![]() |
Iftitah
Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, tidak hanya sebagai momentum spiritual, tetapi juga sebagai ruang refleksi bagi kehidupan berbangsa. Di tengah dinamika yang terus berkembang, akhir Ramadhan menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan kembali nilai-nilai kebajikan dan kebijakan yang seharusnya menjadi dasar dalam menjalankan kehidupan bernegara. Prinsip keadilan, persatuan, dan kesejahteraan sosial yang diajarkan dalam bulan suci ini seharusnya tidak hanya menjadi semangat ibadah personal, tetapi juga diterapkan dalam tata kelola pemerintahan nasional.
Seiring perjalanan bangsa, berbagai tantangan dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan terus bermunculan. Nilai moralitas yang seharusnya menjadi pegangan dalam kehidupan bernegara sering kali terkikis oleh kepentingan berbagai kelompok dan kalangan. Akibatnya, masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian arah demokrasi dan melemahnya prinsip transparansi dalam tata kelola negeri. Di tengah kondisi ini, Ramadhan hadir sebagai kesempatan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa membangun bangsa bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga tentang kejujuran, tanggung jawab, dan komitmen terhadap kesejahteraan bersama.
Tafakur kebangsaan di penghujung Ramadhan menjadi momen penting untuk mengevaluasi bagaimana prinsip-prinsip kebaikan dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara. Tidak cukup hanya dengan menyadari persoalan yang ada, refleksi ini harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang berorientasi pada perbaikan. Ramadhan mengajarkan nilai-nilai integritas dan amanah, yang jika diterapkan secara konsisten dalam pemerintahan dan kehidupan sosial, dapat menjadi pondasi bagi bangsa yang lebih kuat dan bermartabat.
Demokrasi dalam Bayang-Bayang Krisis
Salah satu tantangan utama bangsa ini adalah menjaga persatuan di tengah perbedaan. Pasca Pemilu dan Pilkada 2024, polarisasi politik terus meningkat, menyebabkan ketegangan di masyarakat. Konflik di berbagai daerah, maraknya aksi demonstrasi yang berujung ricuh, serta meningkatnya sentimen partisan memperlihatkan bahwa perbedaan politik masih menjadi ancaman bagi stabilitas nasional.
Selanjutnya, "korupsi akbar" masih terus menghantui, bahkan semakin menjadi-jadi. Skandal korupsi yang menyeret oknum pejabat menunjukkan betapa budaya "maling" ini masih mengakar kuat. Penyalahgunaan wewenang dalam tindak korupsi tidak hanya akan merugikan negara secara finansial, tetapi juga memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara.
Potret selanjutnya yang tak kalah menyita perhatian adalah kebijakan pengesahan Undang-Undang TNI. Kontroversi terkait Undang-Undang ini menimbulkan kehebohan seantero negeri, berbagai kalangan khawatir pengesahan tersebut akan menimbulkan dwifungsi antara militer dan sipil. Akibatnya, dinamika penolakan terjadi, baik dari ahli, akademisi, mahasiswa, maupun buruh-tani, bahkan, "tagar" #kembalikanTNIkebarak masih viral di media sosial.
Selain itu, ancaman terhadap kebebasan pers juga semakin nyata. Teror terhadap media independen seperti TEMPO menjadi bukti bahwa situasi semakin kritis. Mengutip data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam tiga bulan pertama tahun 2025, telah terjadi kurang-lebih 22 kasus kekerasan dan teror terhadap jurnalis. Kesemua itu menandakan sedang menyalanya "alarm bahaya" bagi demokrasi di Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi transparansi dan kebebasan berekspresi.
Semua permasalahan tersebut menuntut introspeksi lebih mendalam, apalagi di bulan Ramadhan -yang tidak hanya harus dimaknai sebagai dimensi spiritual, tetapi juga waktu untuk mengevaluasi arah demokrasi. Tafakur kebangsaan menjadi cara untuk semakin merenung: bagaimana demokrasi harus diobati agar tidak dikungkung rentetan masalah yang berpanjang-panjang.
Tafakur Kebangsaan sebagai Media Perenungan
Tafakur kebangsaan mengingatkan bahwa keadilan sosial harus diwujudkan dalam kebijakan nyata. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar membawa manfaat bagi seluruh rakyat, bukan untuk sebagian pihak, apalagi untuk keuntungan sesaat. Reformasi ekonomi yang lebih berkeadilan, pemberantasan korupsi yang lebih dimasifkan, serta perlindungan terhadap hak-hak rakyat harus menjadi prioritas utama.
Ramadhan mengajarkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, dan amanah, yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam menjalankan tugas publik. Seorang pemimpin yang berpegang teguh pada nilai-nilai ini akan mendapatkan kepercayaan rakyat, menciptakan pemerintahan yang adil, bersih, dan berintegritas. Dalam konteks kebangsaan, kejujuran pemimpin bukan sekadar tuntutan moral, tetapi juga fondasi utama dalam membangun sistem yang transparan dan demokratis. Ketika nilai-nilai Ramadhan diterapkan dalam kepemimpinan, bangsa ini akan semakin kuat, harmonis, serta mampu menghadapi tantangan dengan semangat kebersamaan dan tanggung jawab kolektif.
Tafakur kebangsaan mengajak kita untuk kembali kepada esensi moralitas dalam kehidupan bernegara. Pemimpin harus menjalankan amanah dengan penuh integritas, bukan sekadar mencari keuntungan dari jabatan. Masyarakat juga memiliki tanggung jawab besar dalam mengawal pemerintahan, menuntut transparansi dalam pengelolaan kebijakan, serta aktif mengkritisi setiap penyimpangan yang terjadi demi terciptanya sistem yang adil dan berkeadaban.
Khulasah
Tafakur kebangsaan di akhir Ramadhan bukan sekadar perenungan, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Masyarakat dapat berperan aktif dengan meningkatkan keterlibatan dalam diskusi publik, mendukung kebebasan pers, serta lebih massif dalam mengawal kebijakan yang berdampak langsung pada kesejahteraan.
Gerakan sosial yang menuntut transparansi dan keadilan harus terus diperkuat agar perubahan benar-benar terjadi. Persatuan, keadilan sosial, dan moralitas dalam kehidupan bernegara harus terus diperjuangkan agar bangsa ini semakin kuat dan bermartabat. Dengan menjadikan nilai-nilai Ramadhan sebagai landasan, Indonesia dapat dibawa menuju masa depan yang lebih cerah dan berkeadilan.
Momentum ini harus dimanfaatkan untuk membangun kesadaran kolektif bahwa kebangsaan tidak hanya tentang simbol dan seremonial, tetapi juga tentang menjaga integritas, memperjuangkan keadilan, dan meningkatkan persatuan. Dengan menginternalisasi nilai-nilai Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari, bangsa yang lebih harmonis dan bermartabat akan bisa didapat.
*(Penulis Pimpinan Suger Kaligrafi ; S2 UIN Imam Bonjol Padang)