![]() |
"'Ketika saya benar-benar mencintai seseorang, saya hanya bisa menunjukkannya dengan melontarkan komentar agresif dan tidak senonoh."
„Saya diam-diam berpikir realitas ada sehingga kita
bisa berspekulasi tentangnya.“ — Slavoj Zizek(76), Less Than Nothing(2012).
Bencana banjir yang baru saja melanda sebagian besar wilayah-wilayah kota, termasuk kota Manado sejak Jumat(21/3/25) yang nyaris luluhlantak semua fasilitas, sejatinya menghidupkan memori trauma kita atas bencana ini sekaligus merenungi bagaimana siklusnya bisa diatasi atau dikurangi?
Salah satu arah evaluasi atas teologi bencana datang dari perspektif filsafat teknologi. Di antara pencetus mutakhirnya, filsuf Slovenia, Slavoj Zizek, yang pada 2020 silam, telah merespons bencana Covid-19 lewat bukunya, Pandemic!: COVID-19 Shakes the World.
Dari perspektif yang bisa dikembangkan — setelah kemampuan teknologi bikinan manusia terhenyak di bawah kedigdayaan alam — berasal dari antropologi digital.
Menurut Zizek, teologi digital mengacu pada cara-cara di mana teknologi digital, seperti internet dan media sosial, telah dengan percaya diri membentuk dan mengubah praktik dan kepercayaan pada teologi tradisional.
Dalam lain bukunya, On Belief(2001), ia memunculkan istilah „heresy digital“ sebagai perlakuan naif manusia atas ciptaannya sendiri seperti teknologi.
Bertolak dari „bidah digital“, Zizek mengidentifikasi beberapa karakteristik ke dalam teologi digital berkenaan dengan virtualisasi pengalaman.
Dalilnya, tiap individu punya potensi bertaut langsung dengan pengalaman spiritual dalam lingkungan virtual seperti gereja daring atau meditasi realitas virtual maupun percakapan di medsos selama 444 menit setara 7,5 jam per hari dan bisa memroduksi ratusan ribu kata dalam setiap menit (Ansari,2019).
Selain itu, lanjut Zizek, desentralisasi dan demokratisasi teologi digital memungkinkan individu untuk mengakses dan berpartisipasi dalam praktik dan komunitas keagamaan tanpa memerlukan struktur kelembagaan tradisional, gereja, masjid maupun sinagoge dan klenteng.
Watak ini, Hiper-Individualisasi(HI), langsung merangsek tiap individu untuk mengatur pengalaman spiritual atau keagamaan mereka sendiri yang dipersonalisasi. Bahkan bebas dari batasan otoritas keagamaan tradisional.
Walhasil, model digital komoditisasi spiritualitas akan membentuk tiap individu membayar untuk akses ke layanan atau produk spiritual daring. Misalnya, ada yang mendorong kuota haji yang bisa diperoleh jamaah berpuluh tahun nanti bisa dikonversi dengan model „haji digital?“
Lanjut kritik Zizek pada teologi digital, akan membuka praktek kurang otentik pengalaman agama dalam mengatur „iman persona“ menunaikan keyakinannya.
Akibatnya, praktek teologi digital bersifat dangkal, karena individu dapat terlibat dalam praktik spiritual tanpa benar-benar memahami atau berkomitmen pada nilai atau prinsip yang mendasarinya.
Zizek ikut mengingatkan bahwa teologi digital dapat digunakan sebagai alat untuk kontrol dan manipulasi.
Melalui imam spiritual daring atau komunitas yang mempromosikan ideologi atau agenda tertentu, kontrol dan manipulasi dalam antropologi digital sekaligus teologi digital akan saling menafikan daya dan pengaruh masing-masing.
Memikirkan kembali teologi tradisional merupakan gagasan bagaimana kerangka kerja dan pemahaman baru melalui teologi digital bisa disandingkan tanpa menafikan satu sama lain.
Peran teknologi dalam membentuk pengalaman manusia — meski sejak awal teknologi merebak — tetap dianggap sebagai petunjuk penting bagaimana teologi digital mensejajarkan sekaligus menyelaraskan pengalaman praktik spiritual dan keagamaan di ranah kultural, mengutip Bourdieu, di manapun.
Kritik Zizek terhadap teologi digital dialamatkan untuk menyoroti perlunya evaluasi kritis dan reflektif, terutama dampak teknologi digital pada kehidupan spiritual dan keagamaan kita.
Pada faktualnya, di tengah bencana banjir sedang merangsek kawasan-kawasan dengan populasi muslim urban yang berpuasa — kepekaan pada teologi digital seperti postingan video yang melukis keterderaan, khusus kaum terdampak banjir yang sedang berpuasa — solidaritas sosio-spiritual malah menjauh.
Terbukti, salah satu komunitas muslim urban tanpa kepekaan pada saudara-saudaranya sendiri yang didera bencana, malah dengan bangga menyelenggarakan buka puasa bersama dengan elit pejabat. Bukankah akidah yang sunah itu bisa dibatalkan untuk sesuatu „yang wajib“, menolong mereka yang didera bencana?
Akhirnya, analisis Slavoj Zizek tentang teologi digital dan bencana yang ikut mendampinginya, hendak menawarkan perspektif yang bernuansa kritis tentang persimpangan teknologi, spiritualitas dan pengalaman manusia.
Filsafat Zizek — teologi maupun antropologi digital sebagai „bidah digital,, — akhirnya menantang kita untuk memikirkan kembali gagasan tradisional tentang agama dan spiritualitas serta mempromosikan dan mengevaluasi secara kritis dampak teknologi digital pada kehidupan kini dan nanti.
#RUJUKAN:
1. Zizek, Slavoj. 2006. The Parallax View. Cambridge: MIT Press.
2. ——————. 2010. Living in the End Times. London: Verso.
3. ——————. 2012. The Year of Dreaming Dangerously. London: Verso.
4. https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/00943061241255860a?icid=int.sj-abstract.citing-articles.9