![]() |
Puasa adalah salah satu ibadah utama dalam Islam karena ia merupakan salah satu dari Rukun Islam. Menurut Imam al-Ghazali, dalam karya monumentalnya, Ihya’ ‘Ulumuddin, setiap amal ibadah memiliki aspek batin, yang merupakan ruh dan esensi (hakikat) dari ibadah tersebut disamping aspek zahir. Karena itu, seorang Muslim harus mengetahui dan menghayati aspek batin dari ibadah yang dilakukannya. Jika tidak, ibadahnya bagaikan jasad tanpa ruh.
Sebagaimana esensi shalat, menurut al-Ghazali ialah mengingat Allah SWT (dzikrullah), maka esensi ibadah puasa, menurut Imam al-Hujwiri (pengarang kitab Kasyful Mahjub, kitab sufi tertua dalam bahasa Persia), ialah menahan diri dari segala larangan Allah SWT. Karena itu, jelas al-Hujwiri, barangsiapa yang senantiasa menahan diri dari segala larangan Allah SWT, pada hakikatnya ia adalah orang yang sedang berpuasa walaupun ia berada di luar bulan Ramadhan.
Esensi puasa, yakni menahan diri dari segala larangan Allah SWT, berkaitan erat dengan tujuah ibadah puasa itu sendiri yakni untuk mencapai derajat muttaqin (orang yang bertaqwa) sebagaimana dengan jelas dinyatakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya tentang kewajiban berpuasa “Agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.” (al-Qur’an, al-Baqarah (2:183).
Sudah jamak diketahui, taqwa berarti rasa takut kepada Allah SWT yang manifestasinya ialah melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jadi menjauhi segala larangan Allah SWT adalah separoh dari taqwa (separoh lainnya ialah melaksanakan segala perintah-Nya).
Menjauhi larangan Allah SWT bukan hal yang mudah. Sudah menjadi sifat manusia, suka melanggar (melakukan) larangan Allah dan berat untuk melaksanakan perintah-Nya. Bahkan untuk melanggar larangan Allah, manusia rela mengeluarkan harta dan membayar mahal.
Karena berat dan sukarnya menahan diri dari larangan Allah SWT, maka diperlukan latihan. Dalam ibadah puasa kita dilatih untuk menahan diri dari yang halal yaitu makan, minum dan melakukan hubungan suami-istri. Jika kita sudah mampu menahan diri dari yang halal, maka diharapkan setelah berlalunya Ramadhan kita mampu menahan diri dari hal-hal yang haram.
Disebabkan esensi ibadah puasa ialah menahan diri dari segala larangan Allah SWT, maka seorang mu’min yang berpuasa hendaknya tidak hanya menahan diri dari makan, minum serta berhubungan suami istri, tetapi hendaknya juga mampu menjaga seluruh anggota tubuh seperti mata, telinga, lisan, tangan dan kaki dari hal-hal yang diharamkan. Menjaga mata dari memandang yang haram, telinga dari mendengar perkataan yang tidak baik, menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang dilarang seperti seperti perkataan yang kotor; ghibah, fitnah dan lain-lain. Begitu juga tangan dan kaki dijaga dari perbuatan dosa.
Orang yang berpuasa secara lahiriah yakni menahan makan, minum dan berhubungan suami istri serta hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi gagal menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat dan dosa selama berpuasa, menurut Rasulullah saw, puasanya tidak bernilai dan tidak mendapatkan pahala, sebagaimana sabda Baginda:
“Betapa banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.”
Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah puasa tidak hanya memiliki aspek zahir tetapi juga aspek batin. Kegagalan seseorang mengetahui dan mengamalkan aspek batin dari ibadah puasa menyebabkan gagal dan sia-sianya ibadah tersebut.
Dengan demikian, hendaknya seorang Muslim mengenal, menghayati serta mengamalkan esensi puasa agar ibadah puasanya pada bulan Ramadhan bernilai di sisi Allah SWT dan bisa menyebabkan transformasi dalam dirinya setelah berlalunya bulan Ramadhan yaitu menjadi pribadi yang senantiasa mampu menahan diri dari segala larangan Allah SWT.
Wallahu a’lam.
*(Dosen Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta)