![]() |
Rukun, cinta kemanusiaan dan maslahat adalah tiga konsep besar yang dibakukan dalam visi, misi dan Asta Protas Kementerian Agama 2025-2025. Visi Terwujudnya Masyarakat yang Rukun, Maslahat, dan Cerdas Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045”, misi Meningkatkan kualitas kehidupan beragama yang rukun dan berorientasi pada kemaslahatan; dan Asta Protas Meningkatkan Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan.
Kerukunan dan kemaslahatan adalah dua sisi mata uang yang satu dengan yang tak dapat dipisahkan. Kerukunan dan kemaslahatan memiliki hubungan yang erat, karena kehidupan yang rukun menciptakan kondisi yang mendukung kesejahteraan dan kebaikan bersama.
Beberapa relevansi keduanya dalam stabilitas sosial. Kerukunan mencegah konflik dan ketegangan sosial, sehingga menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi masyarakat untuk berkembang. Untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang rukun lebih mudah bekerja sama dalam pembangunan ekonomi, pendidikan, dan sosial, yang berkontribusi pada kemaslahatan bersama. Memastikan hadirnya toleransi dan harmoni. Kerukunan mendorong sikap saling menghormati perbedaan, baik dalam agama, budaya, maupun pandangan hidup, sehingga masyarakat dapat hidup dalam kedamaian dan saling mendukung.
Pembangunan yang berkelanjutan adanya kerukunan, pemerintah dan masyarakat dapat lebih fokus pada pembangunan yang berkelanjutan tanpa terhambat oleh konflik atau perselisihan. Keadilan dan kesetaraan. Kerukunan mendukung terciptanya lingkungan yang adil, di mana setiap individu mendapatkan haknya tanpa adanya diskriminasi atau perlakuan tidak adil. Tanpa kerukunan, kemaslahatan sulit dicapai karena perpecahan dan konflik justru menghambat pertumbuhan dan kesejahteraan bersama.
Kerukunan memiliki dasar yang kuat dalam regulasi, sejarah, dan kajian ilmiah sebagai elemen penting dalam mencapai kemaslahatan. Regulasi untuk menjaga kerukunan dan menjamin kemaslahatan bersama, jelas dimuat dalam konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E dan 29, memberikan jaminan kebebasan beragama dan kewajiban negara dalam melindungi kerukunan antarumat beragama.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial, yang bertujuan untuk mencegah dan menangani konflik agar stabilitas dan kemaslahatan masyarakat tetap terjaga.
Pada tingkat internasional ada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB juga menekankan hak setiap individu untuk hidup dalam lingkungan yang harmonis dan damai.
Kerukunan dan kemaslahatan dalam sejarah bahwa masyarakat yang menjunjung tinggi kerukunan lebih mampu mencapai kemaslahatan dibandingkan yang penuh konflik. Contohnya: Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit: Dua kerajaan besar di Nusantara ini mampu mencapai kejayaan karena mengelola keberagaman etnis dan agama dengan baik, menciptakan stabilitas politik dan ekonomi.
Piagam Madinah: Pada zaman Nabi Muhammad SAW, Piagam Madinah menjadi contoh sukses dalam membangun kerukunan antarumat beragama (Muslim, Yahudi, dan kelompok lain), yang kemudian membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Madinah.
Pasca-Perang Dunia II: Setelah perang besar, banyak negara membangun kerjasama internasional melalui organisasi seperti PBB dan ASEAN, dengan tujuan menjaga perdamaian demi kesejahteraan global.
Kerukunan dan Kemaslahatan dalam kajian ilmiah menunjukkan bahwa kerukunan sosial memiliki dampak langsung pada kemaslahatan masyarakat, baik dalam aspek ekonomi, psikologi, maupun sosial. Studi sosiologi menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki tingkat toleransi tinggi cenderung lebih stabil, memiliki ekonomi yang lebih baik, serta tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
Psikologi Sosial, penelitian membuktikan bahwa lingkungan yang harmonis mengurangi stres dan meningkatkan kualitas hidup individu. Ekonomi dan Pembangunan. Kerukunan sosial berdampak positif pada investasi dan pertumbuhan ekonomi, karena menciptakan kepastian hukum dan stabilitas sosial yang menarik bagi investor.
RUKUN DAN CINTA KEMANUSIAAN
Kerukunan dan cinta kemanusiaan memiliki hubungan yang erat, karena keduanya berlandaskan pada nilai-nilai kebersamaan, penghormatan terhadap sesama, dan kepedulian sosial.
Beberapa relevansinya adalah kerukunan sebagai wujud cinta kemanusiaan. Kerukunan terjadi ketika individu dan kelompok dalam masyarakat saling menghormati perbedaan dan hidup berdampingan dengan damai. Sikap ini mencerminkan cinta kemanusiaan, yaitu rasa kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan terhadap hak serta martabat manusia.
Mencegah Konflik dan Kekerasan. Cinta kemanusiaan mendorong orang untuk memahami dan menerima perbedaan tanpa kebencian atau permusuhan. Dengan adanya kerukunan, potensi konflik sosial dapat dikurangi, sehingga masyarakat hidup dalam suasana yang lebih harmonis dan damai.
Meningkatkan Solidaritas dan Gotong Royong. Masyarakat yang rukun cenderung lebih peduli terhadap sesama, saling membantu dalam kesulitan, dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Ini adalah bentuk nyata dari cinta kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Menjaga Keadilan dan Hak Asasi Manusia. Cinta kemanusiaan mengajarkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk hidup dengan damai dan sejahtera. Kerukunan memastikan bahwa tidak ada diskriminasi atau ketidakadilan yang dapat merusak keharmonisan sosial.
Mewujudkan Kehidupan yang Lebih Bahagia dan Sejahtera. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang rukun dan penuh kasih sayang memiliki tingkat kebahagiaan lebih tinggi. Hubungan sosial yang baik mengurangi stres dan menciptakan lingkungan yang lebih positif bagi semua orang.
Secara keseluruhan dapat dikatan bahwa kerukunan adalah cerminan nyata dari cinta kemanusiaan. Tanpa cinta kemanusiaan, kerukunan sulit terwujud, dan tanpa kerukunan, cinta kemanusiaan tidak bisa berkembang secara maksimal. Oleh karena itu, keduanya harus dijaga agar masyarakat dapat hidup dalam kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan.
LANDASAN KERUKUNAN DAN CINTA KEMANUSIAAN
Kerukunan dan cinta kemanusiaan memiliki landasan yang kuat dalam ajaran Islam, baik dalam Al-Qur’an, hadis, fatwa ulama, maupun pandangan ilmuwan.
Perintah untuk hidup rukun dan tidak bertikai dimuat dengan tegas dalam Surah Al-Hujurat (49:10):
"Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." Ayat ini menegaskan bahwa umat manusia, khususnya kaum beriman, harus menjaga persaudaraan dan hidup rukun. Persaudaraan ini adalah bentuk cinta kemanusiaan yang menghindari permusuhan.
Larangan Berbuat Kerusakan dan Konflik ditegaskan pula dalam Surah Al-Maidah (5:32)::Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena (orang itu) membunuh orang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa memelihara kehidupan seseorang, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia." Islam menekankan pentingnya menjaga kehidupan manusia dan menghindari konflik. Ini adalah prinsip utama cinta kemanusiaan dan kerukunan dalam Islam.
Hadis tentang persaudaraan dan kedamaian jelas Rasulullah SAW bersabda: "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzalimi dan menelantarkannya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menekankan bahwa kerukunan dan kepedulian terhadap sesama merupakan bentuk cinta kemanusiaan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Hadis tentang larangan permusuhan, "Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki, janganlah saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Muslim). Islam mengajarkan bahwa kebencian dan konflik harus dihindari, karena bertentangan dengan prinsip kerukunan dan cinta kemanusiaan.
Kajian lebih dalam dapat ditemukan dalam fatwa ulama tentang kerukunan dan kemanusiaan. Banyak ulama dan lembaga Islam telah mengeluarkan fatwa yang menegaskan pentingnya kerukunan dan cinta kemanusiaan, di antaranya: Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama tahun 2006 menegaskan bahwa menjaga kerukunan antarumat beragama adalah kewajiban, dan setiap tindakan yang menimbulkan permusuhan bertentangan dengan ajaran Islam. Sheikh Yusuf Al-Qaradawi dalam bukunya Fiqh Minoritas Muslim menekankan pentingnya toleransi dan hidup berdampingan dalam masyarakat majemuk sebagai bentuk cinta kemanusiaan.
Pandangan Ilmuwan tentang Kerukunan dan Kemanusiaan. Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam Muqaddimah menyebutkan bahwa masyarakat yang kuat adalah yang menjunjung tinggi solidaritas sosial (asabiyyah), yaitu bentuk kerukunan dan cinta kemanusiaan yang mencegah perpecahan. Mahatma Gandhi dalam ajarannya menekankan bahwa perdamaian dan cinta terhadap sesama adalah kunci dalam membangun masyarakat yang harmonis dan sejahtera.
Karen Armstrong, seorang sejarawan agama, menulis bahwa hampir semua agama dunia mengajarkan "Golden Rule" atau "Prinsip Emas," yaitu memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, yang merupakan inti dari kerukunan dan cinta kemanusiaan.
Penjelasan di atas menyatakan baik dalam Islam maupun dalam kajian ilmiah, kerukunan dan cinta kemanusiaan memiliki hubungan yang erat. Al-Qur’an dan hadis menegaskan pentingnya menjaga persaudaraan dan menghindari konflik, fatwa ulama mendukung prinsip toleransi dan kedamaian, serta para ilmuwan menegaskan bahwa masyarakat yang harmonis akan lebih maju dan sejahtera. Oleh karena itu, menjaga kerukunan adalah bagian dari tanggung jawab moral dan agama setiap individu.
DISKURSUS KERUKUNAN DAN CINTA KEMAMANUSIAAN
Di era modern, konsep kerukunan dan kemanusiaan sering diangkat sebagai prinsip universal untuk menciptakan masyarakat yang damai. Namun, dalam praktiknya, masih ada tantangan dan kritik yang perlu diperhatikan. Beberapa kritik terhadap konsep ini dalam konteks kontemporer:
1. Kerukunan yang Bersifat Superfisial (Dangkal). Banyak upaya membangun kerukunan hanya bersifat simbolis tanpa perubahan substansial. Contohnya: Seremoni atau kampanye kerukunan yang hanya bersifat formalitas tanpa diikuti oleh kebijakan nyata yang mengatasi ketimpangan sosial. Dialog antar kelompok hanya di tingkat elit dan tidak menyentuh masyarakat akar rumput, sehingga kurang efektif dalam menciptakan pemahaman mendalam. Kerukunan harus dibangun dari interaksi nyata dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya melalui wacana seremonial.
2. Ketimpangan dalam Praktik Kemanusiaan. Di satu sisi, dunia modern sering mengkampanyekan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi di sisi lain masih ada standar ganda dalam penerapannya. Konflik dan Krisis Kemanusiaan: Negara-negara besar sering berbicara tentang hak asasi manusia, tetapi tetap mendukung perang atau kebijakan ekonomi yang merugikan negara lain. Pengungsi dan Ketimpangan Global: Banyak negara maju menutup diri terhadap pengungsi dengan alasan keamanan, padahal mereka sebelumnya terlibat dalam konflik yang menyebabkan migrasi massal. Kritik: Kemanusiaan sering digunakan sebagai alat politik dan ekonomi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, bukan sebagai nilai universal yang benar-benar dijunjung tinggi.
3. Kerukunan yang Cenderung Mengorbankan Keadilan. Dalam beberapa kasus, kerukunan dijadikan alasan untuk menekan kritik atau menutupi ketidakadilan. Kasus Ketidakadilan Sosial: Masyarakat sering diminta untuk "rukun" dan "tidak membuat kegaduhan," tetapi di sisi lain, ada kelompok yang terus-menerus mengalami diskriminasi atau eksploitasi. Penindasan atas Nama Stabilitas: Pemerintah atau kelompok mayoritas terkadang menggunakan alasan "menjaga kerukunan" untuk menekan suara kelompok minoritas yang menuntut haknya. Kritik: Kerukunan tidak boleh berarti mengabaikan keadilan. Justru, keadilan harus menjadi dasar dari kerukunan yang sejati.
4. Tantangan Teknologi dan Media Sosial. Di era digital, kerukunan dan kemanusiaan menghadapi tantangan baru, seperti: Polarisasi Opini: Media sosial sering memperkuat perpecahan karena algoritma lebih condong menampilkan konten yang memperkuat pandangan tertentu. Propaganda dan Berita Palsu: Banyak kelompok yang menggunakan isu kemanusiaan atau kerukunan sebagai alat propaganda untuk kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Kritik: Teknologi seharusnya digunakan untuk memperkuat kerukunan, bukan memperburuk perpecahan. Literasi digital sangat penting dalam menghadapi tantangan ini.
Kerukunan dan kemanusiaan dalam konteks modern masih memiliki banyak tantangan dan kritik, terutama dalam hal praktik kerukunan yang dangkal dan seremonial tanpa perubahan nyata. Standar ganda dalam kemanusiaan, di mana kepentingan politik dan ekonomi sering mendominasi. Kerukunan yang menutupi ketidakadilan, sehingga hak kelompok tertentu terus terabaikan. Dampak negatif teknologi dan media sosial yang memperburuk polarisasi masyarakat. Untuk mengatasi ini, perlu ada pendekatan yang lebih substansial, adil, dan kritis dalam memahami dan menerapkan konsep kerukunan dan kemanusiaan di era kontemporer.
KERUKUNAN DAN CINTA KEMANUSIAAN DI SUMATERA BARAT
Kerukunan dan cinta kemanusiaan di Sumatera Barat (Minangkabau) adalah jati diri dan falsafah hidup yang sudah menyejarah, seperti dapat dibaca dalam kearifan lokal Minangkabau yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti lamak di awak ka tuju dek urang, duduk surang basampik-sampik, duduk basamo ba lapang-lapang, dan baanyak lagi. Namun di era reformasi ini setidaknya satu dasawarsa belakangan kerukunan di Sumatera Barat mendapat label tidak baik dan cendrung diberi stigma negatif.
Survei yang menyebut Sumatera Barat sebagai daerah intoleran tentu dapat menjadi bahan refleksi, tetapi tidak harus diterima begitu saja tanpa analisis lebih dalam. Ada konteks budaya dan sejarah yang perlu dipertimbangkan, serta fakta bahwa banyak masyarakat Sumbar tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan keadilan. Rumah makan yang terbuka untuk semua, merantau yang etnis Minang adaptif dengan masyarakat lokal, pedagang kaki lima yang dapat berdampingan dengan pedagang besar tanpa konflik, banyak contoh lain adalah fakta empiris kosmopolit dan tolerannya etnis Minangkabau.
Oleh karena itu daripada terjebak dalam labelisasi negatif, lebih baik melihat ini sebagai peluang untuk memperkuat harmoni tanpa kehilangan identitas. Dapat dipastikan bawa label "intoleran" untuk Sumatera Barat sama sekali tisak mencerminkan realitas. Survei Setara Institute yang menempatkan Provinsi Sumatera Barat sebagai salah satu daerah dengan tingkat intoleransi tinggi dalam beberapa tahun terakhir telah memicu berbagai tanggapan, baik yang setuju maupun yang mengkritisinya.
Beberapa sudut pandang dalam melihat isu ini perspektif data dan metodologi survei. Survei Setara Institute biasanya mengukur indeks toleransi berdasarkan aspek seperti kebebasan beragama, perlakuan terhadap minoritas, serta kebijakan pemerintah daerah terhadap kelompok berbeda. Beberapa indikator yang digunakan adalah kasus diskriminasi terhadap kelompok minoritas, kebijakan daerah yang cenderung eksklusif, dan respon masyarakat terhadap keberagaman. Metodologi survei amat sangat perlu dikritik karena tidak selalu mencerminkan realitas masyarakat secara menyeluruh, terutama jika hanya berdasarkan kasus tertentu atau opini elit tertentu.
Budaya dan Karakter Masyarakat Sumatera Barat. Sumatera Barat memiliki identitas kuat sebagai daerah yang berbasis Adat Minangkabau dan Islam dengan falsafah "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat berdasarkan Islam) harusnya dilihat secara utuh dan memperhatikan kekhasannya.
Sebagai daerah mayoritas Muslim, beberapa kebijakan dan kebiasaan sosial lebih berorientasi pada nilai-nilai Islam, yang bisa dianggap tidak inklusif oleh kelompok tertentu adalah naif dan patut ditinjau ulang. Sejarah Minangkabau menunjukkan keterbukaan terhadap perbedaan. Banyak tokoh nasional dari Sumbar yang berkontribusi dalam perjuangan kebangsaan dan pemikiran modern.
Kasus-Kasus yang Mungkin Mempengaruhi Persepsi. Beberapa peristiwa yang bisa menjadi alasan Sumbar dinilai kurang toleran seperti penolakan terhadap kelompok tertentu, misalnya kasus pelarangan kegiatan ibadah minoritas di beberapa daerah. Kebijakan daerah yang berbasis nilai keislaman, seperti aturan berpakaian yang dianggap kurang inklusif bagi non-Muslim.
Penolakan terhadap konser atau acara budaya tertentu dengan alasan bertentangan dengan norma setempat. Namun, perlu diingat bahwa kasus-kasus tersebut tidak selalu mencerminkan keseluruhan masyarakat Sumatera Barat, melainkan bisa jadi hanya fenomena di sebagian kelompok atau wilayah tertentu.
Kritik terhadap Label "Intoleran". Banyak masyarakat Sumatera Barat yang merasa bahwa label "intoleran" tidakla adil, karena tidak memperhitungkan konteks budaya dan agama di daerah tersebut. Toleransi tidak harus berarti menerima semua hal tanpa batas, tetapi juga bisa berarti menjaga nilai-nilai budaya lokal sambil tetap menghormati keberagaman. Ada kekhawatiran bahwa survei seperti ini bisa menciptakan stigma negatif terhadap daerah tertentu, padahal masalah intoleransi bukan hanya ada di Sumbar, melainkan juga di berbagai daerah lain di Indonesia.
Tantangan dan Peluang ke Depan. Jika Sumatera Barat ingin meningkatkan indeks toleransi tanpa meninggalkan nilai budayanya, beberapa langkah yang bisa dilakukan: Meningkatkan dialog antaragama dan antarbudaya di tingkat lokal untuk memperkuat pemahaman dan menghindari kesalahpahaman. Menjaga keseimbangan antara identitas lokal dan kebhinekaan, sehingga aturan atau kebijakan daerah tetap menghormati hak semua warga negara. Meningkatkan peran tokoh adat dan agama dalam membangun narasi kebersamaan yang tetap berakar pada falsafah Minangkabau.
Kesimpulan.
Kerukunan, cinta kemanusiaan, dan kemaslahatan merupakan konsep utama dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Ketiga nilai ini menjadi bagian dari visi dan misi Kementerian Agama dalam mewujudkan Indonesia yang maju dan emas pada 2045. Kerukunan dan kemaslahatan saling berkaitan erat, di mana kehidupan yang rukun menciptakan stabilitas sosial, kesejahteraan masyarakat, toleransi, keadilan, serta pembangunan yang berkelanjutan.
Secara historis, konsep ini telah diterapkan di berbagai peradaban, seperti dalam kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, Piagam Madinah, serta pasca-Perang Dunia II melalui organisasi global seperti PBB dan ASEAN. Kajian ilmiah juga menunjukkan bahwa masyarakat yang rukun cenderung lebih stabil secara sosial, ekonomi, dan psikologis.
Dalam Islam, Al-Qur'an dan hadis menegaskan pentingnya kerukunan dan cinta kemanusiaan, yang tercermin dalam perintah menjaga persaudaraan dan larangan berbuat kerusakan. Fatwa ulama serta pandangan ilmuwan, seperti Ibnu Khaldun dan Mahatma Gandhi, juga menekankan pentingnya solidaritas sosial dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, tantangan modern seperti kerukunan yang hanya bersifat simbolis, standar ganda dalam penerapan nilai kemanusiaan, serta dampak teknologi dan media sosial harus diatasi agar konsep ini dapat diterapkan secara nyata dan adil.
Di Sumatera Barat, kerukunan dan cinta kemanusiaan telah menjadi bagian dari budaya lokal, tetapi belakangan ini mendapat stigma sebagai daerah intoleran. Label tersebut perlu dikaji lebih dalam dengan mempertimbangkan konteks budaya, sejarah, dan metode survei yang digunakan. Daripada menerima stigma negatif, Sumatera Barat dapat memperkuat harmoni dengan tetap menjaga identitas budayanya melalui dialog dan kebijakan yang lebih inklusif. DS. 20032025.
(Bahan Dialok Kerukunan dan Sosialisasi Protas, 20 Maret 2025 di Hotel Rangkayo Basa Basa)
*Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat