![]() |
- Pengantar Buku Puisi Esai “Yang Menggigil dalam Arus Sejarah”
“Sejarah bukanlah sekadar catatan peristiwa, tetapi kisah manusia yang terjebak dalam pusarannya.
Dan di antara angka-angka dan tanggal-tanggal yang beku, sastra hadir untuk menghembuskan napas ke dalamnya, menghidupkan yang terlupakan.”
Sejarah acapkali ditulis dengan darah. Di setiap zaman, ada mereka yang tercatat sebagai pemenang, dan ada yang lenyap dalam diam.
Nama-nama besar memenuhi halaman buku, tetapi bagaimana dengan mereka yang hilang di tengah gelombang, yang terbakar dalam revolusi, yang dipaksa melangkah ke dalam peristiwa yang tidak mereka pilih?
Mereka yang terbunuh dalam perang tidak sekadar angka. Mereka memiliki impian yang patah, surat yang tak pernah sampai, lagu pengantar tidur yang tak sempat dinyanyikan.
Buku ini adalah usaha untuk menyelamatkan mereka dari kesunyian sejarah. Ia mengumpulkan jeritan yang terserak dari berbagai zaman: dari Revolusi Prancis, ketika monarki tumbang dan guillotine berdarah; dari Perang Sipil Amerika, ketika bangsa yang sama berperang demi kebebasan.
Juga tangisan dalam Revolusi Rusia, yang mengubah wajah kekuasaan; dari parit-parit berlumpur Perang Dunia Pertama, hingga Holocaust, yang menciptakan deretan angka di lengan manusia.
Sejarah ini juga bukan hanya milik Eropa. Di Timur, Revolusi Kebudayaan China menghancurkan mereka yang berani berpikir. Sementara di Vietnam, ribuan pengungsi menyerahkan diri kepada lautan daripada hidup dalam ketakutan.
Hiroshima pun mencatat sebuah pagi yang tidak pernah kembali normal, ketika kota itu berubah menjadi abu dalam hitungan detik.
Bagaimana cara kita mengingat mereka? Apakah cukup dengan monumen batu dan arsip kuno?
Tidak.
Sejarah membutuhkan hati untuk bisa diingat.
Sejak menjadi aktivis mahasiswa dan kolumnis di tahun 1980-an, saya begitu takjub membaca drama manusia dalam sejarah yang terus bergerak. Aneka kisah dramatis sejarah itu kini saya tuangkan dalam puisi esai.
-000-
Ada alasan mengapa sejarah perlu direkam dalam sastra. Kita bisa membaca tentang enam juta korban Holocaust dalam buku sejarah. Namun, apakah itu cukup? (1)
Angka tidak menangis, tidak bergetar, tidak meratap. Tetapi dalam puisi, sejarah menemukan denyutnya kembali.
Dalam puisi esai Kereta Menuju Neraka, kita menyaksikan seorang anak yang kehilangan ibunya di gerbang Auschwitz. Tragedi tidak lagi berupa statistik, tetapi hadir sebagai kehilangan yang begitu nyata:
*“Ibuku menggenggam tanganku,
tapi tangan lain merenggutnya dariku.
Seorang pria berjas putih berdiri di depanku,
seperti dewa tanpa hati.
Satu jentikan jari,
dan dunia berubah.
Kanan: hidup.
Kiri: mati.
Aku melihat truk berlalu,
penuh bayi-bayi menangis.
Aku tak sempat bertanya ke mana mereka pergi,
karena udara mulai berbau bara.”*
Sejarah menjadi dekat, menyelinap ke dalam batin kita. Sastra juga menyelamatkan kisah-kisah yang nyaris lenyap.
Kita tahu tentang Perang Vietnam, tetapi seberapa sering kita mendengar suara mereka yang melarikan diri? (2)
Dalam kisah manusia kapal pengungsi yang lari dari Vietnam Melawan Ombak atau Mati, seorang ayah menggendong anaknya di atas perahu yang hampir tenggelam.
Ia menghadapi pilihan yang tak mungkin:
*“Pejamkan mata, Mai… jangan lihat laut yang menelan.
Bayangkan kita di tanah lain, di bawah langit yang ramah.”
“Di sana, bunga liar tak berhenti bergoyang.
Kau tertawa, kau berlari, tanpa takut, tanpa menangis.”*
Di suatu pagi, di tempat lain, seorang awak kapal melihat perahu kosong.
Tak ada yang tahu siapa mereka, dari mana mereka datang.
Lautan menyimpan mereka, tanpa nama, tanpa tanda.
Di papan itu menempel sisa harapan yang ditelan samudra.
Tanah melahirkan kita, laut menghapus kita.
Sejarah mencatat pemenang, tapi lupa menulis nama yang karam. Dan lebih dari itu, sastra memberi ruang bagi refleksi.
Sejarah sering diajarkan sebagai deretan peristiwa, tetapi puisi membuat kita bertanya: Bagaimana rasanya berada di sana?
Dalam Surat yang Tertunda Ketika Bom Hiroshima, sebuah janji sederhana berubah menjadi nisan yang tak berbentuk:
*“Di sebuah museum sepi di Hiroshima,
seorang wanita tua berdiri di depan kotak kaca. (3)
Jari-jarinya gemetar menyentuh permukaan,
seolah ingin menembus batas waktu.
Di dalamnya, secarik surat terbakar sejarah.
Surat dari suami tercinta,
puluhan tahun lalu,
tak sempat terkirim,
ditemukan di antara abu, disimpan di museum.
Tinta yang tersisa masih bisa terbaca:
“Aku akan pulang sebelum senja.”*
Mata tuanya berkaca-kaca.
Dunia mengecil, menyusut ke dalam satu kenangan:
Sebuah pagi, sebelum 1945.
Sastra tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga melindungi luka-luka mereka yang tak terdengar.
-000-
Puisi esai adalah genre sastra yang menggabungkan puisi dan esai dalam satu kesatuan naratif. Ia lahir dari kebutuhan untuk menyampaikan peristiwa nyata dengan cara yang lebih puitis.
Ia menghidupkan sejarah, tragedi, atau fenomena sosial melalui kata-kata yang bergetar. Dalam puisi esai, kisah nyata mengalami dramatisasi, bukan untuk mengubah faktanya, tetapi untuk menggali kedalaman emosional yang mungkin tak tersampaikan dalam berita atau data semata.
Yang membedakan puisi esai dari puisi biasa adalah keberadaan catatan kaki yang menyertai puisi. Catatan kaki ini bukan sekadar tambahan, melainkan jiwa dari puisi esai itu sendiri, karena ia menjadi jembatan antara fakta dan imajinasi.
Ia menunjukkan bahwa kisah yang dipuisikan bukan sekadar rekaan, tetapi berpijak pada peristiwa yang benar-benar terjadi.
Puisi esai adalah true story yang difiksikan, ketika fakta, berita, dan cerita berpadu dalam harmoni. Ia memungkinkan pembaca tidak hanya mengetahui, tetapi juga mengalami.
Lebih dari sekadar laporan sejarah atau artikel investigatif, puisi esai menyusup ke dalam batin pembaca, mengajak mereka menyelami rasa takut, harapan, kehilangan, dan keberanian yang tersembunyi dalam arus sejarah.
Jika sejarah adalah kanvas, maka puisi esai adalah goresan warna yang menghidupkannya.
Kita bisa membaca Revolusi Kebudayaan dalam buku akademik, tetapi bagaimana rasanya menjadi seorang penyair yang ditangkap hanya karena menulis?
Dalam Puisi Melawan Mao Zedong, ketakutan merayap di dinding penjara:
*“Di puncak istananya,
Mao Zedong gusar.
Revolusi itu nyala yang menghanguskan.
Tetapi ia takut api mulai meredup.”
Ia meniup bara dengan cemas,
membakar buku agar dirinya tetap terang.
Genggamannya melemah.
Bisikan perlawanan mulai tumbuh.
Di antara bait puisi dan pemikiran bebas,
ia mencium aroma pengkhianatan,
dan mengubah tinta menjadi pemberontakan.
Puisi esai ini menggambarkan perlawanan para aktivis dan seniman yang tak berdaya. Tapi spirit perlawanan ini mereka rekam ke dalam puisi:
“Di dinding selnya yang lembap,
dengan darah dari jarinya yang pecah,
ia menulis:
‘Jika dunia membungkam suaraku,
biarkan bayang-bayang menyanyikannya.’”
Kata-kata selalu menemukan jalannya, bahkan di balik tembok yang paling tebal.
Dan dalam perang yang tampaknya tanpa ampun, puisi esai menemukan celah untuk mengangkat sisi kemanusiaan.
Di tengah Perang Dunia Pertama, tentara yang seharusnya saling membunuh, untuk satu malam, bermain bola bersama karena mendengar lagu Silent Night di malam Natal.
Lima bulan sudah perang meletus.
Brutal.
Kejam.
Ratusan ribu mayat berceceran.
Bau darah,
bercampur bau bangkai.
25 Desember 1914.
Di tengah dingin yang menggigit,
di sela-sela bisikan perang yang tak pernah tidur,
aku mendengar suara itu.
“Stille Nacht, Heilige Nacht…”
Nyanyian dari parit kami,
mengalun pelan, rapuh,
tetapi cukup kuat menembus tembok perang.
Dari seberang, terdengar suara lain menjawab,
bahasa yang berbeda, melodi yang sama:
“Silent night, holy night…”
Aku mengintip dari balik tanah yang retak,
dan melihat mereka:
tentara Inggris, tentara Prancis,
lawan yang selama ini kusebut musuh.
Mereka bukan bayangan
yang harus ditembak;
mereka pria yang juga rindu rumah.
Sesuatu bergerak dalam diriku,
lebih berat dari ransel,
lebih dalam dari luka tembak.
Tanah di antara kami adalah kuburan terbuka,
tempat harapan lenyap,
lebih cepat daripada peluru.
Namun malam itu, seseorang melangkah.
Aku tidak tahu siapa yang pertama kali keluar.
Mungkin dia dari pihak kami, mungkin dari pihak mereka.
Tapi yang pasti, aku menyusul.
Tanpa helm, tanpa senjata,
hanya dengan hati yang berdebar,
dan tangan yang rindu menjabat tangan lain,
bukan untuk bertarung, tetapi untuk mengenal.
Kami berdiri, berhadapan,
tanpa tembok, tanpa parit.
Seorang pemuda Inggris menyodorkan rokok,
aku memberikan sepotong cokelat,
yang tersisa di saku.
Dan entah bagaimana, kami tertawa.
Sungguh-sungguh tertawa.
Tetapi perang tidak mengizinkan persahabatan berlangsung lama. Esok paginya, mereka kembali saling tembak.
Namun, kita tahu sesuatu telah berubah dalam diri mereka.
-000-
Lalu dimana bedanya puisi esai yang juga merekam sejarah dengan histografi, ilmu sejarah?
Sejarah sering ditulis dengan tinta akademik: dingin, objektif, tanpa emosi. Historiografi adalah usaha manusia memahami masa lalu melalui metode ilmiah, meneliti dokumen, membandingkan sumber, dan menyusun kronologi peristiwa.
Ia menjaga jarak dari subjeknya, menjaga kredibilitas dengan netralitas.
Tetapi apakah sejarah cukup direkam dengan data?
Puisi esai menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia bukan sekadar pencatatan, melainkan pengalaman. Ia menghidupkan kisah yang tersembunyi di balik angka-angka, menjembatani fakta dengan rasa.
Jika historiografi mengarsipkan, puisi esai menghidupkan. Jika historiografi mencatat kemenangan dan kekalahan, puisi esai mengisahkan rintihan yang terlupakan.
Ketika historiografi menyatakan, “Enam juta Yahudi terbunuh dalam Holocaust,” puisi esai bertanya, “Bagaimana rasanya kehilangan ibu di gerbang Auschwitz?”
Sejarah mencatat peristiwa. Puisi esai mengabadikan jiwa.
Dalam peradaban yang terus bergerak, keduanya bisa saling melengkapi.
Historiografi memberi struktur. Puisi esai memberi nyawa. Dan di antara keduanya, manusia menemukan makna sejarah. Peristiwa di masa lalu bukan sekadar untuk diingat, tetapi untuk dirasakan kembali.
-000-
Buku ini bukan hanya kumpulan puisi. Ia adalah dokumen kemanusiaan.
Ia adalah upaya agar mereka yang hilang di dalam sejarah, mereka yang lenyap tanpa batu nisan, tidak benar-benar menghilang.
Dunia sering mencatat nama pemimpin dan strategi perang, tetapi siapa yang menuliskan jeritan anak yang kehilangan ibunya dalam kamp konsentrasi?
Siapa yang menyimpan cerita seorang lelaki tua yang menunggu istrinya, yang tak pernah kembali dari Hiroshima?
Dalam puisi esai ini, mereka hidup kembali. Primo Levi, penyintas Holocaust, pernah berkata:
“Jika memahami itu mustahil, mengenang itu kewajiban.”
Dan buku ini adalah pemenuhan kewajiban itu.
Sejarah telah terjadi.
Tetapi apakah kita akan mengingatnya?
Atau membiarkannya tenggelam,
seperti nama-nama yang karam di lautan waktu?
Sastra tidak bisa mengubah masa lalu.
Tetapi ia bisa memastikan bahwa mereka yang jatuh,
tidak jatuh dalam kesia-siaan.
“Sejarah mengulang dirinya dalam wajah yang baru,
tetapi luka tetap sama, hanya nama yang berganti.
Di Gaza, di Ukraina, di tanah-tanah tanpa suaka,
anak-anak masih kehilangan ibunya dalam politik kekerasan yang tak mereka pahami.
Sejarah mencatat peristiwa. Puisi mengabadikan jiwa. Dan inilah yang ingin diberikan buku ini. ***
Jakarta, 20 Maret 2025
CATATAN
(1) Sekitar 6 juta yahudi terbunuh dalam tragedi Hollocoust
Mourning Death of Six Million Jews, Secretary-General Urges Global Community to Speak Out for Human Rights, Never Let Guard Down, in Holocaust Remembrance Day Message | Meetings Coverage and Press Releases
(2) Ratusan ribu pengungsi dari Vietnam terkubur di laut
Los Angeles Timeshttps://www.latimes.comVietnam Refugees Tell of Deaths at Sea, Cannibalism
(3) Berdiri museum Hiroshima mengenang kekejaman perang dunia kedua
https://hpmm-db.jp/en/
**Aneka tulisan Denny JA tersimpan di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/15AQ3QUxEg/?mibextid=wwXIfr