![]() |
Harta, taqwa dan warisan adalah saling berkelindan.
Kewajiban untuk memastikan yang menggunakan harta haram, dan mengundang kebatilan adalah perintah Allah berhubungkait dengan ketaqwaan. Kesadaran akhlak (etik) memiliki harta dan mendapatkan warisan adalah kunci untuk melestarikan taqwa sepanjang hayat.
Penempat ayat 188 ini setelah perintah kewajiban puasa mengisyaratkan bahwa pengaturan tentang harta harus jelas dan berkaitan dengan taqwa. Ayat ini menegaskan memiliki harta wajib dengan cara yang sah, sesuai hukum al Qur'an. Prinsip hukum pewarisan harta tetap dan mengikat.
Pentingnya memenuhi etika memiliki dan mendapatkan harta diingat Allah swt....
Artinya: Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah Ayat: 188)
Relevansi QS. Al-Baqarah 188 dengan QS. Al-Baqarah 183 dapat dijelaskan dalam berapa aspek
1. Konteks Hukum dan Moralitas. QS. Al-Baqarah 188 berbicara tentang larangan memperoleh harta dengan cara batil, seperti korupsi, suap, dan manipulasi hukum. Ini menunjukkan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
QS. Al-Baqarah 183 membahas kewajiban berpuasa untuk menanamkan takwa (kesadaran kepada Allah SWT) sebagai tujuan utama ibadah puasa.
Keterkaitannya: Ayat 183 menekankan takwa sebagai landasan moral yang akan mencegah seseorang dari tindakan tercela yang disebutkan dalam ayat 188.
Orang yang benar-benar bertakwa tidak akan tergoda untuk mencari harta dengan cara yang haram.
2. Hubungan Antara Ibadah dan Akhlak. Puasa dalam QS. Al-Baqarah 183 bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga membentuk karakter yang jujur, disiplin, dan amanah.
QS. Al-Baqarah 188. melarang tindakan tidak jujur dalam memperoleh harta. Jika seseorang telah mencapai kesempurnaan takwa, ia tidak akan terjerumus dalam perbuatan haram seperti suap atau penipuan.
3. Pembangunan Masyarakat yang Bersih dan Adil. QS. Al-Baqarah 183 memberikan pendidikan spiritual melalui ibadah puasa, yang mengajarkan kesabaran dan kejujuran.
QS. Al-Baqarah 188 memberikan aturan sosial dan ekonomi agar masyarakat tidak terjerumus dalam praktik yang merusak keadilan.
Jadi, takwa (Al-Baqarah 183) adalah benteng moral yang akan mencegah seseorang dari memakan harta secara batil (Al-Baqarah 188). Dengan menginternalisasi nilai-nilai puasa, seseorang akan lebih berhati-hati dalam urusan harta, sehingga tercipta masyarakat yang bersih dari korupsi dan ketidakadilan.
Pesan akhlak dan hukum dari ayat di atas terbaca jelas dalam sebab turunnya. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat) ayat ini menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, turun terkait orang-orang yang bersengketa dalam perkara harta, lalu mereka membawa perkara itu ke hakim dengan niat mengambil hak orang lain secara tidak sah.
Ulama Ibnul Mundzir meriwayatkan bahwa ayat ini turun terkait dengan para pedagang dan pengusaha yang berusaha memperoleh keuntungan dengan cara curang dan menipu dalam transaksi.
Intinya, ayat ini mengingat kan agar tidak mengguna kan jalur hukum atau kekuasaan untuk mendapatkan harta dengan cara yang zalim, meskipun secara hukum formal terlihat sah. Artinya mendapatkan harta tidak saja sesuai hukum, tetapi mengikuti aturan norma, etika dan kepatutan.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini melarang:
1. Makan harta secara batil, seperti mencuri, merampas, menipu, dan korupsi.
2. Menggunakan hukum untuk membenarkan kebatilan, seperti seseorang yang menang di pengadilan karena kepintarannya dalam berargumen, padahal dia tahu bahwa yang dia ambil bukan haknya.
Beliau menekankan bahwa hukum manusia tidak bisa menghalalkan sesuatu yang batil di sisi Allah.
Dalam Tafsir Al-Qurthubi.
Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat ini mencakup segala bentuk kecurangan dalam perolehan harta, baik dalam perdagangan, suap, maupun manipulasi hukum.
Beliau juga mengutip hadis:> "Aku hanyalah manusia biasa. Kalian datang kepadaku untuk mengajukan perkara, dan mungkin sebagian kalian lebih pandai dalam berargumen daripada yang lain. Maka, barang siapa yang aku menangkan perkaranya dengan cara yang tidak benar, berarti aku telah memberikan kepadanya sepotong api neraka." (HR. Bukhari dan Muslim)
Tafsir Kontemporer.
Tafsir Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur’an). Sayyid Qutb melihat ayat ini dalam konteks sosial yang lebih luas: Korupsi dan manipulasi hukum adalah bentuk kezaliman yang merusak tatanan sosial.
Sistem hukum harus digunakan untuk menegakkan keadilan, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Beliau mengkritik kapitalisme yang rakus dan bagaimana sistem ekonomi bisa menjadi alat untuk menindas rakyat miskin jika tidak diatur dengan adil.
Dalam Tafsir Wahbah Az-Zuhaili (Tafsir Al-Munir).
Az-Zuhaili menghubungkan ayat ini dengan prinsip ekonomi Islam: Islam menekankan kejujuran dalam transaksi bisnis.
Suap (risywah) adalah salah satu bentuk memakan harta secara batil.
Negara harus memiliki sistem hukum yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam perkara harta.
Relevansi Ayat dalam Konteks Kekinian. Ayat ini sangat relevan dalam kehidupan modern, terutama dalam isu seperti:
Korupsi di pemerintahan dan swasta. Manipulasi hukum oleh orang-orang kaya dan berkuasa. Penipuan bisnis, seperti investasi bodong dan pencucian uang. Ketidakadilan hukum, di mana orang kaya sering lolos dari hukuman sedangkan rakyat kecil tertindas.
Jadi, larangan memperoleh harta dengan cara batil, seperti menipu, merampas, atau suap. Peringatan agar hukum tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Tanggung jawab negara dan individu untuk menegakkan keadilan dalam ekonomi dan hukum.
Ayat ini mengajarkan prinsip keadilan ekonomi dan sosial yang menjadi fondasi penting dalam tata kelola negara dan bisnis yang Islami.
SEGERA TUNAIKAN WARISAN.
Sumbernya harta ada dari usaha dan ada pula dari warisan. Al quran menetapkan pembagian warisan dalam Islam diatur dalam Ilmu Faraid, berdasar kan Al-Qur’an (Surah An-Nisa ayat 11-12, 176) dan Hadis. Prinsip dasarnya adalah:
1. Ahli Waris dan Bagian Warisannya.
(a) Ahli waris utama (ashabul furudh)
Mereka yang mendapat bagian tetap dalam Al-Qur’an:
Suami → ½ jika istri tidak punya anak, ¼ jika ada anak
Istri → ¼ jika suami tidak punya anak, ⅛ jika ada anak
Anak laki-laki → 2x bagian anak perempuan
Anak perempuan → ½ jika sendiri, ⅔ jika dua atau lebih, berbagi dengan saudara laki-laki (1:2)
Ayah → ⅙ jika ada anak, jika tidak ada anak bisa dapat ⅙ + bagian sisa
Ibu → ⅙ jika ada anak atau dua saudara, ⅓ jika tidak ada anak
Kakek/Nenek → mendapat bagian jika tidak ada ayah atau ibu.
(b) Ahli waris asabah (keluarga yang mendapat sisa setelah ashabul furudh)
Anak laki-laki
Saudara laki-laki
Paman dari ayah
2. Contoh Pembagian Warisan. Misalnya, seorang laki-laki meninggal dengan warisan Rp100 juta dan meninggalkan: Istri
1 anak laki-laki
1 anak perempuan
Ayah
Langkah pembagian:
1. Istri → ⅛ × Rp100 juta = Rp12,5 juta
2. Ayah → ⅙ × Rp100 juta = Rp16,67 juta
3. Sisanya = Rp100 juta - (Rp12,5 juta + Rp16,67 juta) = Rp70,83 juta
4. Dibagi ke anak-anak dengan perbandingan 2:1 → Anak laki-laki mendapat Rp47,22 juta dan anak perempuan Rp23,61 juta.
Warisan dalam Islam bertujuan untuk keadilan, bukan sekadar kesetaraan, dan harus dilakukan sesuai hukum Islam. Jika ada kasus khusus, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli faraid.
MENGAPA WARISAN HARUS SEGERA DITUNAIKAN?
Dalam Islam, pembagian warisan harus segera dilakukan setelah kematian pewaris. Hal ini didasarkan pada dalil Al-Qur'an, hadis, fatwa ulama, dan pertimbangan ilmiah sebagai berikut:
1. Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman.> "(Pembagian harta warisan itu) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) sesudah dibayar utangnya tanpa memberi mudarat (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun."
(QS. An-Nisa: 12)
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa warisan harus dibagikan setelah utang dan wasiat dipenuhi, tanpa menunda-nunda atau menzalimi ahli waris.
2.Hadis Nabi ï·º
Nabi ﷺ bersabda. "Bagilah harta warisan di antara para ahli waris sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al-Qur’an."
(HR. Muslim, No. 1615)
Dalam hadis lain: "Barang siapa meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya."(HR. Bukhari No. 6731, Muslim No. 1619)
Hadis ini menegaskan bahwa harta harus segera diserahkan kepada ahli waris setelah pewaris meninggal, tanpa menunda-nunda
3. Fatwa Ulama
Banyak ulama menegaskan kewajiban segera membagikan warisan:
Imam Asy-Syafi'i dalam Al-Umm menyatakan bahwa tidak boleh menunda pembagian warisan tanpa alasan yang syar'i karena itu bisa menghalangi hak ahli waris.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyebutkan bahwa warisan harus segera dibagikan setelah semua kewajiban pewaris (utang dan wasiat) diselesaikan.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan bahwa penundaan pembagian warisan tanpa sebab syar'i adalah kezaliman terhadap ahli waris.
4. Pertimbangan Ilmiah dan Sosial.
a. Mencegah Konflik Keluarga. Menunda pembagian warisan sering menyebabkan sengketa keluarga, terutama jika ada ahli waris yang merasa dirugikan.
b. Menghindari Penyalahgunaan Harta.
Jika warisan tidak segera dibagi, ada risiko harta dikelola oleh satu pihak yang tidak adil atau digunakan untuk kepentingan pribadi.
c. Kepastian Hak dan Kesejahteraan Ahli Waris.
Ahli waris mungkin membutuhkan warisan untuk biaya hidup. Jika ditunda, mereka bisa mengalami kesulitan finansial.
Berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis, fatwa ulama, dan pertimbangan ilmiah, warisan harus segera ditunaikan tanpa penundaan yang tidak beralasan. Keterlambatan dalam pembagian warisan bisa menimbulkan kezaliman, konflik, dan ketidakadilan dalam keluarga. Oleh karena itu, Islam mengajarkan untuk segera membagikan warisan setelah kewajiban pewaris diselesaikan.
Kesimpulan.
Islam menekankan pentingnya sumber harta yang halal dan kepastian dalam pembagian warisan agar tidak terjadi kezaliman. QS. Al-Baqarah ayat 188 secara tegas melarang pengambilan harta secara batil, baik melalui kecurangan dalam transaksi maupun manipulasi hukum. Tafsir klasik dan kontemporer sepakat bahwa ayat ini mencakup larangan terhadap korupsi, suap, serta penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Dalam hal warisan, Islam mengatur dengan jelas melalui ilmu faraid, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 11-12 dan 176. Prinsip pembagian warisan bertujuan untuk mewujudkan keadilan di antara ahli waris, bukan sekadar kesetaraan. Warisan harus segera ditunaikan setelah pewaris meninggal dunia, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, hadis, serta fatwa para ulama.
Menunda pembagian warisan tanpa alasan yang sah berpotensi menimbulkan konflik keluarga, penyalahgunaan harta, serta menghambat kesejahteraan ahli waris. Oleh karena itu, Islam mewajibkan agar warisan segera diselesaikan setelah kewajiban pewaris seperti utang dan wasiat dipenuhi. Dengan demikian, sistem ekonomi dan sosial dalam Islam tetap berlandaskan keadilan, keseimbangan, dan ketakwaan kepada Allah SWT. DS.30032025.
*Pembina redaksi sigi24.com, indonesiamadani.com dan @surauprofessor