Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Perti dalam Sidang Istbat Oleh: Duski Samad

Tulisan PERTI Dalam Sidang Istbat ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan dan sekaligus taujih (penjelasan) kepada jamaah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) tentang sikap dan pendirian organisasi terhadap memulai puasa Ramadhan dan berhari raya idul fitri nantinya.

Taujih (توجيه) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti pengarahan, bimbingan, atau penjelasan. Dalam konteks Islam, taujih sering digunakan untuk merujuk pada nasihat, petunjuk, atau penjelasan yang diberikan oleh seorang pemimpin, ulama, atau organisasi kepada umat atau pengikutnya agar mereka memahami suatu hal dengan benar. Dalam tulisan ini, taujih digunakan dalam arti penjelasan atau pengarahan kepada jamaah PERTI tentang sikap organisasi terkait penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

Adalah realitas di masyarakat dan jamaah umumnya masih ada keraguan tentang institusi yang berwenang yang berhak dan wajib ditaati dalam urusan agama yang melibatkan umat lebih luas, seperti memulai puasa Ramadhan, ber-Idul fitri, Idul Adha, dan juga berlanjut pada kapan puasa hari Arafah. 

Pesan yang hendak dituju dari artikel ini adalah mengingatkan kepada semua jamaah PERTI himbauan Pimpinan Pusat tentang sikap dan pilihan kebijakan untuk ikut terlibat aktif dan menjadi peserta pada sidang istbat awal puasa Ramadhan 1446H/2026 yang akan berlangsung hari Jumat, 27 Februari 2025 di Kementerian Agama RI Jakarta. Konsekwensi dari keikutsertaan Pimpinan PERTI sebagai anggota sidang istbat memastikan untuk tunduk, patuh dan melaksanakan keputusan hasil sidang istbat tersebut. Artinya PERTI dan seluruh jamaah akan memulai puasa Ramadhan sesuai penetapan sidang istbat. 

Ketegasan bahwa PERTI memulai puasa Ramadhan tahun 1446 ini adalah mengikuti dan atau sesuai hasil sidang istbat. Sikap itu sudah diturunkan pemberitahuan dan himbauan Pimpinan Pusat kepada Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang dan pimpinan ormas serumpun serta seluruh jamaah surat Nomor 42/PP-PERTI/II/2025 tertanggal 25 Februari 2025, yang isi pokoknya adalah sikap kolektif dan tanggung moral keislaman bahwa PERTI menentapkan pilihan bahwa keputusan pemerintah mengakhiri perbedaan pendapat, sesuai kaidah ushlul fiqih hukmul hakim ilzam wa yarfa’ul khilaf (Keputusan Pemerintah adalah mengikat dan mengakhiri semua perbedaan). 

PERTI sebagai organisasi sosial keislaman yang paham keagamaannya dalam aqidah beritikad ahlussunah wal jamaah, dalam fiqih bermazhab Imam Syafi’ dan bertasawuf serta bertarikat sejak didirikan 05 Mei 1928 lalu tetap kuat berpendirian (istiqamah) bahwa dalam setiap paham yang bersifat ikhtilaf (khilafiyah) ketetapan yang akan diikuti dan dilaksanakan adalah yang sudah dimusyawarahkan kemudian mendapat pengakuan dan ketetapan dari ulil amri atau pemerintah yang sah, dalam sistim pemerintah Indonesia ditetapkan Menteri Agama. 

Dalam Islam, kewenangan untuk menentukan awal puasa Ramadan dan Idul Fitri biasanya ada pada otoritas keagamaan di masing-masing negara atau komunitas Muslim. 

Beberapa institusi yang memiliki kewenangan tersebut di berbagai negara di Indonesia adalah Kementerian Agama (Kemenag) melalui sidang Isbat yang melibatkan ormas Islam. Arab Saudi otoritas keagamaan ada pada Mahkamah Agung (Supreme Court) yang mengonfirmasi rukyat hilal berdasarkan laporan pengamat. Pemerintah Mesir kewenangan ada pada Dar al-Ifta al-Misriyyah, lembaga fatwa resmi yang menentukan awal bulan hijriah.

Pemerintah Kerajaan Malaysia berada pada Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) bekerja sama dengan Majelis Raja-Raja. Republik Turki otoritas dimiliki oleh Diyanet (Presidency of Religious Affairs) yang menggunakan hisab (perhitungan astronomi). Maroko adalah urusan Kementerian Wakaf dan Urusan Islam yang mengandalkan rukyat hilal.

Dalam sejarah Islam, keputusan ini dulu dibuat oleh khalifah atau pemimpin wilayah berdasarkan pengamatan bulan. Namun, saat ini keputusan lebih bersifat kolektif dengan melibatkan para ulama, astronom, dan lembaga resmi negara. Di tempat-tempat tanpa otoritas pusat, Muslim biasanya mengikuti keputusan negara Muslim terdekat atau komunitas Islam setempat.

PERTI MENGIKUTI HASIL SIDANG ISTBAT.

Sejak awal PERTI memiliki kesadaran dan paham sekali bahwa urusan yang melibatkan masyarakat mesti ditetapkan secara musyawarah dan kemudian dikukuhkan oleh negara. Pendekatan Kementerian Agama RI mengunakan kedua pendekatan menentukan puasa melalui hisab dan rukyat dengan membentuk Badan Hisab Rukyat dan dilakukan sidang istbat adalah cara terbaik untuk menemukan titik perbedaan yang akhirnya dipilih yang dapat diterima semua pihak. 

Keputusan pemerintah dalam penentuan awal puasa Ramadan dan Idul Fitri mengikat dan seharusnya bisa mengakhiri khilafiyah (perbedaan pendapat) karena beberapa alasan prinsip Ulil Amri dalam Islam. Dalam Islam, pemerintah atau pemimpin Muslim (ulil amri) memiliki wewenang dalam urusan yang menyangkut umat. Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An-Nisa: 59).

Dalam konteks ini, pemerintah bertindak sebagai ulil amri dalam urusan penentuan hilal, sehingga keputusan mereka seharusnya ditaati untuk menjaga persatuan umat.

Pentingnya kesatuan pendapat setelah diadakan musyawarah adalah menghindari perpecahan dan kacaunya ibadah. Jika setiap kelompok atau individu menetapkan sendiri awal puasa dan Idul Fitri, maka akan timbul kekacauan. Bisa jadi dalam satu daerah, ada yang berpuasa duluan dan ada yang belakangan. Dalam Islam, persatuan dalam ibadah berjamaah itu penting, terutama dalam hal ibadah yang bersifat kolektif seperti puasa dan shalat Idul Fitri.

Tanpa bermaksud menyebut metode lain tidak baik, namun pandangan ulama PERTI menggabungkan hisab dan rukyat adalah metode yang sahih dan ilmiah. Keputusan pemerintah umumnya didasarkan pada metode yang komprehensif, dengan menggabungkan rukyat (pengamatan hilal langsung) sesuai sunnah Rasulullah. 

Hisab (perhitungan astronomi) untuk memperkirakan kemungkinan visibilitas hilal. Musyawarah ulama dan pakar astronomi dalam sidang Isbat. Dengan pendekatan ini, keputusan pemerintah tidak sembarangan, tetapi berdasarkan metode yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Argument lainnya adalah basis sejarah Islam. Khalifah yang menentukan, sejak zaman Rasulullah dan para khalifah, penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri dilakukan oleh pemimpin Muslim pusat dan ditaati seluruh kaum Muslimin. Jika ada perbedaan pengamatan, umat tetap mengikuti keputusan pemimpin untuk menjaga kesatuan. 

Perbedaan mendasar antara metode hisab dan rukyat dalam menentukan awal puasa Ramadhan adalah pada cara menentukan awal bulan Hijriyah, khususnya bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

1. Metode Hisab (Perhitungan Astronomis)

Menggunakan perhitungan matematis dan astronomi untuk menentukan posisi bulan. Tidak bergantung pada pengamatan langsung di lapangan. Berdasarkan kriteria tertentu, seperti ijtima' (konjungsi) dan ketinggian hilal saat matahari terbenam.

Digunakan oleh organisasi seperti Muhammadiyah, yang menggunakan hisab hakiki wujudul hilal—yaitu ketika bulan sudah berada di atas ufuk, meskipun tidak terlihat.

2. Metode Rukyat (Pengamatan Langsung)

Berdasarkan pengamatan langsung terhadap hilal (bulan sabit) setelah matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Hijriyah. Jika hilal terlihat, maka keesokan harinya adalah awal bulan baru. Jika tidak terlihat, maka bulan berjalan digenapkan menjadi 30 hari.

Dipakai oleh NU, PERTI, Al Washliyah, Nadlatul Wathan, ormas yang memiliki pemahaman sama dan ditetapkan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama (Kemenag), yang melakukan rukyat di berbagai titik lokasi di Indonesia.

Implikasi dari perbedaan metode ini kadang-kadang terjadi perbedaan awal Ramadhan atau Idul Fitri antara kelompok yang menggunakan hisab dan rukyat. Muhammadiyah biasanya menetapkan tanggal lebih awal karena menggunakan hisab, sementara pemerintah dan NU, Perti menunggu hasil rukyat.

Pemerintah Indonesia mengakomodasi kedua metode dan menetapkannya melalui sidang isbat, di mana data hisab digunakan sebagai panduan awal, tetapi keputusan akhir tetap berdasarkan rukyat.

Jadi, perbedaan mendasar adalah hisab bersifat prediktif berdasarkan perhitungan astronomi, sementara rukyat bersifat observasional berdasarkan pengamatan langsung.

Meskipun secara syariat keputusan pemerintah seharusnya mengikat, perbedaan tetap terjadi karena oda ormas seperti Muhammadiyah yang berpegang pada hisab murni, sehingga kadang berbeda dengan keputusan pemerintah. Sebagian kelompok umat ada yang berpendapat rukyat lokal lebih utama, sementara pemerintah mempertimbangkan rukyat nasional. Faktor politik atau ideologis di beberapa negara. Bagi PERTI dan tentu diikuti oleh jamaah bahwa keputusan pemerintah diikuti untuk menjaga persatuan umat, karena sudah melibatkan ulama dan pakar. Jika setiap kelompok atau individu berjalan sendiri, umat Islam bisa terpecah dan kehilangan makna persaudaraan dalam ibadah.

Kesimpulan dari tulisan "PERTI Dalam Sidang Istbat" oleh adalah:

1. Sikap Tegas PERTI.

PERTI menegaskan bahwa dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, organisasi dan jamaahnya akan mengikuti keputusan sidang istbat yang diselenggara kan oleh Kementerian Agama RI. Keputusan ini bersifat mengikat dan bertujuan mengakhiri perbedaan pendapat, sebagaimana kaidah fikih: Hukmul hakim ilzam wa yarfa’ul khilaf (Keputusan pemerintah mengikat dan mengakhiri perbedaan).

2. Ketaatan kepada Ulil Amri. Dalam Islam, pemerintah yang sah (ulil amri) memiliki wewenang dalam urusan umat, termasuk penentuan awal bulan hijriyah. Hal ini berdasarkan QS. An-Nisa: 59, yang menekankan pentingnya ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin. Oleh karena itu, PERTI tunduk pada keputusan pemerintah untuk menjaga persatuan umat.

3. Metode Penentuan Awal Puasa. Pemerintah Indonesia menggunakan hisab dan rukyat dalam sidang istbat. PERTI mendukung metode ini karena hisab (perhitungan astronomi) memberikan panduan awal. Rukyat (pengamatan hilal) memastikan keputusan final sesuai syariat. Musyawarah dalam sidang istbat melibatkan ulama dan pakar astronomi, menjadikannya metode yang sahih dan ilmiah.

3. Perbedaan dengan Muhammadiyah dan Implikasi. Muhammadiyah menggunakan hisab murni, sehingga kadang menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri lebih awal dibandingkan pemerintah. NU, PERTI, dan ormas serupa mengutamakan rukyat, sehingga mengikuti hasil sidang istbat.

Keputusan pemerintah seharusnya mengakhiri perbedaan, namun tetap ada ormas yang memilih jalannya sendiri.

4. Menjaga Persatuan Umat

PERTI menekankan bahwa persatuan dalam ibadah lebih utama dibanding perbedaan metode. Jika setiap kelompok menentukan awal puasa sendiri, bisa terjadi kekacauan dan perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, mengikuti keputusan pemerintah dalam sidang istbat adalah langkah terbaik untuk menjaga kesatuan umat Islam di Indonesia.

Kesimpulannya, PERTI akan mengikuti hasil sidang istbat karena keputusan ini telah melalui proses ilmiah, musyawarah ulama, serta ditetapkan oleh pemerintah sebagai ulil amri. Keputusan ini diharapkan dapat menjaga persatuan umat Islam dan menghindari perpecahan akibat perbedaan metode penentuan awal bulan hijriyah. DS. 27022025.

*Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat PERTI dan Guru Besar UIN Imam Bonjol

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.