Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

INTELEKTUAL UNTUK POLITIK SEHAT Oleh: Duski Samad

Intelektual berasal dari bahasa Latin intellectus, yang berarti pemahaman atau daya pikir. Dalam bahasa Arab, konsep ini sering dikaitkan dengan "ulul albab" (orang yang memiliki akal sehat) dan "aql" (akal yang digunakan secara benar). Edward Said menjelaskan intelektual adalah seseorang yang memiliki kesadaran moral dan sosial, serta berani mengkritik kekuasaan demi kebaikan masyarakat. Menurut Antonio Gramsci intelektual bukan hanya akademisi, tetapi siapa saja yang mampu memproduksi dan menyebarkan gagasan untuk perubahan sosial. Ali Shariati menuliskan intelektual adalah agen perubahan yang harus menyadarkan masyarakat terhadap ketidakadilan.

Karakteristik intelektual adalah yang berpikir kritis, Mampu menganalisis dan tidak mudah menerima informasi mentah-mentah. Berbasis ilmu. Memiliki wawasan luas dan mendalam dalam bidangnya. Mandiri secara moral. Tidak mudah terbeli oleh kepentingan politik atau ekonomi. Aktif dalam perubahan sosial. Tidak sekadar berpikir, tetapi juga bertindak untuk kebaikan bersama.

Peran intelektual diantaranya sebagai pengkritik kekuasaan atau menjadi oposisi moral terhadap penyimpangan politik. Sebagai penjaga moralitas sosial. Mengarahkan masyarakat ke nilai-nilai yang lebih baik. Sebagai pembuat kebijakan berbasis ilmu: Mengedepankan kebijakan rasional, bukan hanya pragmatis. Intelektual bukan sekadar orang pintar, tetapi seseorang yang berkomitmen pada kebenaran dan keadilan serta berani menyuarakannya, bahkan jika harus melawan arus.

ISLAM, INTELEKTUAL UNTUK POLITIK SEHAT

Dalam Islam, intelektual (disebut juga sebagai ulul albab – orang-orang yang berakal) memiliki peran penting dalam politik. Beberapa prinsip utama yang ditekankan bahwa politik harus berbasis ilmu dan hikmah. Islam mengajarkan bahwa kekuasaan bukan sekadar jabatan, tetapi amanah. Pemimpin harus memiliki ilmu, kebijaksanaan, dan akhlak agar bisa membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. "Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang dianugerahi hikmah, sesungguhnya ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak." (QS. Al-Baqarah: 269). Artinya, seorang pemimpin politik harus memiliki hikmah (kebijaksanaan), yang dalam Islam berarti menggabungkan ilmu, akhlak, dan keadilan dalam mengambil keputusan.

b. Pemimpin Harus Berintelektual dan Bermoral

Nabi Muhammad SAW menekankan bahwa pemimpin harus memiliki ilmu dan adab. Kepemimpinan dalam Islam adalah pelayanan kepada rakyat, bukan alat untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.

Hadis Riwayat Muslim, "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian." Artinya, pemimpin yang baik adalah yang memahami kebutuhan rakyat dengan kecerdasan dan kebijaksanaan, bukan pemimpin yang hanya mencari keuntungan pribadi.

Islam mewajibkan kuatnya kecerdasan dan intelektualisme sebagai syarat kepemimpinan. Kisah tentang Nabi Yusuf AS yang meminta untuk menjadi bendahara negara karena ia memiliki kapasitas intelektual dan moral yang cukup: (Yusuf) berkata: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.’"(QS. Yusuf: 55). Ini menunjukkan bahwa pemimpin harus memiliki ilmu, kecerdasan, dan kemampuan teknis agar bisa mengelola pemerintahan dengan baik.

Peran intelektual dalam politik sehat. Para ulama menyoroti peran intelektual dalam politik. Ulama dan intelektual harus mengawal kebijakan public. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa ulama dan cendekiawan harus menjadi pemberi nasihat bagi penguasa agar tidak salah dalam membuat kebijakan. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyebutkan bahwa peradaban yang baik hanya bisa terjadi jika penguasa mendengar nasihat dari orang-orang berilmu dan intelektual.

Haram memilih pemimpin yang bodoh dan korup.Ulama sepakat bahwa pemimpin yang tidak memiliki ilmu, tidak amanah, dan korup adalah tidak layak dipilih. Syaikh Muhammad Abduh: “Seorang pemimpin yang tidak berilmu dan tidak bermoral akan merusak negara lebih cepat daripada musuh dari luar. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa memilih pemimpin yang tidak jujur dan tidak kompeten adalah dosa karena berpotensi membawa mudharat bagi umat.

Perspektif ilmuwan, ada beberapa analisis menarik tentang pentingnya intelektual dalam politik sehat. Politik harus berbasis riset dan keilmuan. Ilmuwan politik seperti Francis Fukuyama menekankan bahwa pemerintahan yang stabil dan maju harus berbasis pada good governance, yang berarti kebijakan harus dibuat berdasarkan ilmu dan penelitian. Di Indonesia, ilmuwan seperti Amien Rais dan Syafii Maarif sering menyuarakan bahwa politik harus dikembalikan kepada prinsip moral dan intelektual, bukan hanya kepentingan elite semata.

Ilmuwan sejak periode klasik menyebut bahwa demokrasi yang baik memerlukan pemimpin yang berintelektual. Plato dalam The Republic menyatakan bahwa pemimpin yang baik adalah philosopher-king atau raja yang berfilsafat, artinya pemimpin harus berilmu, kritis, dan visioner. Max Weber menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki etos kerja, keahlian, dan tanggung jawab moral agar bisa memimpin secara efektif.

Ancaman politik tanpa intelektual, Noam Chomsky menyebutkan bahwa ketika intelektual dihilangkan dari politik, yang terjadi adalah politik populisme, manipulasi, dan korupsi. Francis Fukuyama juga memperingatkan bahwa tanpa intelektualisme dalam politik, negara bisa jatuh ke dalam otoritarianisme atau politik transaksional.

Masalahnya, banyak politisi justru mengabaikan atau bahkan menyingkirkan kaum intelektual, karena politik lebih didominasi oleh kepentingan pragmatis, oligarki, dan politik uang. Tantangannya adalah bagaimana mengembalikan peran intelektual agar politik tetap sehat dan berpihak kepada rakyat.

KAPASITAS INTELEKTUAL DALAM RUANG POLITIK

Kapasitas intelektual dalam ruang politik, semuanya saling berkaitan dalam membentuk dinamika kekuasaan, kebijakan, dan representasi masyarakat. Esensi dari kapasitas intelektual di ruang politik adalah pemikiran rasional dan kritis yang digunakan untuk mengelola negara, merumuskan kebijakan, serta menjalankan pemerintahan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Politik yang sehat harus berbasis akal sehat, ilmu pengetahuan, dan etika, bukan sekadar kepentingan pragmatis atau kekuasaan belaka.

Eksistensinya hadir dalam berbagai bentuk negarawan dan pemikir politik. Orang-orang dengan visi besar yang mampu membawa perubahan (contoh: Soekarno, Hatta, atau bahkan tokoh dunia seperti Machiavelli dan Plato). Intelektual sebagai birokrat dan ahli kebijakan. Para teknokrat yang merancang kebijakan berbasis data dan ilmu. Akademisi dan intelektual public. Para pemikir yang mengkritisi jalannya politik dan memberikan solusi. Media dan Aktivis. Mereka yang berperan dalam menyebarkan pemikiran politik dan menumbuhkan kesadaran masyarakat. Namun, eksistensi intelektual sering kali tersingkir atau dikalahkan oleh politik transaksional dan kepentingan pragmatis.

Fungsi intelektual dalam politik lebih pada aktor yang akan mengawal jalannya kepemimpinan sesuai aturan dan norma yang sudah ditetapkan. mengoreksi jalannya kekuasaan. Memberikan kritik dan saran berbasis rasionalitas. Menciptakan kebijakan berbasis ilmu. Bukan sekadar populisme atau kepentingan sesaat.

Meningkatkan kesadaran politik masyarakat. Agar rakyat lebih cerdas dalam memilih pemimpin dan memahami hak-hak politiknya. Menjaga moralitas dan etika politik. Mencegah korupsi, manipulasi, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Kapasitas intelektual politik bisa diukur dari kemampuan analisisnya. Mampu memahami masalah kompleks dalam masyarakat. Kritis dan inovatif. Tidak hanya mengkritik, tapi juga mampu menciptakan solusi. Komunikasi dan persuasi. Bisa menyampaikan gagasan dengan jelas dan meyakinkan. Pemahaman sejarah dan budaya. Agar kebijakan tidak ahistoris dan bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat.

Namun, di banyak negara, termasuk Indonesia, kapasitas intelektual sering kali terpinggirkan oleh politik uang, oligarki, dan pragmatisme. Akibatnya, kebijakan sering kali dibuat berdasarkan kepentingan elite, bukan untuk kepentingan rakyat. Padahal politik yang sehat membutuhkan kapasitas intelektual yang tinggi agar kebijakan dan tata kelola negara berjalan dengan baik. Tapi realitanya, banyak politisi justru mengabaikan atau bahkan menyingkirkan pemikir-pemikir kritis demi melanggengkan kekuasaan.

INTELEKTUAL BERPIHAK PADA KEMANUSIAAN

Ciri paling nyata dari intelektual yang berpihak pada kemunisaan adalah kesiapannya sebagai pengkritik dan agen perubahan. Dalam politik, intelektual yang berpihak pada kemanusiaan sering menjadi pengkritik kekuasaan dan agen perubahan sosial adalah keniscayaan, karena kekuasaan sering kali merusak tatanan kemanusiaan. Mereka berperan dalam mengawasi kebijakan publik, mengkritik ketidakadilan, serta memberikan solusi berbasis ilmu pengetahuan. Noam Chomsky, misalnya, menekankan bahwa tugas intelektual adalah mengatakan kebenaran dan mengungkap kebohongan.

Intelektual versus politik praktis. Intelektual sering berhadapan dengan dilema menjadi independen atau terlibat dalam politik praktis. Jika terlibat dalam politik praktis, mereka berisiko kehilangan objektivitas dan menjadi alat kepentingan tertentu. Sebaliknya, jika mereka tetap di luar politik, pengaruh mereka dalam pengambilan kebijakan bisa terbatas.

Intelektual kemanusiaan dalam demokrasi versus otoritarianisme. Dalam sistem demokrasi, intelektual memiliki ruang lebih besar untuk berpendapat dan mempengaruhi kebijakan. Dalam sistem otoriter, mereka sering dianggap sebagai ancaman dan menghadapi represi, sensor, atau bahkan kriminalisasi. Edward Said berpendapat bahwa intelektual yang sejati adalah mereka yang berani melawan penindasan, meskipun itu berarti melawan arus mayoritas.

Intelektual yang berpihak pada kemanusiaan dalam kebijakan public. Intelektual memiliki tanggung jawab untuk memberikan masukan berbasis ilmu dalam penyusunan kebijakan publik. Mereka harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan hanya kepentingan elite politik atau korporasi.

Intelektual sebagai penggerak ekonomi berkeadilan. Intelektual yang berpihak pada kemanusiaan sering mendorong sistem ekonomi yang lebih berkeadilan dan inklusif. Mereka menentang eksploitasi ekonomi dan ketimpangan sosial yang semakin lebar akibat kapitalisme yang tidak terkendali. Contohnya, Thomas Piketty dalam bukunya Capital in the 21st Century mengkritik sistem ekonomi yang semakin memperkaya segelintir elite.

Kritik terhadap kapitalisme dan neoliberalisme. Intelektual progresif sering mengkritik neoliberalisme yang menempatkan pasar bebas di atas kesejahteraan sosial. Mereka menekankan pentingnya intervensi negara dalam ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Ekonom seperti Joseph Stiglitz menyoroti bagaimana kebijakan ekonomi neoliberal sering menyebabkan krisis dan ketidakstabilan sosial.

Model ekonomi alternatif, intelektual yang berpihak pada kemanusiaan sering mendorong sistem ekonomi berbasis kesejahteraan sosial, seperti ekonomi Islam, ekonomi solidaritas, atau ekonomi hijau. Mereka mendukung kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat, seperti upah layak, pajak progresif, dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial.

Intelektual dalam sektor industri dan bisnis. Dalam dunia bisnis, intelektual dapat berperan dalam mendorong etika korporasi dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Mereka mengadvokasi prinsip bisnis yang berkelanjutan dan tidak eksploitatif, termasuk dalam isu lingkungan dan hak pekerja.

Intelektual sebagai penegak keadilan. Dalam perspektif hukum, intelektual berpihak pada kemanusiaan sering berperan sebagai pengawal supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM). Mereka mengkritik hukum yang diskriminatif, berpihak pada elite, atau menindas kelompok minoritas. Contoh: Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menekankan pentingnya hukum yang berlandaskan keadilan sosial.

Hukum dan kebebasan akademik. Dalam sistem hukum yang sehat, intelektual harus dilindungi dari represi, seperti sensor atau kriminalisasi. Namun, dalam banyak negara, hukum justru digunakan untuk membungkam suara intelektual, seperti melalui undang-undang yang mengekang kebebasan berbicara dan berpendapat.

Hukum sebagai alat perubahan sosial. Intelektual hukum sering berperan dalam reformasi hukum, seperti perubahan undang-undang yang lebih adil dan berpihak pada masyarakat luas. Contoh: Nelson Mandela, seorang intelektual hukum, berjuang melawan apartheid dengan pendekatan hukum dan aktivisme sosial.

Tantangan bagi intelektual dalam sistem hukum. Dalam banyak kasus, intelektual yang membela hak-hak masyarakat malah dikriminalisasi dengan tuduhan subversif, radikal, atau makar. Contoh: Banyak akademisi dan jurnalis di berbagai negara mengalami intimidasi atau pemenjaraan karena mengkritik kebijakan pemerintah.

INTELEKTUAL DAN OLIGARKI DAN OTORITER

Tantangan bagi intelektual dalam pemerintahan oligarki dan otoriter pasti tidak ringan dan banyak, yang paling nyata iti di antara represif dan sensor. Pemerintah otoriter biasanya menggunakan sensor, kriminalisasi, dan kekerasan untuk membungkam intelektual yang kritis. Contoh: Banyak akademisi, jurnalis, dan aktivis di negara-negara otoriter dipenjara atau dipaksa mengasingkan diri.

Manipulasi dan kooptasi. Intelektual sering dihadapkan pada pilihan berkompromi dengan kekuasaan atau kehilangan akses ke sumber daya dan publikasi. Beberapa intelektual yang awalnya kritis akhirnya dikendalikan oleh elite dengan imbalan posisi atau fasilitas.

Kurangnya ruang publik untuk diskusi. Dalam oligarki, kebijakan ekonomi dan politik lebih dikendalikan oleh kelompok kecil yang memiliki kekuatan finansial dan media. Intelektual independen sering kesulitan mendapatkan ruang untuk menyebarkan pemikirannya karena media dikontrol oleh elite.

 Strategi agar intelektual tetap didengar di antaranya menggunakan media alternatif dan digital. Kemajuan teknologi, intelektual bisa menggunakan media sosial, blog, podcast, dan platform independen untuk menyebarkan gagasannya. Contoh: Noam Chomsky menggunakan berbagai media alternatif untuk menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan Amerika Serikat.

 Membangun jaringan dan solidaritas, intelektual harus berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, aktivis, jurnalis independen, dan akademisi lainnya untuk memperkuat suara mereka. Contoh: Nelson Mandela bekerja sama dengan berbagai kelompok hak asasi manusia dalam perjuangan melawan apartheid.

Menerapkan strategi soft power intelektual bisa menyampaikan kritik dengan pendekatan diplomatis, akademis, dan berbasis riset, agar sulit diserang secara langsung oleh penguasa. Contoh: Amartya Sen, ekonom India, mengkritik kebijakan ekonomi tanpa konfrontasi langsung, tetapi melalui data dan teori akademis yang sulit dibantah.

Melakukan perlawanan di dalam system. Jika memungkinkan, intelektual bisa masuk ke dalam sistem pemerintahan dan memengaruhi kebijakan dari dalam, tanpa kehilangan idealismenya. Contoh: Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia tetap mempertahankan prinsip ekonomi kerakyatan meskipun berada dalam sistem politik yang penuh tantangan.

Menggunakan dukungan internasional. Dalam banyak kasus, tekanan dari lembaga internasional, PBB, dan media asing bisa membantu melindungi intelektual dari represi pemerintah. Contoh: Malala Yousafzai mendapatkan perlindungan internasional setelah berbicara tentang pendidikan perempuan di bawah Taliban.

Kesimpulan:

Intelektual memiliki peran penting dalam membangun politik yang sehat. Mereka tidak hanya sekadar akademisi, tetapi individu yang mampu berpikir kritis, mandiri secara moral, serta memiliki wawasan luas. Dalam politik, intelektual berfungsi sebagai pengkritik kekuasaan, penjaga moralitas sosial, serta pembuat kebijakan berbasis ilmu pengetahuan.

Dalam perspektif Islam, politik harus berbasis ilmu dan hikmah. Kepemimpinan bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan keadilan, kebijaksanaan, dan akhlak yang tinggi. Islam mewajibkan pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual dan moral untuk memastikan kebijakan yang diambil berpihak pada rakyat dan bukan sekadar kepentingan pribadi atau kelompok.

Tantangan utama dalam politik saat ini adalah dominasi pragmatisme, oligarki, dan politik uang yang sering kali menyingkirkan peran intelektual. Akibatnya, kebijakan sering dibuat tanpa dasar keilmuan yang kuat, yang berpotensi merugikan masyarakat. Politik yang sehat membutuhkan kapasitas intelektual yang tinggi agar kebijakan yang dihasilkan berdasarkan rasionalitas dan keadilan.

Intelektual yang berpihak pada kemanusiaan berperan sebagai agen perubahan dengan mengkritik ketidakadilan, mengawasi kebijakan publik, dan mendorong sistem ekonomi yang lebih berkeadilan. Mereka juga menghadapi dilema antara menjaga independensi atau terlibat dalam politik praktis. Dalam sistem otoriter, mereka sering mengalami represi dan sensor, sementara dalam demokrasi, mereka memiliki ruang lebih besar untuk berkontribusi.

Untuk tetap relevan dan berpengaruh, intelektual harus memanfaatkan media alternatif, membangun jaringan solidaritas, serta menggunakan strategi soft power dalam menyampaikan kritik. Dalam beberapa kasus, masuk ke dalam sistem pemerintahan dapat menjadi strategi untuk memengaruhi kebijakan dari dalam tanpa kehilangan idealisme.

Peran intelektual dalam politik sehat sangat krusial untuk memastikan kebijakan yang berbasis ilmu, keadilan, dan kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan segelintir elite. Keberanian mereka dalam menyuarakan kebenaran dan memberikan solusi berbasis ilmu pengetahuan adalah kunci dalam menjaga keseimbangan politik dan sosial dalam suatu negara. Semoga negeri ini semangkin banyak melahirkan intelektual yang terus istiqamah berpihak pada kemanusiaan dengan segala kondisi yang harus diterima, wallahu musta’anu ala matasifun. Amin. Ds.16032025.

*Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.