![]() |
Tema kajian zuhud ini menjadi penting di tengah-tengah pola pikir dan cara pandang banyak terjebak pada gaya hidup mewah, dan berorentasi pada materialistik, kesenangan fisik (hedon). Faktanya maraknya korupsi, jual beli barang haram narkoba dan cara bisnis haram adalah akar dari hilangnya pola hidup sederhana (zuhud).
Sayang sekali banyak orang lupa bahwa manusia melekatnya pada jiwa yang mesti dipenuhi kebutuhannya yaitu kesadaran spiritualitas, keseimbangan dan kesiapan berbagi dengan mereka yang tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bahasan tentang pola hidup sederhana, dan gaya hidup seimbang itu disebut zuhud.
Zuhud dalam Islam bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi lebih kepada sikap hati yang tidak terikat pada dunia serta menjadikan akhirat sebagai tujuan utama. Nabi Muhammad SAW adalah contoh utama dalam menjalankan zuhud dengan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Nabi Muhammad SAW menjalani kehidupan yang sangat sederhana, meskipun beliau memiliki kesempatan untuk hidup dalam kemewahan. Tempat tinggal Nabi sangat sederhana, bahkan atapnya terbuat dari pelepah kurma dan tidak luas. Makanan beliau sering kali hanya makan kurma dan air, bahkan dalam beberapa riwayat, pernah beberapa hari tidak menyalakan api di rumahnya karena tidak ada makanan. Pakaian Nabi tidak memakai pakaian mewah, tetapi cukup dengan yang sederhana dan bersih.
Kesederhanaan ini bukan karena beliau tidak mampu, tetapi sebagai bentuk contoh bagi umat bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada materi.
Nabi memiliki akses terhadap harta, terutama setelah penaklukan Khaibar dan kemenangan dalam berbagai peperangan, tetapi beliau tidak menimbun kekayaan untuk diri sendiri. Beberapa contoh praktik zuhud dalam aspek ini ia selalu bersedekah. Harta yang beliau dapatkan lebih banyak digunakan untuk membantu fakir miskin dan perjuangan Islam. Menolak kemewahan dunia. Ketika ditawarkan kemewahan oleh malaikat Jibril, beliau menolak dan memilih untuk hidup sebagai hamba Allah yang sederhana.
Zuhud dalam Islam tidak berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi memprioritaskan akhirat dibandingkan dunia. Nabi menunjukkan hal ini dengan banyak beribadah di malam hari, meskipun beliau memiliki tugas besar dalam memimpin umat.
Mengajarkan bahwa dunia hanyalah tempat singgah, seperti dalam hadits, "Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang pengembara." (HR. Bukhari)
Sebagai seorang pemimpin, Nabi tidak menggunakan jabatannya untuk mencari keuntungan duniawi. Tidak membangun istana atau memperkaya keluarganya. Beliau tetap hidup sederhana meskipun memiliki kekuasaan besar. Menjadi pelayan bagi umat. Nabi tetap bekerja membantu pekerjaan rumah, memperbaiki sandalnya sendiri, dan tidak bersikap seperti raja.
Zuhud Nabi bukan berarti menolak dunia secara total, tetapi memahami bahwa dunia hanyalah sarana menuju akhirat. Beberapa prinsip utama yang diajarkan Nabi tentang zuhud dunia bukan tujuan, tetapi alat untuk berbuat kebaikan. Keseimbangan antara mencari nafkah dan beribadah. Tidak tamak terhadap dunia, tetapi juga tidak malas dalam bekerja.
Zuhud sering kali disalahpahami sebagai sikap meninggalkan dunia sepenuhnya, padahal dalam Islam, zuhud bukan berarti anti-harta atau menolak kehidupan duniawi. Zuhud sejati adalah menjadikan dunia di tangan, bukan di hati—menggunakan dunia sebagai sarana untuk mencapai ridha Allah tanpa terikat padanya.
Zuhud hakikatnya adalah hati tidak terikat pada dunia. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, "Zuhud bukan berarti tidak memiliki apa-apa, tetapi tidak bergantung pada apa yang dimiliki." Zuhud dalam Islam berarti memprioritaskan akhirat di atas dunia tanpa meninggalkan tanggung jawab duniawi. Tidak terobsesi dengan harta, jabatan, atau kemewahan. Menggunakan dunia untuk kebaikan, bukan untuk kesombongan atau keserakahan.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menggunakannya dengan bijak. Nabi Sulaiman AS dan Abdurrahman bin Auf RA adalah contoh orang-orang zuhud yang tetap kaya raya, tetapi mereka tidak menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama. Dalam konteks modern, umat Islam harus menguasai ilmu, ekonomi, dan teknologi tanpa melupakan tujuan akhir, yaitu mencari ridha Allah. Zuhud bukan berarti miskin, dan memakmurkan dunia bukan berarti tenggelam dalam materialisme. Keseimbangan antara keduanya adalah kunci kebangkitan peradaban Islam. Islam mengajarkan untuk zuhud dalam hati, tetapi produktif dalam amal.
SRATEGI ZUHUD DI TENGAH MATERIALISME
Di era modern yang penuh dengan materialisme dan hedonisme, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi mengendalikan hawa nafsu terhadap dunia. Islam mengajarkan keseimbangan antara memanfaatkan dunia dan menjaga hati agar tidak terikat padanya. Beberapa strategi untuk tetap zuhud di tengah arus materialisme.
1. Paradigma Hidup yang Benar. Memahami hakikat dunia, dunia adalah ujian, bukan tujuan akhir (QS. Al-Hadid: 20). Harta dan jabatan adalah amanah, bukan kebanggaan (QS. Al-Anfal: 28). Fokus pada akhirat, tanpa meninggalkan tanggung jawab duniawi (QS. Al-Qasas: 77).
2. Mengendalikan Konsumtif. Hidup sederhana meskipun mampu membeli kemewahan. Membedakan kebutuhan dan keinginan agar tidak terjebak gaya hidup konsumtif. Tidak terpancing tren dan status sosial yang hanya mengejar pengakuan manusia.
3. Harta dan Ilmu untuk Kebaikan. Infak dan sedekah rutin, baik dalam kondisi lapang maupun sempit (QS. Ali Imran: 134). Membangun bisnis dan ekonomi yang berkah, bukan sekadar mencari keuntungan dunia. Berbagi ilmu dan keterampilan sebagai bentuk kontribusi kepada umat.
4. Menjaga Hati dari Kesombongan dan Duniawi. Menghindari riya’ dan ujub, tidak merasa lebih baik karena harta atau jabatan. Latihan bersyukur dan qana’ah (merasa cukup dengan apa yang Allah berikan). Bergaul dengan orang-orang saleh yang mengingatkan kepada akhirat.
5. Mengutamakan Ibadah dan Kesehatan Spiritual. Memperbanyak dzikir dan tafakur, mengingat bahwa dunia hanya sementara. Menjaga salat dan ibadah sunnah agar hati tetap tenang dan tidak terpaut dunia.Menghindari godaan media sosial yang sering memicu rasa iri dan ingin pamer.
Zuhud di tengah materialisme bukan berarti menjauhi dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai alat untuk mendekat kepada Allah. Seimbang antara usaha dunia dan akhirat, kaya tetapi dermawan, sukses tetapi tetap rendah hati. Dunia di tangan, akhirat di hati.
PUASA PELATIHAN ZUHUD
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga latihan mengendalikan hawa nafsu terhadap dunia. Dalam konteks zuhud, puasa membantu seseorang membebaskan hati dari keterikatan terhadap kesenangan duniawi dan menumbuhkan kesadaran akan akhirat.
1. Puasa Mengendalikan Syahwat Duniawi. Menahan keinginan makan dan minum. Melatih untuk tidak berlebihan dalam konsumsi. Menjaga lisan, mata, dan hati. Membiasakan diri untuk tidak tergoda oleh hal-hal duniawi. Mengurangi ketergantungan pada rutinitas dunia. Fokus pada ibadah dan introspeksi diri.
2. Puasa Mengajarkan Sederhana dan Qana’ah. Makan secukupnya saat berbuka dan sahur, bukan berlebihan. Tidak berfoya-foya dengan hidangan mewah, tapi berbagi dengan yang membutuhkan.Melatih rasa cukup (qana’ah), bahwa manusia bisa hidup dengan sedikit dan tetap sehat.
3. Puasa Memperkuat Hubungan dengan Allah. Mengosongkan perut, menguatkan ruh. Dengan tubuh yang ringan, ibadah lebih khusyuk. Memupuk rasa syukur, menyadari bahwa dunia ini sementara. Meningkatkan kesabaran dan tawakal, menerima setiap keadaan dengan ikhlas.
4. Puasa Sebagai Sarana Meningkatkan Kesadaran Sosial. Merasa lapar seperti fakir miskin, sehingga lebih peduli terhadap sesama. Mengajarkan dermawan, lebih mudah berbagi karena merasakan penderitaan orang lain.
Puasa adalah latihan zuhud yang konkret. Ia mengajarkan manusia untuk tidak dikendalikan oleh dunia, tetapi menjadikannya sarana menuju akhirat. Dengan puasa, seseorang bisa merasakan bagaimana hidup dengan sederhana, mengendalikan nafsu, dan lebih dekat dengan Allah.
PRODUKTIF DALAM AMAL KEBAIKAN
Zuhud tidak boleh menghalangi umat untuk produktif dalam beramal dan bekerja keras. Justru zuhud tempatnya di hati jangan ambisius, arogan dan tidak kenal aturan untuk mendapat material, nama, jabatan dan prestasi dunia. Nash Al-Qur'an dan Hadis Tentang Produktivitas dalam Amal. Islam sangat mendorong umatnya untuk menjadi produktif dalam amal, baik dalam ibadah maupun dalam aktivitas duniawi yang bermanfaat.
Al-Qur'an memerintah untuk berusaha dan tidak bermalas-malasan. Artinya.. "Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."(QS. Al-Mulk: 15). Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam harus aktif mencari rezeki dan tidak pasif dalam hidupnya.
Amal yang baik akan mendapat balasan. Artinya "Barang siapa mengerjakan kebajikan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya)."(QS. Az-Zalzalah: 7). Islam mengajarkan bahwa setiap amal, sekecil apa pun, memiliki nilai di sisi Allah. Ini mendorong produktivitas dalam amal kebaikan.
Manfaatkan waktu dengan sebaik mungkin."Demi waktu! Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran."(QS. Al-'Asr: 1-3). Ayat ini menunjukkan bahwa waktu adalah aset berharga, dan umat Islam harus menggunakannya dengan produktif melalui iman, amal saleh, dan kebaikan sosial.
Hadis Nabi ï·º Islam mendorong amal berkelanjutan. Rasulullah ï·º bersabda: "Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun sedikit."(HR. Bukhari & Muslim). Hadis ini mengajarkan prinsip istiqamah dalam produktivitas, yaitu melakukan amal dengan konsisten.
Keutamaan orang yang bekerja dan berusaha. Rasulullah ï·º bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangan sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil kerja tangannya sendiri."(HR. Bukhari). Islam menekankan pentingnya bekerja dan tidak bergantung pada orang lain.
Gunakan Waktu Sebelum Datang Kesibukan. Rasulullah ï·º bersabda "Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: Masa mudamu sebelum masa tuamu, Waktu sehatmu sebelum sakitmu, Masa kayamu sebelum miskinmu, Waktu luangmu sebelum sibukmu, Hidupmu sebelum matimu."(HR. Al-Hakim). Hadis ini mengajarkan manajemen waktu yang efektif untuk produktivitas dalam amal.
Pendapat ulama bahwa ulama sepakat bahwa Islam mendorong produktivitas dalam amal, baik amal ibadah maupun amal duniawi yang bermanfaat bagi masyarakat. Berikut adalah beberapa pandangan ulama Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin, Al-Ghazali menekankan pentingnya ikhlas dalam amal. Amal yang dilakukan dengan niat yang benar dan ikhlas akan lebih produktif dan bermanfaat.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam Madarij As-Salikin, beliau menyatakan bahwa amal harus dilakukan secara terus-menerus (istiqamah) agar memberikan hasil yang nyata dalam kehidupan. Imam An-Nawawi, dalam Riyadhus Shalihin, beliau mengutip hadis Rasulullah ï·º yang menegaskan bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara rutin, meskipun kecil (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam kajian modern, ilmuwan juga membahas produktivitas dalam amal, terutama dalam konteks manajemen waktu, disiplin, dan keberlanjutan.
Beberapa prinsip produktivitas menurut ilmu pengetahuan teori Efisiensi Waktu (Time Management Theory). Ilmuwan seperti Peter Drucker menekankan bahwa produktivitas bukan hanya tentang bekerja keras, tetapi juga bekerja cerdas dengan manajemen waktu yang baik. Prinsip 1% Perbaikan Setiap Hari (Kaizen).
Konsep dari Jepang ini menyatakan bahwa perubahan kecil yang dilakukan secara konsisten akan membawa hasil besar dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan prinsip istiqamah dalam Islam. Teori Kebiasaan (Habit Formation – James Clear). Dalam bukunya Atomic Habits, James Clear menjelaskan bahwa amal atau pekerjaan yang dilakukan secara berulang dan konsisten akan menjadi kebiasaan yang menghasilkan dampak besar.
Baik dalam perspektif Islam maupun ilmu pengetahuan, produktivitas dalam amal sangat ditekankan. Islam mengajarkan ikhlas, istiqamah, dan manfaat bagi orang lain, sementara ilmu pengetahuan menyoroti pentingnya manajemen waktu, disiplin, dan kebiasaan baik. Kombinasi antara keduanya dapat menjadikan seseorang lebih produktif dalam beramal.
Kesimpulan:
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai akhirat. Seorang Muslim yang zuhud memiliki hati yang tidak terikat pada dunia, tetapi tetap bekerja keras dan produktif dalam amal. Nabi Muhammad ï·º dan para sahabat menunjukkan bahwa zuhud tidak berarti miskin atau malas, melainkan sikap yang seimbang antara dunia dan akhirat.
Dalam Islam, produktivitas dalam amal sangat ditekankan, baik dalam bentuk ibadah maupun aktivitas duniawi yang bermanfaat. Al-Qur'an dan Hadis mengajarkan pentingnya bekerja keras, mengelola waktu dengan baik, serta konsisten dalam melakukan kebaikan. Para ulama dan ilmuwan juga menegaskan bahwa keberhasilan dalam hidup tidak hanya ditentukan oleh usaha fisik, tetapi juga oleh niat yang ikhlas dan keberlanjutan dalam amal.
Di era modern yang penuh dengan materialisme, zuhud menjadi kunci untuk menjaga hati agar tidak terjebak dalam keserakahan, sementara produktivitas menjadi bukti bahwa seorang Muslim harus memberi manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat. Dengan prinsip "Zuhud di Hati, Produktif dalam Amal," seorang Muslim dapat menjalani hidup yang bermakna, seimbang, dan sukses di dunia serta akhirat.
*Kajian Tarawih Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Sumatera Barat Selasa, 11 Maret 2025 DS.
*Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Imam Bonjol