Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Oposisi Itu Terhormat Oleh: Elza Peldi Taher

*( Sudah seharusnya kita terus- menerus menanamkan kembali ide mengenai oposisi sampai tiba saatnya dimana orang merasa menjadi oposisi itu terhormat. Oposisi tak perlu dipahami sebagai sikap menentang, sebab dalam oposisi ada pula segi support-nya, sehingga politik menjadi penyeimbang. Oposisi dimulai dengan postulat sederhana, bahwa masalah sosial dan politik tak bisa dipertaruhkan dengan ikhtikad baik, sebab yang dipertaruhkan nasib orang banyak, Nurcholish Madjid).* 

######

Tahun 1990-an Nurcholish Madjid, yang biasa dipanggil Caknur, memperkenalkan ide tentang oposisi di berbagai mimbar dan tulisannya. Saat itu bangsa ini tengah memasuki gerbang demokrasi. Poin utama yang hendak disampaikan sang guru bangsa adalah “Menjadi oposisi itu terhormat”. Menurut Cak Nur oposisi beda dengan oposisionalisme. Oposisionalisme adalah menentang sekadar menentang, sangat subyektif, bahkan mungkin itikadnya kurang baik.  

Cak Nur benar. Demokrasi tanpa oposisi ibarat orkestra tanpa nada minor: terlalu harmonis hingga kehilangan dinamika. Dalam sistem demokrasi yang sehat, oposisi bukan sekadar pelengkap penderita, melainkan pilar utama yang memastikan jalannya pemerintahan tetap di rel yang benar. Oposisi adalah pengingat bahwa kekuasaan tidak boleh absolut, bahwa setiap kebijakan mesti diuji di hadapan kritik, dan bahwa setiap pemimpin perlu merasakan tekanan agar tak tergoda mengubah demokrasi menjadi oligarki.

Indonesia memasuki demokrasi setelah reformasi. SBY menjadi presiden 10 tahun dan PDIP memainkan peran sebagai oposisi. Sayangnya, pada awal kedua periode pemerintahan Joko Widodo, oposisi semakin menjadi spesies langka di habitat politik Indonesia. Alih-alih menjadi penyeimbang kekuasaan, pihak yang kalah dalam pemilu justru dirangkul dalam satu koalisi besar yang meredam kritik. Prabowo Subianto, yang dua kali menjadi rival Jokowi dalam kontestasi Pilpres, justru diangkat menjadi menteri pertahanan. Partai-partai yang sebelumnya berseberangan mendadak lunak setelah mendapat kursi di kabinet. Demokrasi berubah menjadi ruang senyap, di mana kritik hanya bergema di pinggiran dan nyaris tak terdengar di pusat kekuasaan.

Akibat lemahnya oposisi ini bisa dirasakan secara nyata. Salah satu yang paling kentara adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lewat revisi Undang-Undang KPK pada 2019, lembaga yang selama ini menjadi momok bagi pejabat korup itu berubah menjadi macan ompong. Pemberhentian pegawai-pegawai kritis melalui alibi Tes Wawasan Kebangsaan hanyalah episode lain dalam skenario pelemahan tersebut. Sejak itu, KPK lebih banyak menangkap ikan-ikan kecil, sementara kakap-kakap besar justru berenang bebas dalam kolam kekuasaan.

Bukan hanya itu, sejumlah kebijakan represif juga lahir tanpa banyak perlawanan. Undang-Undang Cipta Kerja, yang awalnya ditolak dengan demonstrasi besar-besaran, tetap disahkan dengan berbagai cara, bahkan lewat mekanisme Perppu yang banyak dikritik sebagai langkah ugal-ugalan. Kemudian ada pula kebijakan pengesahan KUHP baru yang mempersempit ruang kebebasan sipil dan memperberat hukuman bagi mereka yang mengkritik pemerintah. Di era ini, kebebasan berpendapat semakin terkekang, aktivis dan jurnalis semakin sering berhadapan dengan ancaman hukum, dan negara semakin mirip mesin raksasa yang melumat siapa saja yang berani melawan arus.

Kini, Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih tampaknya akan melanjutkan tradisi politik tanpa oposisi. Gerak-geriknya menunjukkan bahwa lawan-lawan politiknya sedang dirangkul, bukannya dibiarkan menjadi penyeimbang kekuasaan. PDIP, satu-satunya partai besar yang tampaknya akan berada di luar pemerintahan, pun tidak sepenuhnya leluasa untuk menjadi oposisi. Mereka punya banyak catatan buruk yang bisa dijadikan bahan negosiasi oleh pemerintahan baru. Oposisi, sekali lagi, akan menjadi ruang kosong yang hanya diisi oleh suara-suara lirih dari masyarakat sipil dan segelintir aktivis yang masih berani bersuara.

Kondisi ini mengingatkan kita pada era Orde Baru, ketika stabilitas politik dianggap sebagai syarat mutlak bagi pembangunan. Bedanya, jika dulu stabilitas dibangun dengan represi terbuka, kini stabilitas ditegakkan dengan kooptasi: lawan-lawan politik tidak dibungkam dengan kekerasan, tetapi dengan jabatan dan proyek-proyek menggiurkan. 

Jika situasi ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia bisa berubah menjadi sekadar prosedural: pemilu tetap ada, pemimpin tetap berganti, tetapi substansinya nihil. Kita akan menyaksikan demokrasi yang berjalan dengan satu kaki, pincang tanpa oposisi yang kuat.

Seperti yang dikatakan Nurcholish Madjid, oposisi seharusnya menjadi bagian terhormat dalam demokrasi. Oposisi bukan sekadar lawan, tetapi juga mitra yang membantu menjaga keseimbangan politik. Dalam sistem yang sehat, kritik bukanlah ancaman, melainkan bagian dari proses untuk memastikan bahwa kekuasaan tetap berada dalam kendali rakyat.

Namun, melihat kondisi politik saat ini, harapan itu terasa seperti utopia. Partai-partai lebih tertarik menjaga pundi-pundi mereka daripada mengawal kepentingan publik. Oposisi menjadi barang langka, kritik semakin lirih, dan demokrasi semakin kehilangan ruhnya. Kita sedang menyaksikan demokrasi yang berjalan dengan satu mata tertutup—dan jika kita tidak berhati-hati, bisa jadi kita akan terbangun di pagi hari menemukan bahwa demokrasi yang kita kenal telah berubah menjadi hantu tanpa nyawa.

Satu hal yang juga memprihatinkan adalah dua ormas terbesar, NU dan Muhammadiyah, yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi, kini juga menjadi bagian dari pemerintahan, dengan banyak kader mereka masuk dalam struktur kekuasaan. Tak hanya itu, mereka juga menerima izin konsesi tambang yang kontroversial, yang tentu membuat kedua ormas ini sulit berperan sebagai penjaga demokrasi. Seharusnya kedua ormas ini tetap berada di luar pemerintahan agar bisa menjalankan fungsi kritik dan kontrol secara lebih bebas. Dengan situasi seperti ini, oposisi dan sikap kritis akan semakin melemah, demokrasi kehilangan penyeimbangnya, dan rakyat tak lagi memiliki suara yang mampu menekan pemerintah agar tetap berpihak pada kepentingan umum.

Pondok Cabe Udik 3 Maret 2025

Elza Peldi Taher

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.