![]() |
Malam itu, Ayah pulang dengan langkah yang lelah,
membawa sebungkus kolak biji salak di tangan kanan,
seulas senyum terbit di wajahnya yang mulai menua.
"Ayah bawakan ini, pasti kau suka," katanya,
dan aku menyambut dengan riang, tak berpikir bahwa mungkin perut ayah keroncongan.
Di meja kayu yang kini mulai usang,
aku menyendok manisnya tanpa beban,
sementara ia duduk di seberang,
mengusap peluh yang menetes di dahi,
Sambil tersenyum menatapku.
Saat itu, bahagia begitu sederhana,
sebatas sebungkus kolak dan
kehangatan keluarga yang utuh.
Tak ada gelisah, tak ada tanya,
hanya suara sendok beradu dan cerita yang mengalir diruang keluarga.
Kini malam-malam mulai lengang,
aku duduk di meja yang sama,
dengan semangkok kolak biji salak,
Namun ternyata...
Tanpa Ayah rasanya berbeda,
Tak ada lagi manis,
Ternyata yang kurindukan bukan kolak ini,
Tapi tangan yang membawanya pulang.
hanya saja semua habis menjadi
kenangan yang mengendap di dada,
Seiring usia yang bertambah,
Rambutku pun mulai memutih,
Dan aku mulai paham,
bahwa bahagia semakin rumit,
tertawa menjadi semakin sulit
bukan lagi tentang semangkuk makanan manis,
atau perut yang kenyang saat berbuka.
Tapi tentang bagaimana Kita bisa bertahan,
Saat semua rasa tak lagi sama.