![]() |
Universitas Indonesia dan Bahlil Labadia kembali jadi perbincangan publik. Ini setelah Dewan Guru Besar (DGB) UI mengeluarkan rekomendasi membatalkan disertasi Bahlil yang dinyatakan lulus pada 16 Oktober 2024 lalu.
Temuan DGB UI yang beredar luas juga cukup menghebohkan. Tak hanya soal keabsahan data penelitian yang dipertanyakan—karena diperoleh tanpa izin narasumber dan digunakan secara tidak transparan—tetapi juga soal jalan pintas akademik yang diberikan pada Bahlil. Sejumlah kejanggalan ditemukan: waktu studi yang terlampau singkat untuk ukuran doktoral, perubahan penguji yang mendadak, serta keterlibatan promotor dan ko-promotor yang memiliki konflik kepentingan dengan kebijakan yang dibuat oleh Bahlil sebagai pejabat negara.
Yang mencengangkan, bukan hanya disertasi Bahlil yang direkomendasikan untuk dibatalkan, tetapi tiga pejabat penting UI—Dekan Fakultas Ilmu Administrasi, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, serta Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global—turut terseret dalam pusaran skandal ini. DGB merekomendasikan sangsi beragam terhadap tiga pejabat penting di UI tersebut. Mulai dari dilarang mengajar, membimbing dan menguji selama tiga tahun sampai pada diminta mundur jadi Dekan. Sebuah hukuman yang amat berat.
Skandal akademik yang terjadi di UI ini bukan tanpa preseden. Pada tahun 2015, terbongkar praktik pemberian gelar akademik tanpa proses pembelajaran yang sah, di mana individu tertentu bisa memperoleh ijazah S1, S2, bahkan S3 tanpa memenuhi syarat akademik yang seharusnya. Beberapa kampus yang terlibat dalam skandal ini adalah Universitas PGRI Semarang, STIE Adhy Niaga Bekasi, serta sejumlah perguruan tinggi lain yang dicabut izin operasionalnya oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Di luar negeri, kasus akademik yang mencuat adalah skandal “Operation Varsity Blues” di Amerika Serikat pada 2019. Dalam kasus ini, sejumlah orang tua kaya, termasuk selebritas dan pengusaha, membayar ratusan ribu hingga jutaan dolar untuk menyuap pejabat universitas demi meloloskan anak-anak mereka ke kampus ternama seperti Yale dan Stanford. Skandal ini mengungkap bagaimana pendidikan, yang seharusnya menjadi medan meritokrasi, bisa dibajak oleh uang dan koneksi.
Belum Final
Dewan Guru Besar UI yang berjumlah 32 orang agaknya mencoba mengembalikan nurani perguruan tinggi UI yang tercoreng akibat disertasi Bahlil. Rekomendasi ini diharapkan merupakan langkah awal untuk menjaga integritas akademik UI. Mereka ingin mengembalikan marwah UI sebagai benteng moral dan intelektualitas.
Namun, rekomendasi Dewan Guru Besar belumlah vonis final. Masih ada tiga organ lain yang akan menentukan nasib akhir disertasi ini: Senat Akademik, Majelis Wali Amanat, dan Rektor UI. Melihat bobot rekomendasi DGB, rasanya sulit tiga organ lain di UI termasuk Rektor untuk mengabaikan suara lantang para guru besar yang dikenal sebagai benteng terakhir integritas akademik.
Tak bisa dipungkiri, skandal ini memiliki unsur politik yang sangat kuat. Bahlil yang bukan akademisi, adalah meteor politik yang melesat dengan kekuatan besar. Ia pasti akan melakukan segala cara agar disertasinya tak dibatalkan, karena jika itu terjadi, namanya akan ternoda, dan jejak politiknya akan terancam. Faktor ini juga harus diperhitungkan, terlebih dunia akademik di Indonesia sangat bergantung pada pemerintah dalam berbagai aspek, termasuk pendanaan dan kebijakan. Tekanan politik bisa saja mengubah arah keputusan akademik yang seharusnya independen, menjadikan kasus ini ujian besar bagi integritas Universitas Indonesia.
Skandal ini adalah cermin buram bagaimana politik dan kekuasaan merayap masuk ke ruang-ruang akademik yang seharusnya steril dari segala bentuk intervensi. Ini mengingatkan kita pada kasus-kasus lain di mana gelar akademik digunakan sebagai alat legitimasi politik, bukannya sebagai representasi keilmuan yang sesungguhnya. Jika UI tak bersikap tegas, maka akan ada preseden berbahaya: gelar doktor bukan lagi soal keilmuan, melainkan soal seberapa besar kuasa yang dimiliki. Jika ini dibiarkan, maka dunia akademik Indonesia tak lebih dari sekadar pasar gelar—di mana kepentingan mengalahkan kebenaran, dan status mengungguli substansi.
Sebagai institusi pendidikan terhormat, UI seharusnya tidak memberi ruang bagi praktik yang merusak nilai-nilai akademik. Kejujuran dan ketegasan harus menjadi jangkar dalam menghadapi badai ini. Karena jika tidak, kampus ini hanya akan menjadi menara gading yang keropos dari dalam—indah di luar, tapi rapuh di dalam.
Pondok Cabe Udik 5 Maret 2025
Elza Peldi Taher