Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

INTELEKTUAL PEJUANG ILMU DAN KEMANUSIAAN Oleh: Duski Samad

Topik tulisan ini muncul mencermati media sosial anggota DPR RI yang mengungkap ribuan triliunan uang yang tak jelas dimana dan kemana perginya. Uang yang hilang di nikel, batu bara, minyak bumi, kebun sawit, uang hasil sitaan besar sekali jumlahnya, belum apa-apa jika dibanding dengan uang yang harus disediakan untuk Makan Bergizi Gratis (MBG), membiayai pembangunan, kecuali yang sulit siapa yang berani mengesekusi dan membongkarnya untuk dikembalikan pada negara. 

Dalam kesempatan lain penulis juga tersentak mengikut share di media sosial dari seorang cendikiawan Indonesia yang berada di luar negeri menyebut dimana kaum intelektual, mahasiswa dan cerdik cendekia membiarkan bangsa ini menuju jurang kehancuran moral, hukum dan sosial ekonomi bangsa. Bersamaan itu ada pula seorang aktivis dengan lugas menyatakan nyata-nyata pelanggaran hukum di negeri ini, mengapa kaum intelektual membisu, seribu bahasa, dan ada yang mengkritik kaum terpelajar yang nyaman di zona aman, seperti anti issues kemanusiaan. 

Memang menjadi intelektual sekaligus siap bergerak menjadi aktif, spirit al-Qur’an mengingatkan…artinya: "Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya."(QS. At-Taubah 9:122). 

Dalam keadaan perang sekalipun tidaklah baik semua orang terjun ikut ke medan perang, mesti ada yang pergi mendalami ilmu (menjadi ulama, intelektual dan cendikiawan) sebagai pelanjut ilmu pengetahuan dan sekaligus menjadi sumber inspirasi dan teladan. Begitu penting dan strategisnya kedudukan mereka yang bergerak dan mengabdikan dirinya untuk ilmu pengetahuan dan selanjutnya wajib mendedikasikan diri bagi kebaikan umat dan bangsanya. 

Ayat 122 di atas dalam tafsir klasik berfokus pada makna jihad dan kewajiban menuntut ilmu. Tafsir Ibnu Katsir menerangkan ayat ini turun untuk menyeimbangkan antara kewajiban jihad fisik dan jihad intelektual. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tidak semua mukmin wajib pergi berperang. Sebagian harus tetap tinggal untuk mendalami ilmu agama, agar bisa mengajarkan ilmu tersebut kepada mereka yang kembali dari medan jihad. Ini menunjukkan pentingnya ilmu dalam Islam. 

Al-Tabari menafsirkan bahwa kelompok yang tidak pergi berperang memiliki tugas besar dalam memperdalam ilmu agama dan menyebarkannya kepada yang lain. Ia menekankan bahwa memahami agama adalah kewajiban kolektif, sehingga ada keseimbangan antara ilmu dan pertahanan umat Islam. Qurtubi menekankan bahwa "li yatafaqqahu fi ad-din" berarti belajar ilmu agama secara mendalam, termasuk hukum-hukum syariah, aqidah, dan lainnya. Ia juga menyoroti kata "liyundziru" yang berarti menyampaikan peringatan, sehingga orang-orang berilmu harus bertanggung jawab dalam membimbing umat.

Tafsir modern lebih melihat relevansi ayat ini dalam konteks pendidikan, dakwah, dan peran intelektual dalam masyarakat. Tafsir Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Quran) menyoroti bahwa Islam tidak hanya membutuhkan tentara di medan perang, tetapi juga ulama dan pemikir yang memperdalam ilmu agama serta membimbing masyarakat. Ia melihat ayat ini sebagai dorongan bagi umat Islam untuk mengembangkan intelektualitas mereka, tidak hanya dalam aspek agama tetapi juga dalam berbagai bidang kehidupan. 

Tafsir Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mereka menekankan bahwa ayat ini bukan hanya tentang ilmu agama dalam arti sempit, tetapi juga ilmu sosial dan ilmu duniawi yang bermanfaat bagi umat. Mereka menafsirkan "liyatafaqqahu fi ad-din" sebagai dorongan bagi umat Islam untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang dapat memperbaiki kondisi umat. Tafsir Wahbah Zuhaili (Tafsir al-Munir) menyoroti aspek dakwah dalam ayat ini. Menurutnya, ayat ini menunjukkan bahwa dakwah bukan hanya tugas ulama, tetapi juga tanggung jawab intelektual Muslim yang harus memahami dan menyampaikan Islam dengan hikmah. 

Ayat ini memberikan keseimbangan antara jihad fisik dan jihad intelektual. Tafsir klasik menyoroti pentingnya ilmu agama sebagai pilar umat, sementara tafsir kontemporer memperluas makna tafaqquh dalam agama ke berbagai aspek kehidupan. Ayat ini tetap relevan hari ini, di mana umat Islam harus memiliki sekelompok orang yang mendalami ilmu dan memberikan bimbingan kepada masyarakat.

ESENSI DAN EKSISTENSI INTELEKTUAL

Sebutan intelektual dimaksudkan sebagai identitas untuk menunjukkan kemampuan seseorang untuk berpikir secara rasional, logis, dan analitis dalam memahami, mengevaluasi, serta menciptakan konsep atau gagasan baru. Intelektual juga sering dikaitkan dengan kecerdasan, pengetahuan, dan kebijaksanaan dalam berbagai bidang kehidupan. Intelektual memiliki beberapa fungsi utama, antara lain menganalisis dan memecahkan masalah. Membantu seseorang dalam berpikir kritis dan logis untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Mengembangkan ilmu pengetahuan. Memungkinkan individu untuk terus belajar, meneliti, dan memperluas wawasan dalam berbagai disiplin ilmu.

Esensi intelektual adalah membantu dalam pengambilan keputusan dengan berpikir secara rasional, seseorang dapat membuat keputusan yang lebih bijak dan terukur. Mendorong kreativitas dan inovasi. Intelektual mendukung penciptaan ide-ide baru yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menjadi agen perubahan sosial. Orang-orang intelektual sering berperan dalam membentuk opini publik, kebijakan, serta membawa perubahan sosial yang positif. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi. Kemampuan intelektual membantu seseorang menyampai kan ide dan gagasannya dengan lebih jelas dan meyakinkan.

Eksistensi intelektual bukan hanya tentang memiliki banyak pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menggunakannya secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat intelektual adalah pejuang ilmu dan kemanusiaan yang terletak pada peran mereka dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan manusia melalui ilmu pengetahuan. 

Peran penting dari hakikat intelektual di antaranya berpikir kritis dan rasional. Seorang intelektual sejati tidak hanya menerima informasi mentah, tetapi menganalisisnya dengan kritis. Mereka menolak dogma yang tidak berdasar dan terus mencari kebenaran dengan pendekatan ilmiah serta pemikiran rasional. Berkomitmen pada ilmu pengetahuan. Pejuang ilmu mengabdikan diri pada pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan. Mereka percaya bahwa ilmu adalah alat untuk memajukan peradaban dan meningkatkan kualitas hidup manusia.

Intelektual sejati memiliki kesadaran sosial. Selain berfokus pada ilmu, mereka juga memiliki kepedulian terhadap masalah sosial, seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Ilmu yang mereka pelajari tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk kemaslahatan umat manusia. Berani dan teguh dalam memperjuangkan kebenaran. Pejuang ilmu dan kemanusiaan tidak takut menghadapi tantangan, bahkan jika harus melawan arus atau menghadapi risiko. Mereka tetap teguh pada prinsip kejujuran intelektual dan moralitas dalam memperjuangkan kebaikan bersama.

Menginspirasi dan mencerahkan masyarakat. Mereka kaum intelektual tidak hanya mencari ilmu untuk diri sendiri, tetapi juga membagikannya kepada masyarakat. Dengan tulisan, diskusi, atau aksi nyata, mereka menjadi agen perubahan yang menginspirasi orang lain untuk berpikir lebih maju dan bertindak demi kebaikan. Mengutamakan kemanusiaan di atas kepentingan pribadi. Hakikat perjuangan mereka bukan untuk keuntungan pribadi, tetapi demi kemanusiaan. Mereka mengutamakan nilai-nilai moral dan etika dalam setiap tindakan, memastikan bahwa ilmu digunakan untuk meningkatkan martabat manusia. 

Secara keseluruhan, intelektual pejuang ilmu dan kemanusiaan adalah mereka yang tidak hanya unggul dalam pengetahuan tetapi juga memiliki keberanian moral untuk memperjuangkan keadilan dan kebaikan bagi sesama.

INTELEKTUAL DI TENGAH KRISIS MORAL DAN BUDAYA

Keberadaan intelektual di tengah krisis moral, rusaknya budaya, dan hilangnya martabat kemuliaan menjadi semakin penting dan penuh tantangan. Intelektual, sebagai kelompok yang memiliki kapasitas berpikir kritis dan wawasan luas, seharusnya menjadi garda terdepan dalam membangun kesadaran, menawarkan solusi, dan memberikan arah bagi masyarakat yang sedang mengalami degradasi moral dan budaya.

Namun, dalam realitasnya, peran intelektual sering kali terpinggirkan atau bahkan berkompromi dengan sistem yang rusak. Ada beberapa tantangan utama yang dihadapi intelektual dalam kondisi ini di antara krisis moral dalam dunia intelektual. Banyak intelektual yang seharusnya menjadi panutan justru ikut terseret dalam pusaran pragmatisme, hedonisme, dan kepentingan pribadi. Mereka lebih memilih diam atau bahkan mendukung sistem yang rusak demi keuntungan pribadi.

Budaya kritis terkikis oleh materialisme. Dominasi budaya konsumtif dan pragmatisme membuat peran intelektual semakin tersisih. Masyarakat lebih mengidolakan figur-figur populer daripada mendengar suara intelektual yang kritis dan mencerahkan. Martabat yang dihancurkan oleh kekuasaan. Kekuasaan yang otoriter atau korup sering kali menekan para intelektual agar tidak bersuara. Mereka yang tetap teguh dengan idealismenya kerap mengalami marginalisasi, sensor, bahkan ancaman. Kurangnya ruang diskusi dan pendidikan kritis. Sistem pendidikan yang tidak mendorong daya kritis dan kebebasan berpikir menyebabkan lahirnya generasi yang kurang menghargai peran intelektual. Akibatnya, suara intelektual semakin lemah di tengah masyarakat.

Apa yang bisa dilakukan kaum intelektual? Jawabnya teguh menjaga independensi moral dan intelektual. Intelektual harus berani melawan arus, mempertahankan integritasnya, dan tidak mudah tergoda oleh kekuasaan atau materi. Membangun kesadaran publik. Menggunakan berbagai media untuk menyebarkan pemikiran yang kritis dan membangun kesadaran sosial. Menciptakan ruang dialog. Mendorong diskusi dan edukasi yang membangun nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Bersinergi dengan gerakan sosial. Berkolaborasi dengan aktivis dan masyarakat sipil untuk memperjuangkan perubahan nyata.

Keberadaan intelektual dalam situasi krisis ini sangat krusial. Jika mereka memilih diam atau berkompromi, maka kehancuran moral dan budaya akan semakin dalam. Namun, jika mereka berani berdiri tegak, maka ada harapan untuk kebangkitan kembali nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam masyarakat.

PESAN KEMANUSIAAN SANG INTELEKTUAL 

Pesan dari seorang intelektual yang berpihak pada kemanusiaan adalah bahwa ilmu dan pemikiran harus digunakan untuk membela keadilan, kesejahteraan, dan martabat manusia. Intelektual sejati tidak hanya berdiam dalam teori, tetapi juga berperan aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kesetaraan, kebebasan, dan hak asasi manusia.

Pesan intelektual yang berpihak pada kemanusiaan adalah keberpihakan pada ilmu untuk kemanusiaan. Ilmu pengetahuan tidak boleh digunakan untuk menindas atau memperkuat ketidakadilan, tetapi harus menjadi alat untuk membebaskan dan memajukan manusia. Keadilan sebagai prinsip utama. Intelektual harus berani menyuarakan kebenaran, terutama ketika ada ketimpangan sosial, diskriminasi, atau penindasan. Toleransi dan kedamaian. Menghormati perbedaan, baik dalam agama, budaya, maupun pemikiran, adalah kunci dalam membangun peradaban yang harmonis.

Kritik yang membangun. Seorang intelektual harus berani mengkritik kebijakan atau sistem yang tidak berpihak pada rakyat, tetapi juga menawarkan solusi yang konstruktif. Bersikap humanis dan empatik. Intelektual tidak boleh terjebak dalam menara gading akademik, tetapi harus turun ke masyarakat, memahami penderitaan mereka, dan berkontribusi dalam mencari jalan keluar. Intinya, intelektual yang berpihak pada kemanusiaan tidak hanya berpikir untuk diri sendiri, tetapi menggunakan ilmunya untuk membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat luas.

Al-Qur’an surat Al-Maidah: 8..artinya..“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” Ayat ini menegaskan bahwa intelektual harus bersikap adil dan berpihak pada kebenaran, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 269..artinya “Allah menganugerahkan hikmah kebijaksanaan) kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” Intelektual harus menggunakan kebijaksanaan dan ilmunya untuk memberikan manfaat bagi kemanusiaan dan Al-Qur’an surat An-Nahl: 125.

Hadis Riwayat Muslim: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”. Seorang intelektual sejati adalah yang mampu memberikan manfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya bagi dirinya sendiri. Hadis Riwayat Abu Daud: Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” Artinya intelektual bertanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan keadilan melalui ilmu dan pikirannya.

Peran intelektual dalam kemanusiaan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut “Ilmu yang tidak digunakan untuk kemaslahatan umat hanya akan menjadi beban bagi pemiliknya di akhirat.”. Ilmu bukan sekadar alat untuk kepentingan pribadi, tetapi harus digunakan untuk membantu masyarakat dan menegakkan keadilan.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, “Seorang alim yang sejati adalah yang membela hak-hak manusia dan menentang kedzaliman, karena ilmu sejati adalah yang bermanfaat bagi manusia, bukan yang hanya dijadikan alat untuk kepentingan duniawi.”. Intelektual Muslim tidak boleh diam terhadap ketidakadilan, tetapi harus berani menyuarakan kebenaran.

Syekh Yusuf Al-Qaradawi dalam Fiqh Al-Wasathiyah menulis..“Intelektual Muslim harus menjadi penjaga moral masyarakat dan membawa keseimbangan dalam berpikir dan bertindak. Mereka harus menjadi jembatan antara ilmu dan amal, antara pemikiran dan realitas sosial.” Intelektual harus menghubungkan ilmu dengan praktik nyata dalam kehidupan masyarakat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

Analisis Ilmuwan tentang peran Intelektual dalam kemanusiaan. Antonio Gramsci (1891-1937), Teori Intelektual Organik. Gramsci membedakan antara intelektual tradisional (yang hanya bekerja dalam akademik) dan intelektual organik (yang berjuang bersama masyarakat untuk perubahan sosial). Intelektual yang berpihak pada kemanusiaan adalah mereka yang terlibat langsung dalam perjuangan keadilan sosial, bukan hanya menulis teori di ruang akademik.

Noam Chomsky Intelektual sebagai pengkritik kekuasaan. Chomsky berpendapat bahwa intelektual memiliki tanggung jawab moral untuk mengkritik kebijakan yang merugikan kemanusiaan dan membela mereka yang tertindas. “Jika Anda adalah orang yang berpendidikan dan memiliki akses terhadap kebenaran, maka Anda memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan kebenaran tersebut.”

Edward Said peran intelektual public. Said menekankan bahwa intelektual harus berani menentang penindasan dan kolonialisme. Intelektual tidak boleh takut untuk mengkritik ketidakadilan, meskipun itu berarti melawan arus mayoritas. Ali Syariati menyatakan intelektual sebagai agen perubahan. Intelektual tidak boleh hanya menjadi "penonton", tetapi harus aktif dalam membangun kesadaran masyarakat. “Seorang intelektual sejati bukanlah yang hanya menguasai ilmu, tetapi yang bisa membawa perubahan bagi umat manusia.”

Kesimpulan

Intelektual memiliki peran strategis dalam membangun masyarakat yang beradab dan berkeadilan. Mereka bukan hanya pencari ilmu, tetapi juga pejuang kebenaran yang bertanggung jawab dalam membimbing umat, menyuarakan keadilan, serta membela nilai-nilai kemanusiaan.

1. Peran Intelektual dalam Masyarakat. Seorang intelektual sejati tidak hanya diam di zona nyaman atau menara gading akademik, tetapi berani menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan degradasi moral. Dalam konteks Islam, Al-Qur’an menegaskan pentingnya keseimbangan antara jihad fisik dan jihad intelektual, sebagaimana tafsir para ulama seperti Ibnu Katsir, Al-Tabari, Qurtubi, hingga pemikir modern seperti Sayyid Qutb dan Muhammad Abduh.

2. Intelektual sebagai Pejuang Ilmu dan Kemanusiaan. Esensi intelektual terletak pada kecakapan berpikir kritis, rasional, dan analitis dalam menelaah realitas sosial. Mereka berperan sebagai agen perubahan yang menginspirasi masyarakat melalui ilmu, kebijaksanaan, serta kepedulian terhadap isu-isu sosial seperti kemiskinan, penindasan, dan ketidakadilan. Keberanian moral menjadi kunci utama dalam perjuangan ini, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Syekh Yusuf Al-Qaradawi.

3. Tantangan Intelektual dalam Krisis Moral dan Budaya. Di tengah krisis moral dan budaya, intelektual menghadapi berbagai tantangan, seperti pragmatisme, hedonisme, dan tekanan dari kekuasaan yang korup. Banyak dari mereka memilih diam atau berkompromi dengan sistem yang rusak. Untuk mengatasi hal ini, intelektual harus menjaga independensi moral, membangun kesadaran publik, serta bersinergi dengan gerakan sosial guna membawa perubahan yang lebih baik.

4. Pesan Kemanusiaan dari Intelektual: Ilmu harus digunakan untuk membela keadilan dan kesejahteraan manusia, bukan sebagai alat penindasan. Intelektual yang berpihak pada kemanusiaan harus berani menyuarakan kebenaran, mengedepankan toleransi, serta memberikan solusi konstruktif bagi permasalahan sosial. Mereka bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan sebagaimana prinsip dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi.

5. Perspektif Intelektual Dunia terhadap Peran Intelektual: Tokoh-tokoh seperti Antonio Gramsci, Noam Chomsky, Edward Said, dan Ali Syariati menegaskan bahwa intelektual harus aktif dalam membangun kesadaran sosial, menentang ketidakadilan, dan berkontribusi dalam perjuangan masyarakat. Intelektual tidak boleh hanya menjadi penonton, tetapi harus menjadi motor perubahan sosial yang nyata.

Kesimpulan Akhir. Intelektual sejati adalah mereka yang tidak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki keberanian moral untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Mereka berperan sebagai pembimbing umat, penjaga moral masyarakat, dan pembela kaum tertindas. Dengan ilmu, kebijaksanaan, dan keberanian, mereka membawa harapan bagi lahirnya peradaban yang lebih adil dan beradab.DS#16032025. 

*Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol



Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.