![]() |
Dulu, orang tua sering bilang, "Sekolah yang tinggi, biar jadi orang sukses!" Dengan semangat membara, kita berangkat kuliah, menguras tabungan orang tua, menghabiskan bertahun-tahun memahami teori yang katanya akan membuka jalan ke masa depan yang lebih gemilang.
Tapi realitas berkata lain. Tahun ini, banyak sarjana dan pemegang gelar S2 justru mendapatkan gelar baru yang tak pernah mereka bayangkan: Pengangguran. Yang dulu berjibaku dengan skripsi dan tesis, kini berjibaku dengan orderan ojol. Yang dulunya duduk di kelas belajar teori ekonomi makro, kini duduk di motor mengantarkan paket hemat nasi uduk.
Tentu, bukan pekerjaannya yang jadi masalah. Karena pekerjaan apa pun itu baik, selama halal. Tapi pertanyaannya, di mana fungsi ijazah yang mati-matian diperjuangkan di bangku kuliah? Kalau akhirnya banyak yang banting setir ke pekerjaan fisik, apakah ada yang salah dalam sistem?
Padahal, untuk menyelesaikan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, perjuangannya luar biasa. Mahasiswa harus begadang berhari-hari demi menyusun skripsi dan tesis, mengumpulkan data di lapangan, mengejar dosen pembimbing yang kadang lebih sulit ditemui daripada Menteri Pendidikan, lalu harus berkali-kali revisi karena selalu ada "kurang ini" dan "kurang itu." Rasanya sudah seperti ujian hidup, tapi ternyata setelah lulus, ujian yang sesungguhnya baru dimulai yaitu bagaimana mencari pekerjaan.
Mari kita hitung-hitungan. Dari TK sampai S2, biaya pendidikan bisa setara dengan modal membuka bisnis rental mobil atau warung makan yang cukup besar. Tapi sayangnya, yang kita dapatkan setelah wisuda bukan kunci kesuksesan, melainkan kunci menuju dilema:
"Perusahaan mana yang mau menerima mahasiswa yang baru lulus kuliah?"
"Minimal ijazah ada!" kata orang-orang. Tapi kalau akhirnya hanya untuk dilipat rapi di lemari, apa gunanya? Apakah ijazah benar-benar membuka jalan, atau hanya sekadar menjadi pajangan agar orang tahu kita pernah kuliah?
Lowongan kerja? Ada! Tapi syaratnya kadang lebih berat dari tugas akhir: harus punya pengalaman kerja, skor TOEFL tinggi, siap bekerja di bawah tekanan, mampu multitasking seperti AI. Lalu setelah semua itu terpenuhi dan diterima bekerja, ternyata dengan ketetapan gaji yang ada, masih butuh puluhan tahun untuk bisa dikatakan mapan secara finansial. Kecuali kalau kita beruntung bisa mendapatkan perusahaan yang berani membayar lulusan sarjana dengan gaji dua digit.
Tapi peluang itu hanya satu banding sepuluh. Dalam artian, hanya segelintir orang yang hidup dengan keberuntungan itu, sementara sisanya masih berkutat dalam siklus kerja keras dengan hasil yang pas-pasan.
Jadilah kita generasi yang belajar keras, bukan untuk mengembangkan karier, tapi untuk menghindari lapar. "Yang penting kerja! Yang penting bisa makan!" Bahkan meskipun bertahun-tahun berjuang, masih juga masuk kategori masyarakat ekonomi pas-pasan.
Masalah ini harusnya jadi PR besar, bukan sekadar untuk para sarjana yang kena PHK, tapi juga buat sistem yang terus mencetak gelar tanpa memastikan ada wadah untuk mereka. Sebab kalau dibiarkan, ke depan mungkin akan semakin sedikit orang pintar di negeri ini, karena mereka akan berpikir:
"Untuk apa kuliah tinggi-tinggi kalau akhirnya mencari kerja tetap susah?"
Dan mungkin, suatu saat nanti, pertanyaan paling menyakitkan akan muncul:
"Selebrasi pakai toga itu untuk apa, kalau ujung-ujungnya gelar pengangguran lebih lama?"