Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Gebrakan Prabowo: Antara Gagasan Besar dan Kesiapan Tata Kelola Pemerintahan Oleh LSI Denny JA

Riset Maret 2025, Indeks Tata Kelola Pemerintahan (GGI) Dikembangkan LSI Denny JA

Prabowo Subianto memiliki potensi besar membawa Indonesia melompat ke kategori negara maju. Namun, itu hanya terjadi jika visi besarnya ditopang oleh Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik.

Demikianlah satu kesimpulan riset LSI Denny JA, bulan Maret 2025. 

Prabowo jelas memiliki karakter pemimpin yang visioner. Ia berani mengambil langkah-langkah di luar kebiasaan. Ia juga memiliki kecakapan politik merangkul berbagai kekuatan ekonomi serta politik. Visi besarnya menjanjikan lompatan bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat. 

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh banyak pengalaman sejarah, visi besar hanya dapat terwujud jika didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik.

Tanpa tata kelola yang bersih, efektif, dan transparan, pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Investor akan ragu untuk menanamkan modalnya.

Birokrasi akan semakin berbelit. Rakyat tidak akan benar-benar merasakan manfaat pembangunan.

Sayangnya, berbagai indeks global masih menunjukkan tata kelola pemerintahan Indonesia berada dalam kondisi yang lemah.

Untuk itu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengembangkan Good Governance Index (GGI). 

Ini sebuah alat ukur yang mengintegrasikan enam indeks global utama. Terutama juga menyambut datangnya era proses digital dan AI dalam proses pemerintahan.

Tujuan dari indeks ini untuk memahami posisi Indonesia dalam tata kelola pemerintahan di era baru, dan menentukan langkah-langkah konkret untuk perbaikan.

-000-

Langkah-langkah yang digagas Prabowo menunjukkan keinginan maju yang luar biasa. Ia menargetkan pertumbuhan ekonomi 8%, sebuah angka yang, jika tercapai secara terus menerus, akan membawa Indonesia menjadi kekuatan ekonomi baru.

Beberapa kebijakan strategisnya antara lain:

 • Pembentukan Danantara, lembaga pengelola dana investasi negara dengan aset Rp 14.000 triliun.

 • Mengundang tokoh dunia seperti Tony Blair dan Ray Dalio sebagai penasihat ekonomi.

 • Program populis seperti makan bergizi gratis dan 70.000 koperasi Merah Putih untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

 • Mendorong keterlibatan pengusaha nasional dalam pembangunan ekonomi.

Jika seluruh agenda ini berhasil dieksekusi dengan baik, Indonesia akan memasuki era keemasan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Namun, target besar ini dapat terhambat oleh korupsi, birokrasi yang tidak efisien, dan tata kelola yang lemah.

Kita bisa sebut beberapa kasus saja untuk gambaran umum. Kasus korupsi di Pertamina yang disebut media di bulan maret 2025 sebagai “Kasus Pertamax Oplosan,” merugikan negara Rp 193,7 triliun.

Pada Juli 2024, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi terkait 109 ton emas dalam rentang 2010-2022, yang melibatkan sejumlah pejabat PT Antam Tbk. 

Juga terbongkar kasus pengelolaan tata niaga komoditas timah. Pada periode 2015-2022, kasus ini turut berdampak pada kerusakan lingkungan dengan total kerugian mencapai Rp 271,07 triliun.

Ini baru kasus yang terbongkar. Berapa banyak yang belum terbongkar karena kultur korupsi sudah begitu mengakar. 

Bagaimana pula jika penyebab korupsi itu bukan soal moral pribadi, tapi akibat jaringan oligarkhi yang sudah saling mengunci?

Bagaimana jika total korupsi sudah mencapai Rp 450 triliun per- tahun, uang yang cukup membangun 15.000 sekolah berstandar internasional?

-000/

Menakar Kualitas Pemerintahan: Enam Pilar dalam Good Governance Index (GGI)

Dalam upaya memahami dan mengukur tata kelola pemerintahan secara komprehensif, LSI Denny JA berinisiatif mengembangkan Good Governance Index (GGI).

Untuk kerja ini, LSI menggabungkan enam dimensi utama yang mencerminkan kompleksitas pemerintahan modern. 

Enam indeks ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan, membentuk gambaran utuh tentang bagaimana suatu negara dikelola, dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat.

1. Efektivitas Pemerintahan: Mampukah Negara Bekerja untuk Rakyatnya?

Sebuah negara tidak bisa disebut memiliki pemerintahan yang baik jika birokrasi lamban, layanan publik buruk, dan kebijakan sering gagal diimplementasikan. 

Indeks Efektivitas Pemerintahan (Government Effectiveness Index - GEI) mengukur sejauh mana pemerintah mampu menjalankan kebijakannya dengan efisien.

Index ini diukur oleh World Bank, sejak tahun 1996. Negara dengan efektivitas pemerintahan tinggi memiliki sistem birokrasi yang profesional, layanan publik yang cepat dan berkualitas, serta pemimpin yang kompeten dalam mengeksekusi kebijakan. 

Tanpa efektivitas ini, rencana pembangunan sebesar apa pun akan menemui jalan buntu.

2. Pemberantasan Korupsi: Seberapa Bersih Pemerintahan dari Penyalahgunaan Kekuasaan?

Korupsi bukan hanya kejahatan finansial, tetapi penyakit yang melumpuhkan sistem pemerintahan. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index - CPI) menjadi indikator penting dalam menilai apakah sebuah negara memiliki tata kelola yang bersih atau justru penuh dengan praktik kecurangan.

Index korupsi ini diukur oleh Transparancy International sejak 1995.

Korupsi menghambat investasi, merusak kepercayaan publik, dan memperburuk ketimpangan sosial. Negara-negara dengan CPI tinggi cenderung memiliki pemerintahan yang lebih stabil, ekonomi yang lebih kuat, dan layanan publik yang lebih baik.

3. Demokrasi: Seberapa Besar Partisipasi Publik dalam Pemerintahan?

Tanpa demokrasi yang sehat, pemerintahan akan kehilangan akuntabilitasnya. Indeks Demokrasi (Democracy Index - DI) mengukur sejauh mana kebebasan sipil, kebebasan pers, serta transparansi dan akuntabilitas politik berjalan dalam sebuah negara.

Democracy Index diukur oleh Economist Intelligence Unit sejak tahun 2006. Pemerintahan yang demokratis memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan, menciptakan checks and balances, serta memastikan bahwa kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang. 

Demokrasi yang kuat melahirkan kebijakan yang lebih inklusif dan lebih berpihak pada rakyat.

4. Pembangunan Manusia: Bagaimana Pemerintah Meningkatkan Kualitas Hidup Rakyatnya?

Pemerintahan yang baik harus memiliki tujuan utama: meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI) menjadi ukuran utama untuk melihat seberapa baik suatu negara dalam memberikan akses terhadap pendidikan. Juga dalam memberi layanan kesehatan, dan peluang ekonomi bagi warganya.

HDI diukur oleh UNDP, PBB sejak 1990. Negara dengan HDI tinggi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit. Ia juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

5. Keberlanjutan Lingkungan: Bagaimana Negara Menjaga Sumber Daya Alamnya?

Pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. 

Indeks Kinerja Lingkungan (Environmental Performance Index - EPI) menjadi ukuran penting dalam melihat bagaimana pemerintah menangani polusi udara. Juga bagaimana konservasi pemerintah atas keanekaragaman hayati, serta transisi menuju energi hijau.

EPI diukur oleh Yale University sejak tahun 2006. Negara yang mengabaikan lingkungan hanya akan menuai krisis di masa depan. Banjir, krisis pangan, dan bencana alam yang semakin sering terjadi adalah konsekuensi dari kebijakan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan. 

Pemerintahan yang baik harus mampu menyeimbangkan pembangunan dengan perlindungan lingkungan.

6. Digitalisasi Pemerintahan: Seberapa Maju Negara dalam Menerapkan Teknologi dalam Layanan Publik?

Di era modern, tata kelola pemerintahan yang baik tidak bisa lepas dari digitalisasi. Indeks Pembangunan e-Government (E-Government Development Index - EGDI) mengukur bagaimana suatu negara memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan efisiensi layanan publik. 

Sekaligus juga E-Govt meningkatkan transparansi pemerintahan, serta keterlibatan warga negara dalam proses politik.

EDGI diukur oleh UN DESA, PBB sejak tahun 2003. Negara-negara dengan skor EGDI tinggi mampu menyediakan layanan publik yang lebih cepat, lebih transparan, serta mengurangi peluang korupsi dengan sistem berbasis data yang terbuka. 

E-government juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan global seperti pandemi dan disrupsi ekonomi.

Mengapa Enam Indeks Ini Dikombinasikan LSI Denny JA menjadi Indeks Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance Index/GGI)?

Pemerintahan bukanlah entitas yang berdiri dalam satu dimensi saja. Efektivitas pemerintahan tanpa demokrasi akan melahirkan otoritarianisme. 

Demokrasi tanpa pemberantasan korupsi akan menjadi demokrasi yang rapuh. Pembangunan manusia tanpa perhatian pada lingkungan akan berujung pada bencana ekologis.

Enam indeks ini bukan hanya sekadar alat ukur, tetapi refleksi dari bagaimana negara seharusnya dikelola. LSI Denny JA menyatukan enam aspek ini dalam satu Indeks Besar GGI untuk memberikan gambaran menyeluruh.

GGI itu cermin bagaimana sebuah negara menjalankan kekuasaannya dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat.

Dengan mengombinasikan enam indeks ini, GGI menjadi alat ukur yang lebih lengkap dibandingkan indeks-indeks lainnya yang hanya melihat satu aspek dalam tata kelola pemerintahan.

Tantangan pemerintahan modern tidak lagi hanya soal bagaimana negara dikelola, tetapi juga bagaimana negara mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan global. 

Dari perubahan iklim, disrupsi digital, hingga ancaman populisme politik, semuanya membutuhkan pemerintahan yang tangguh, transparan, dan inovatif.

GGI hadir bukan hanya untuk mencerminkan realitas saat ini, tetapi juga untuk menjadi peta jalan bagi negara yang ingin memperbaiki tata kelolanya di masa depan.

-000-

Setelah mempertimbangkan keterkaitan antara efektivitas pemerintahan, transparansi, demokrasi, kesejahteraan rakyat, lingkungan, dan digitalisasi birokrasi, bobot yang digunakan dalam GGI adalah sebagai berikut.

Bobot ini bukan hanya angka, tetapi refleksi dari urgensi masing-masing dimensi dalam membangun pemerintahan yang baik.

LSI Denny JA memilih pembobotan dan alasan ini.

1. Efektivitas Pemerintahan: Fondasi Tata Kelola yang Baik (25%)

Indeks Efektivitas Pemerintahan (GEI) mendapatkan bobot tertinggi, 25%. 

Itu karena tanpa efektivitas dalam birokrasi dan pelaksanaan kebijakan, seluruh dimensi lainnya tidak akan berdampak maksimal.

Pemerintahan yang bersih tetapi tidak efektif tetap tidak akan mampu mengelola negara dengan baik. 

Demokrasi tanpa pemerintahan yang efektif hanya akan menghasilkan kebijakan yang macet di birokrasi. 

Bahkan pembangunan manusia pun tidak akan berjalan tanpa efektivitas dalam layanan publik.

Negara-negara dengan GEI tinggi seperti Singapura dan Swiss menunjukkan bahwa pemerintahan yang efektif tidak hanya menghasilkan kebijakan yang cerdas. Ia juga mampu mengeksekusi kebijakan tersebut dengan baik dan cepat.

2. Pemberantasan Korupsi: Menghilangkan Hambatan Utama Tata Kelola (20%)

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) memiliki bobot 20%, karena korupsi merupakan hambatan terbesar dalam menjalankan pemerintahan yang baik.

Korupsi bukan sekadar permasalahan etis, tetapi juga memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan kepercayaan publik. 

Negara dengan korupsi tinggi akan kesulitan menarik investasi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menjalankan program sosial yang efektif.

Negara-negara dengan skor CPI tinggi cenderung lebih stabil, lebih mampu menjalankan kebijakan ekonomi jangka panjang, dan lebih dipercaya oleh masyarakatnya. 

Oleh karena itu, pemberantasan korupsi adalah faktor fundamental dalam membangun tata kelola yang baik.

3. Digitalisasi Pemerintahan: Masa Depan Tata Kelola yang Transparan dan Efektif (15%)

Indeks Pembangunan e-Government (EGDI) mendapatkan bobot 15%, karena di era modern, digitalisasi bukan sekadar alat bantu. 

Digitalisasi menjadi pilar utama dalam tata kelola pemerintahan yang lebih efisien dan transparan.

Negara-negara dengan sistem pemerintahan berbasis digital memiliki:

✔ Layanan publik yang lebih cepat dan lebih efisien.

✔ Pengurangan potensi korupsi dengan sistem yang lebih transparan.

✔ Partisipasi warga yang lebih tinggi dalam pengambilan keputusan.

Negara-negara seperti Denmark dan Korea Selatan telah membuktikan bahwa transformasi digital dalam pemerintahan dapat meningkatkan efektivitas kebijakan dan membangun kepercayaan publik. 

Oleh karena itu, EGDI diberikan bobot yang sama dengan HDI dan DI, karena dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat dan demokrasi semakin signifikan.

4. Demokrasi Indeks: Menjamin Transparansi dan Akuntabilitas (15%)

Indeks Demokrasi (DI) diberikan bobot 15%, karena tanpa demokrasi, tata kelola pemerintahan akan kehilangan transparansi dan akuntabilitasnya.

Demokrasi memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Negara yang demokratis cenderung lebih stabil secara politik, lebih terbuka terhadap kritik, dan lebih cepat dalam memperbaiki kesalahan kebijakan (self correcting system).

Namun, demokrasi saja tidak cukup. Banyak negara demokratis yang masih memiliki korupsi tinggi dan pemerintahan yang tidak efektif. 

Oleh karena itu, demokrasi dalam GGI diberikan bobot yang signifikan, tetapi tetap diimbangi dengan efektivitas pemerintahan dan pemberantasan korupsi.

5. Pembangunan Manusia: Seberapa Baik Negara Mensejahterakan Warganya? (15%)

Indeks Pembangunan Manusia (HDI) memiliki bobot 15%, karena pemerintahan yang baik harus memiliki tujuan akhir: meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

HDI mengukur akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pendapatan nasional per kapita. Negara-negara dengan skor HDI tinggi menunjukkan pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan peningkatan kualitas hidup rakyatnya.

Namun, tanpa pemerintahan yang efektif dan bebas dari korupsi, HDI akan sulit meningkat secara signifikan. 

Oleh karena itu, meskipun HDI adalah ukuran penting, bobotnya tidak sebesar efektivitas pemerintahan dan CPI. Itu karena faktor-faktor lain masih sangat mempengaruhi skor HDI suatu negara.

6. Lingkungan: Menjaga Masa Depan Generasi Mendatang (10%)

Indeks Kinerja Lingkungan (EPI) diberikan bobot 10%, karena meskipun penting, dalam konteks tata kelola pemerintahan, faktor lingkungan masih sering berada di bawah prioritas efektivitas pemerintahan dan pemberantasan korupsi.

Namun, negara-negara dengan tata kelola yang baik cenderung memiliki kebijakan lingkungan yang lebih progresif. Pemerintah yang efektif dan bebas korupsi lebih mungkin mengalokasikan anggaran yang tepat untuk kebijakan lingkungan dan transisi energi hijau.

Oleh karena itu, meskipun EPI penting, bobotnya lebih kecil dibandingkan indikator lainnya. 

Namun, peran lingkungan dalam kebijakan jangka panjang tidak bisa diabaikan, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.

-000- 

GGI tidak hanya menilai kondisi dalam negeri, tetapi juga membandingkan Indonesia dengan tiga negara maju di Asia: Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. 

Pada waktunya, GGI dapat dibuat setiap tahun untuk mengukur lebih dari 150 negara dari lima benua, di seluruh dunia.

A) Korupsi: Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Korupsi tetap menjadi momok besar dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI), Indonesia hanya memperoleh skor 34, jauh di bawah Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63).

Skor ini mencerminkan bagaimana korupsi masih menjadi hambatan utama dalam birokrasi dan kebijakan publik. 

Ketika dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan justru mengalir ke kantong segelintir elit, rakyatlah yang paling dirugikan. 

Negara-negara dengan CPI tinggi, seperti Denmark dan Finlandia, telah membuktikan bahwa pemerintahan yang bersih berbanding lurus dengan layanan publik yang berkualitas serta stabilitas ekonomi yang kuat.

B) Efektivitas Pemerintahan: Antara Kebijakan dan Realita

Sebuah kebijakan tidak hanya dinilai dari seberapa banyak aturan yang dibuat, tetapi dari seberapa efektif aturan tersebut diimplementasikan. 

Dalam Indeks Efektivitas Pemerintahan (GEI), Indonesia memperoleh skor 0.58, tertinggal dari Korea Selatan (1.4), Jepang (1.63), dan Singapura (2.32).

Efektivitas pemerintahan bukan hanya tentang perumusan kebijakan, tetapi bagaimana birokrasi mampu menjalankan kebijakan tersebut dengan cepat, transparan, dan efisien. 

Negara seperti Singapura telah berhasil membangun sistem pemerintahan yang hampir tanpa hambatan birokrasi, dengan pelayanan publik yang cepat dan berbasis teknologi.

C) Demokrasi: Pilar Transparansi dan Akuntabilitas

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia. Namun, apakah demokrasi yang kita jalankan sudah mencerminkan transparansi dan akuntabilitas yang kuat? 

Dalam Indeks Demokrasi (DI), Indonesia memperoleh skor 6.53, lebih tinggi dari Singapura (6.18), tetapi masih tertinggal dari Korea Selatan (8.4) dan Jepang (8.09).

Meskipun demokrasi di Indonesia telah berkembang sejak era reformasi, banyak tantangan yang masih harus diatasi, mulai dari lemahnya oposisi hingga praktik politik uang yang masih mewarnai pemilihan umum. 

Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mampu menjadi alat penyeimbang antara kekuasaan dan kepentingan rakyat.

E) Pembangunan Manusia: Seberapa Sejahtera Rakyat?

Kemajuan suatu negara tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonominya, tetapi dari kualitas hidup rakyatnya. 

Dalam Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indonesia mencatat skor 0.713, masih jauh tertinggal dari Korea Selatan (0.929), Jepang (0.92), dan Singapura (0.949).

Ketimpangan dalam akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia. 

Negara-negara dengan HDI tinggi telah mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Sementara di Indonesia, kualitas pendidikan dan kesehatan masih perlu ditingkatkan agar bisa sejajar dengan negara-negara maju.

F) Kinerja Lingkungan: Masa Depan yang Terancam?

Lingkungan hidup menjadi salah satu isu global yang semakin mendesak. Dalam Indeks Kinerja Lingkungan (EPI), Indonesia memperoleh skor yang sangat rendah, hanya 28.2, jauh di bawah Singapura (50.9), Jepang (59.6), dan Korea Selatan (46.9).

Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Tetapi ironisnya, keberlanjutan lingkungan masih sering dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek. 

Deforestasi, pencemaran air dan udara, serta minimnya komitmen dalam transisi energi hijau menjadi tantangan yang harus segera diatasi.

G) e-Government: Menuju Digitalisasi Birokrasi

Era digital telah mengubah cara pemerintahan bekerja. Negara-negara maju telah berinvestasi besar dalam transformasi digital untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. 

Dalam Indeks Pembangunan e-Government (EGDI), Indonesia memperoleh skor 0.7991, masih tertinggal dari Korea Selatan (0.9679), Jepang (0.9351), dan Singapura (0.9691).

Digitalisasi birokrasi menjadi salah satu kunci utama dalam membangun pemerintahan yang lebih cepat, lebih murah, dan lebih efisien. 

Negara-negara dengan skor EGDI tinggi telah membuktikan bahwa teknologi dapat meningkatkan efektivitas pelayanan publik dan mengurangi peluang korupsi.

Jika keseluruhan itu dibobot dan digabung dalam satu indeks saja: GGI, yang dikembangkan LSI Denny JA, ini hasilnya.

Hasil Good Governance Index (GGI) 2024 yang dikembangkan oleh LSI Denny JA adalah sebagai berikut:

 • Indonesia: 53.17

 • Korea Selatan: 79.44

 • Jepang: 84.11

 • Singapura: 87.23

Skor ini menegaskan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan di Indonesia. 

Korupsi yang merajalela, birokrasi yang lamban, demokrasi yang belum sepenuhnya transparan, ketimpangan sosial yang tinggi, dan kebijakan lingkungan yang lemah adalah tantangan nyata yang harus dihadapi.

-000-

Tiga studi kasus akan dipaparkan. Kasus pertama: Singapur

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.