Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Politik Puasa oleh ReO Fiksiwan

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Arab-Latin: yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba 'alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba 'alallażīna min qablikum la'allakum tattaqụn

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa(Al-Baqarah: 183)

Apa relevansi antara perintah kaidah agama ihwal berpuasa dengan politik kewarganegaraan yang memiliki populasi umat di atas 80% dan terkait kebijakan negara tentang politik efisiensi yang dibarengi krisis ekonomi nasional?

Tentu, menurut perspektif teologis, politik puasa terkait erat dengan kebijakan makrokosmos yang universal sebagai kaidah alam semesta dan mikrokosmos yang partikularitas sebagai aksi dan tindakan manusia di dalam memakmurkan jagat kecil, planet bumi, sebagai kondisi yang seharusnya imbang. Al Gore(76), Wapres Amerika di era Presiden Bill Clinton(78) tahun 1993-2001, mengungkap hal itu dalam An Inconvenient Truth(2006) atau sebelum itu, dalam Earth in the Balance(1992).

Namun, ditilik dari ayat perintah puasa dalam Quran, politik puasa memiliki pandangan teologi inklusif yang justru sangat personal dan partikularitas. Dengan bukti, perintah itu hanya dialamatkan pada mereka yang beriman(believers) dan dari masa umat-umat sebelumnya, agar meraih pahala dasar „la allakum tattaqun.“

Dengan kata lain, dalam dekade mutakhir dewasa ini, puasa telah berkembang sebagai sebuah isu politik yang kompleks dan kontroversial, khusus dalam antropologi falak(hilalism) dan ekosospol(halalism) di negara kita.

Menilik politik puasa sebagai perintah agama dan kekuasaan sebagai kendali politik, hal ini bisa dikontekskan dengan politik efisiensi pada struktur negara dan warganya yang justru punya dominasi populasi atau setara kurang dari 273 juta jiwa. 

Sebetulnya, puasa sendiri sebagai salah satu simbol identitas agama yang paling kuat dalam Islam, terutama sebagai moral(akhlak). Dalam Al-Qur'an, puasa diwajibkan sebagai salah satu rukun Islam, dan umat Muslim di seluruh dunia menjalankan puasa sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, puasa telah menjadi sebuah isu politik yang kompleks.

Di beberapa negara Muslim, puasa telah menjadi sebuah isu politik yang sangat sensitif. Dalam beberapa kasus, pemerintah sebuah negara dengan populasi umat Islam yang dominan telah menggunakan puasa sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan dan mengontrol masyarakat. Misalnya, di Iran, pemerintah telah menggunakan puasa sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan dan mengontrol masyarakat.

Sementara, di beberapa negara non-Muslim, puasa telah menjadi sebuah isu politik yang tak kalah kompleks, khususnya bagi penguatan politik identitas yang tentu kurang berlaku di negara-negara sekuler.

Dalam beberapa kasus, puasa telah digunakan sebagai alat untuk memperkuat identitas agama dan membedakan diri dari masyarakat non-Muslim. Misalnya, di Prancis, puasa telah menjadi sebuah isu politik yang sangat sensitif, terutama dalam konteks debat tentang identitas nasional dan integrasi imigran.

Walhasil, politik puasa bisa digunakan untuk sebuah putusan politik yang kompleks dan kontroversial. 

Dalam arti yang eksklusif-partikular, politik puasa dapat diperalat untuk memperkuat kekuasaan, mengontrol masyarakat, dan memperkuat identitas agama. Namun, di sisi lain, politik puasa pun dapat memperkuat solidaritas dan mempromosikan toleransi, khusus mereka yang didera kemiskinan struktural akibat salah urus negara atas warganya seperti kasus yang menimpa pemimpin Bangladesh, PM ke-10, Sheikh Hasina(77) yang berkuasa sejak 1996 dan merupakan putri dari pendiri negara Bangladesh, Syeikh Mujibur Rahman.

Meski mengandung kebijakan negara yang tampak kontroversi, politik puasa bisa disejajarkan dengan politik efisiensi negara dan memercik kekuasaan negara — jika dikelola tanpa determinan kebijakan negara di antara struktur formil kewargaan seperti presiden, menteri hingga pejabat di bawahnya dari gubernur, walikota, bupati serta struktur informil kewargaan seperti civil society.

Kesejajaran politik puasa sebagai bentuk kebijakan efisiensi tampaknya hanya di kalangan struktur formil yang secara teologis, meminjam istilah Carl Schmitt, politik teologis, kurang memadai untuk kesejajaran yang dimaksud.

Apa mungkin, politik efisiensi itu dapat ditafsirkan seperti makna dan arah yang dituju oleh perintah agama vis a vis Tuhan sebagai bentuk pengendalian atas kerakusan di tubuh politik struktur kekuasaan pemerintah atau negara yang secara klise disebut koruptif?

Jika efisiensi hanya dihitung dari pemangkasan bujet negara sebesar 306 triliun, lantas bagaimana struktur masif kekuasaan yang koruptif bisa ditengahi? Coba diteroka berapa triliun duit hasil rasuah yang hingga kini tak bisa diambil ulang. Andai benar, apakah bisa ditangani pidana korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. mencapai nominal fantastis, yakni Rp 271,06 triliun(https://amp.kompas.com/tren/read/2024/03/29/210000765/capai-rp-271-triliun-berikut-rincian-penghitungan-kasus-korupsi-timah-di)?

Lagi-lagi, apakah seluruh populasi umat dominan, Islam di Indonesia, yang mencapai di atas 50% bisa menunaikan puasa sebenar-benarnya? Sementara hanya di atas 500 ribu kaum oligarki di Indonesia kekayaan bisa melampaui kekayaan negara(https://nasional.kompas.com/read/2023/08/21/10154071/indonesia-dalam-cengkeraman-oligarki?page=all).

Karna politik efisiensi sesungguhnya telah dilampaui oleh kerakusan segelintir elit penguasa bercampur elit kapitalis oligarki yang memroduksi ketimpangan yang sangat masif dan berdampak pada populasi plus di luar umat Islam yang sedang menjalani puasa.

Oleh karena itu, penting untuk memahami politik puasa dalam konteks yang lebih luas dan kompleks agar mispersepsi politik kekuasaan dan kewargaan atas krisis ekonomi — khusus yang menimpah populasi 10.000 karyawan P.T. Sritex harus dipehaka — bisa mengurangi defisit moral para elit kekuasaan dan elit pengusaha. 

Kedua struktur agensi politik(negara), kuasa negara dan kuasa kapitalis — perintah konstitusi pelihara fakir miskin(bukan cuma MBG dan efiseinsi) dan cerdaskan kehidupan bangsa — ini sejatinya harus bertanggungjawab pada kasus yang dialami oleh karyawan PT. Sritex dan entah siapa lagi menyusul sebagai takdir pada apa yang disebut sosiolog asal Jerman, Ulrich Beck(1944-2015), sebagai “Risikogesselschaft”(Risk Society).

Bagaimana politik efisiensi bisa efektif jika usaha swasta yang telah lebih dari setengah abad bertahan, bangkrut cuma dalam hitungan menit?

Akhirnya, politik puasa itu harus dengan sungguh-sungguh bisa ditunaikan dalam memenuhi hukum alam atas kendali potensi kerakusan manusia di balik politik berpantang(puasa) secara material maupun spiritual.

#Bibliothek:

Ahmed, A. (2015). Islam and the Politics of Fasting. Journal of Islamic Studies, 26(2), 151-166.

Bowen, J. R. (2012). A New Anthropology of Islam. Cambridge University Press.

Esposito, J. L. (2010). The Future of Islam. Oxford University Press.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.