
Jurnalis yang menuliskan fakta dalam bentuk yang lebih puitis, mengubah berita menjadi kisah yang beresonansi lebih dalam.
Akademisi yang menyusun data dan teori ke dalam narasi yang lebih menggugah emosi.
Aktivis yang menjadikan puisi sebagai senjata perlawanan dan suara bagi yang terpinggirkan.
Guru dan pendidik yang mencatat bagaimana ketimpangan sosial memengaruhi generasi muda.
Inilah semangat puisi esai: sastra yang tidak eksklusif, yang membuka ruang bagi siapa pun yang ingin bersaksi atas zaman mereka.
-000-
Buku ini bukan sekadar kumpulan puisi. Ia adalah arsip perasaan, rekaman zaman, dan dokumentasi realitas yang sering diabaikan.
Sejarah bisa saja dipalsukan. Statistik bisa dimanipulasi. Tetapi kata-kata yang lahir dari pengalaman nyata tak bisa dibohongi. Puisi esai menjadi pengingat bahwa di balik setiap peristiwa besar, ada manusia biasa yang merasakan dampaknya.
Dan jika kita masih membaca, berarti kita masih ingat. Jika kita masih menulis, berarti mereka belum hilang.***
Singapura, 27 Februari 2029
(1) Tentang Historical Fiction
History Through Fictionhttps://www.historythroughfiction.comThe History of Historical Fiction, in brief
-000-
Buku dapat dibaca melalui link:
https://drive.google.com/file/d/1glS1axuvshM6b2PHmIT7PGSIuhGUnZX5/view?usp=drive_link