Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Tingkatan Iman Oleh: Ridwan Arif, Ph.D, Tuanku Bandaro

Seorang tokoh sufi generasi awal, Dzu al-Nun al-Mishri membagi iman kepada tiga tingkatan:

Iman orang awam

Iman orang khusus (kawash)

Iman orang super khusus (khawash al-khawash)

Imannya orang awam disebut juga iman ikut-ikutan (iman taqlīd). Orang yang memiliki iman tingkatan ini meyakini adanya Tuhan hanya karena mengikuti perkataan orang lain seperti orang tua atau ulama dan dia sendiri gagal mengemukakan argumen untuk membuktikan atau mempertahankan keimanannya. Apabila ia ditanya, “Apakah Tuhan ada?”, ia menjawab “Ya”. Namun ketika ditanya lagi, “Apa bukti adanya Tuhan?”, dia tidak bisa menjawab kecuali “Karena orang-orang atau ulama mengatakan bahwa Tuhan itu ada”.

Para ulama ilmu kalam (teolog Muslim) berbeda pendapat tentang keabsahan iman jenis ini. Jumhur ulama ilmu kalam menegaskan iman jenis ini tetap sah. Tapi sebagian kecil berpendapat iman jenis ini tidak memadai taqlīd dalam persoalan akidah. Menurut pendapat ini, setiap mukmin minimal mengetahui dalil-dalil akidah secara garis besarnya (ijmālī). 

Imannya orang khusus adalah imannya ulama atau orang yang sudah mampu mengemukakan argumen-argumen dalam persoalan akidah baik secara garis besarnya (ijmālī) maupun secara terperinci (tafshīlī). Orang yang memiliki iman jenis ini apabila ditanya misalnya, “Benarkah tuhan itu ada?” ia jawab, “Ya”. Lalu ketika ditanya, “Apakah bukti (dalil) adanya Tuhan?” dia menjawab, “Adanya alam semesta. mustahil alam semesta ini mewujudkan dirinya sendiri; wujud dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan. Kewujudan alam semesta membuktikan wujudnya Tuhan Sang Pencipta. Karena secara rasional, kewujudan dalil (bukti) menunjukkan kewujudan madlūl (yang dibuktikan). Seperti kewujudan asap (dalil) menunjukkan adanya api (madlūl). Iman jenis kedua ini didasarkan dalil-dalil rasional (‘aqliyyah) disamping dalil transmisi (naqliyyah)”.  

Imannya orang super khusus adalah imannya para Sufi. Para Sufi meyakini adanya Tuhan karena ia menyaksikan sendiri secara langsung kewujudan Tuhan dengan mata hatinya (bashīrah). Penyaksian ini disebut musyāhadah qalbiyyah. Penyaksian ini juga dikenal dengan istilah ma’rifah (ilmu pengenalan). Inilah tingkatan iman tertinggi.

Kenapa imannya para Sufi adalah tingkatan iman tertinggi? Karena dari aspek epistemologis, iman para Sufi didasarkan pada ma’rifah. Ma’rifah adalah pengetahuan langsung yang dicapai melalui intuisi. Pengetahuan jenis ini berbeda dengan pengetahuan yang dicapai melalui akal (ilmu pengetahuan), di mana objek pengetahuan hadir dalam diri subjek pengetahuan. Karena itu ma’rifah juga dikenal dengan istilah ‘ilm al-hudhūrī (knowlwdge by present). Sedangkan pengetahuan yang dicapai melalui akal, objek pengetahuan terpisah dari subjek pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan yang dicapai oleh akal adalah pengetahuan tidak langsung.

Setiap mukmin seharusnya berusaha mencapai tingkatan iman tertinggi yaitu imannya orang super khusus dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu tasawuf. Makrifah tidak dicapai dengan penalaran rasional, tetapi dengan cara mendekatkan diri kepada Allah (taqarrūb) dengan memakai metode penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela, menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan memperbanyak amalan-amalan sunnah disamping amalan wajib.

Jika seorang mukmin tidak mampu mencapai tingkatan iman tertinggi ini, minimal ia berada pada tingkatan kedua, yaitu imannya orang-orang khusus dan jangan sampai berada pada tingkatan iman paling rendah yaitu iman orang awam. Ini karena, iman adalah keyakinan. Mustahil seseorang bisa memiliki keyakinan kalau ia hanya ikut-ikutan perkataan orang lain dan dirinya sendiri gagal mengemukakan argumen tentang sesuatu yang dipercayainya.

Wallah a’lam.      

*(Dosen Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta)

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.