![]() |
Menurut Profesor Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, istilah ‘agama’ yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab ‘dīn’ (dari akar kata d-y-n) berasal dari kata ‘dayn’ yang berarti ‘hutang’. Lalu apa hubungan semantik antara kata agama (din) dengan hutang (dayn)?. Konsep berhutang dalam konteks keberagamaan dan spiritual, jelas al-Attas, ialah manusia berhutang kepada allah, Zat yang menciptakannya, yang menzahirkan eksistensinya dan mempertahankannya dalam eksistensi tersebut. sebelumnya ia adalah ‘tiada’, tidak berwujud, dan kemudian baru ia berwujud.
Seseorang yang merenungkan asal usulnya akan menyadari bahwa puluhan tahun yang lalu (sebelum ia ada) ia tidak ada. Ia juga tidak mengetahui tentang kemungkinan eksistensinya pada masa mendatang. Orang yang merenungkan hal ini akan mengetahui secara intuitif bahwa ia berhutang kepada Allah Sang Khaliq dalam penciptaan dan eksistensi dirinya. Ia menyadari bahwa dirinya tiada berperan apa-apa dalam proses penciptaan dirinya, sejak dari sel sperma dalam setetes air lalu berubah menjadi segumpal darah (‘alaqah), kemudian menjadi segumpal daging (mudghah) lalu berkembang menjadi manusia yang sempurna. Ia akan menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kuasa sedikitpun menciptakan panca indera bagi dirinya sendiri. Perenungan yang mendalam tentang asal usul diri ini akan membawa seseorang kepada kesadaran bahwa hutangnya kepada Allah adalah ‘dirinya’ sendiri.
Dengan demikian hutang manusia kepada Allah ialah ‘eksistensi dirinya’ sendiri, sebagaimana firman Allah SWT “Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertaqwa” (al-Baqarah (2) 21). Inilah salah satu alasan kenapa manusia harus beragama ialah karena ia berhutang kepada Allah Sang Pencipta.
Dalam konteks kewujudan dirinya, hutang eksistensial manusia dapat dibedakan kepada dua. Pertama kemunculan eksistensi dan kedua kebertahanan eksistensi. Pengarang kitab al-Hikam, Syekh Ibn ‘Atha’illah al-Sakandari menyebut yang pertama dengan ‘ni’mat ijād’ dan yang kedua dengan ‘ni’mat imdād’. Dengan ni’mat ijad, manusia keluar dari “ketiadaan’ menjadi ‘ada’. Dengan semata-mata nikmat ijad, tidak ada jaminan eksistensi bisa bertahan lama. Mungkin saja ia akan kembali kepada ‘ketiadaan’ sesaat setelah ia mewujud. Karena itu diperlukan nikmat yang kedua yaitu ni’mat imdad. Dengan nikmat imdad, eksistensi manusia bisa bertahan lama.
Agar eksistensi manusia bertahan lama, Allah menyiapkan segala fasilitas yang bisa membantu kebertahanan wujud tersebut. Demi kelangsungan eksistensial manusia, Allah telah menyiapkan bumi sebagai tempat kediaman. Dari awal bumi telah didesain oleh Sang Pencipta sebagai planet yang memungkinkan adanya kehidupan. Dia mendesain bumi yang mungkin untuk ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang menyediakan bahan makanan bagi manusia. Dia juga menurunkan hujan dari langit yang membantu kesuburan bumi. sebagaimana firman-Nya “Dialah yang menciptakan bumi terhampar luas dan langit sebagai bangunan dan dia menurunkan air (hujan) dari langit kemudian dengan air tersebut dia mengeluarkan bermacam-macam buah-buahan karena rezki untukmu. Maka janganlah kamu menjadikan sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui” (al-Baqarah (2): 22).
Sebagaimana layaknya orang berhutang, manusia tentu harus membayar hutangnya kepada Allah. Disebabkan hutang tersebut ialah ‘dirinya sendiri’, maka hutang tersebut tentu harus dibayar dengan ‘dirinya’ juga. Bagaimana cara membayar hutang dengan dirinya? Dengan menyerahkan dirinya (islam) kepada Allah sang pemilik mutlak diri dengan penyerahan total (istislam), dan memasrahkan diri kepada-Nya. Konsekuensi dari penyerahan diri dan kepasrahan adalah ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya; berkhidmat dan menghambakan diri kepada-Nya dengan melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi semua larangan-Nya. Sekali kita menyerahkan diri kepada Allah berarti kita telah merelakan diri kepada-Nya. Inilah inti dari agama yaitu penyerahan diri (islam), ketundukan dan kepatuhan kepada Sang Khaliq yang dilandasi keimanan kepada-Nya.
Seorang yang menyadari hutang eksistensialnya tidak akan pernah menolak untuk beragama dan tidak akan merasa berat untuk beribadah kepada Tuhannya. Ia akan beragama dengan sadar tanpa paksaan dari siapapun. Ia akan menjadi hamba yang menyerahkan dirinya kepada Allah dengan penyerahan diri yang ikhlas dan total. Penyerahan dan pemasrahan diri yang total kepada Sang Khaliq akan termanifestasi dalam pikiran, ucapan, sikap, tindakan maupun tingkah lakunya.
Wallahu a’lam bi al-shawab
*(Dosen Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta)