![]() |
#30Harimenulipuisiesai
Puisiesai19
(Puisi esai ini diangkat dari kisah Liu Xiaobo, seorang intelektual dan aktivis pro-demokrasi asal Tiongkok yang tanpa lelah memperjuangkan kebebasan berpendapat serta hak asasi manusia.)
---ooo---
"Kata-kata adalah bara yang tak bisa padam,
meski dihempas ribuan larangan."
Di kota yang diliputi tembok sunyi,
seorang lelaki menulis dengan cahaya yang berpendar redup.
Tinta dari jemarinya adalah gugusan luka,
setiap kalimatnya parau dan penuh bara.
Ia bukan musuh negeri, bukan pengkhianat zaman,
hanya lelaki yang ingin melihat langit lebih terang,
jalan lebih lapang bagi anak-anak kelak.
Namun suara yang menuntut keadilan,
dilihat sebagai ancaman,
sebagai duri dalam tubuh kekuasaan.
"Piagam ini bukan pedang," katanya,
"hanya secarik doa untuk mereka yang kehilangan suara." (1)
Tetapi doa itu berubah jadi dakwaan,
kata-katanya menjadi peluru yang tak bisa diredam.
Ia dipanggil ke ruang pengadilan yang sunyi,
hanya hakim, jaksa, dan deretan pasukan.
Tak ada kawan, tak ada keluarga,
hanya wajah-wajah dingin yang sudah memutuskan takdirnya.
Vonis sebelas tahun jatuh bagai gerimis hitam. (2)
Mereka menyebutnya pelanggar hukum,
pemberontak yang mengganggu ketertiban.
Tetapi di luar ruang pengadilan,
namanya terus menggema,
menembus batas dinding yang menjebaknya.
Di dalam jeruji besi,
ia merawat harapan yang tersisa.
Dinding yang membisu,
menjadi saksi mata pena yang masih menari.
Ia tahu bahwa kata-kata tidak akan berhenti,
bahwa bahkan dalam sepi,
ada gelombang kecil yang terus bergerak.
Mereka pikir memenjarakannya adalah senyap,
tetapi di balik tembok yang dingin,
nama Liu Xiaobo menjelma angin,
berhembus hingga ke benua-benua jauh.
"Kebebasan bukan utopia," tulisnya,
"tetapi hak yang lahir bersama cahaya pertama pagi."
Dan suatu hari, dunia pun mendengar.
Nobel Perdamaian mengangkat namanya ke langit,
tetapi di tanah kelahirannya,
tepuk tangan diubah menjadi keheningan.
Piala itu adalah kehormatan,
tapi juga pengingat luka.
Tak ada sorak-sorai,
tak ada perayaan,
untuk pria yang terkunci dalam penjara
Tahun berlalu, tubuhnya mulai melemah,
penjara telah menelan banyak napasnya.
Ketika akhirnya penyakit datang menggerogoti,
hanya satu permintaan yang ia bisikkan:
"Biarkan aku menatap laut sekali saja." (4)
Tetapi tanah tempatnya berpijak,
tidak mengizinkan kebebasan,
bahkan di ujung nafas.
Hingga ia menghembuskan nyawanya dalam sunyi,
seperti lilin yang dibiarkan padam tanpa doa.
Namun kisah ini belum selesai.
Di setiap kata yang dulu ia ukir,
nyawanya terus berdenyut,
membakar batas-batas yang ingin meredam kebenaran.
"Jika aku tiada,
biarkan suaraku tetap menggetarkan peradaban."
Dan kini, dari antara lembaran yang terserak,
dari kata-kata yang terus hidup,
Liu Xiaobo tidak mati,
ia telah menjelma
menjadi nyala yang tak bisa dipadamkan.
---ooo---
CATATAN:
(1) Charter 08 - Liu Xiaobo’s Pro-Democracy Manifesto
(2) Human Rights Watch: Liu Xiaobo
(3) Asia-Pacific Journal: Liu Xiaobo’s Legacy
(4) Liu Xiaobo’s Final Request