![]() |
#30Harimenulispuisiesai
Puisi14
(Puisi esai ini di dramatisasi dari kasus eksploitasi anak, dimana seorang anak yang masih dibawah umur dipaksa orangtuanya untuk bekerja) (1)
Malam semakin larut,
Langit merayap pelan dalam keheningan,
Setiap insan mulai kembali ke rumah,
Tapi di sudut alun-alun yang sepi,
seorang bocah masih berjalan tertatih,
menggendong beban yang bukan miliknya,
Di tangannya, bukan buku pelajaran,
melainkan kotak kue yang berat oleh harapan.
Di matanya, bukan cahaya bahagia,
melainkan letih yang dipaksa bertahan.
Ayah dan ibunya duduk di rumah,
menanti lembar rupiah yang ia kumpulkan.
Tanpa peduli malam semakin rawan,
tanpa bertanya, apakah si kecil tidak ketakutan?
Mengapa tangan mungil itu harus berjuang sendirian?
Di saat yang lain terlelap dalam mimpi,
Berselimut kehangatan dan kasih sayang,
ia malah dituntut menaklukkan nasib.
Orang tuanya berkata, “Jangan pulang sebelum dapat uang untuk makan!"
Namun, siapa yang bilang, tanggung jawab itu berada di tangan kecil yang masih butuh perlindungan?
Siapa yang mengizinkan masa depannya dilelang,
hanya demi mengisi perut yang kelaparan?
Bocah itu harusnya belajar,
menuliskan cita-cita di lembar buku,
bukan sibuk mengumpulkan uang hingga tengah malam,
bukan menahan kantuk di jalanan beku.
Tapi, ia tak berani pulang!
Langkahnya tertahan oleh kecaman,
Orangtua yang kejam,
Tak dapat uang, ia akan dipukuli!
Menambah rasa sakit yang membekas trauma
Ia tak takut malam,
Baginya rumah membuatnya lebih tertekan
Bayangan tangan kasar, suara bentakan,
memenuhi pikirannya yang masih rapuh.
Ia tahu, pulang tanpa uang artinya hukuman.
Malam menyamarkan air matanya,
seperti rahasia yang ditelan kegelapan.
Di sudut jalan, ia berhenti,
menatap kotak kue yang masih setengah terjual.
Perutnya meronta, matanya pedih,
tapi ia tahu, satu kue pun tak boleh dimakan.
Harus habis terjual!
Lalu seorang lelaki tua menghampiri,
dengan tatapan iba yang tak banyak bicara.
“Sudah larut, Nak, kenapa kau masih di sini?”
Bocah itu diam, menggigit bibirnya sendiri.
Tak ada jawaban selain mata yang mulai basah,
tapi lelaki itu tahu, ia mengerti segala lukanya.
Ia mengeluarkan uang, membeli semua kue,
lalu berkata, “Pulanglah, Nak. Istirahatlah malam ini.”
Bocah itu tertegun, tangannya gemetar,
sebelum akhirnya ia berlari pulang,
menyimpan hangat yang tak pernah ia kenal,
doa lirih melayang dalam bisik angin malam.
Namun apakah hari esok akan kembali membawa keajaiban?
Atau haruskah ia mengulang, malam-malam yang menyakitkan
CATATAN:
(1)https://jatimtimes.com/baca/175807/20180720/144424/suruh-anak-jualan-kue-sampai-dini-hari-dua-orang-tua-asal-madura-ini-dikecam-netizen