![]() |
Pengantar Buku Puisi Esai Mahwi Air Tawar “Tutorial Mencintai…”
Ada yang ingin menjadi angin, padahal ia batu. Ada yang ingin menjadi lautan, padahal ia api.
Manusia kerap berlari dari dirinya sendiri, mengganti nama, mengganti wajah, mengganti sejarah—seolah perubahan bisa menghapus akar yang telah tertanam.
Tapi di mana ujung pelarian itu? Saat cermin tak lagi mengenali kita, saat suara sendiri terdengar asing, saat tempat pulang telah lenyap, apa yang tersisa?
Dilema itu tak terletak pada perubahan, melainkan pada kehilangan. Menjadi sesuatu yang lain sering kali berarti mengorbankan yang telah ada. Dan terkadang, kita baru menyadari nilainya saat semuanya telah hilang.
-000-
Keinginan memiliki identitas yang sama sekali berbeda tergambar dari satu puisi esai Mahwi Air Tawar: Musyawarah Burung Gagak.
Demi sehelai masa, seekor gagak meninggalkan bayangannya. Ia mengabaikan ranting-ranting yang biasa menjadi pijakannya dan mengepakkan sayap menuju dunia yang berkilauan.
Ia tak ingin lagi hitam legam, tak ingin lagi menjadi sekadar suara serak yang diabaikan. Ia ingin menjadi merak—megah, anggun, dan dikagumi.
“Ia pun melepas hitam bulu takdirnya.
Memeluk angin, membelai badai.”
Namun, seperti gema yang terpantul di lembah sunyi, keindahan yang ia buru bukanlah rumah yang bisa ia tinggali. Kilau bulu merak tak membuatnya diterima di antara kawanan merak.
Sementara itu, gagak-gagak lain tak lagi mengenalinya. Ia telah menjauh dari akar, tetapi tak menemukan tanah baru untuk mencengkeram.
Di sinilah ironi menelanjangi dirinya. Perubahan yang ia dambakan bukanlah transformasi, melainkan pelarian.
Ia percaya bahwa dengan mengganti bulu, ia bisa melarikan diri dari dirinya sendiri. Tapi dunia bukan hanya soal warna. Dunia adalah tentang asal, tentang tempat kita berpulang.
“Di mana tubuhnya, di mana jantungnya?
Ia bertanya pada angin yang mengoyak rimbun dedaunan.”
Ia menatap dirinya dalam pantulan sungai, melihat bulu yang bukan miliknya, paruh yang tak lagi mengenali suaranya sendiri. Ia mengepakkan sayap, tetapi tidak bisa kembali.
Begitulah manusia, sering kali berlari dari diri sendiri, mengira bahwa keindahan luar bisa menggantikan makna dalam. Namun, apakah kita benar-benar berubah, atau hanya kehilangan rumah?
-000-
Membaca puisi esai Mahwi Air Tawar soal burung gagak yang ingin menjadi burung merak, saya teringat cerpen terkenal dari F. Kafka: Metamorphosis.
Cerpen Metamorphosis karya Franz Kafka, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1915, menjadi fenomenal karena menggambarkan alienasi dan keterasingan manusia dalam masyarakat modern.
Pagi itu, Gregor Samsa terbangun dan menemukan dirinya bukan lagi manusia. Tubuhnya keras seperti tempurung, kakinya menggeliat tak terkendali, dan dunia yang dulu ia kenal kini menjauh.
Tetapi perubahan sejati bukanlah pada fisiknya, melainkan pada cara dunia memperlakukannya.
Kisah Gregor Samsa adalah cermin bagi setiap manusia yang, dalam perjalanan hidupnya, tiba-tiba merasa asing di dunia yang dulu akrab.
Seorang seniman yang kehilangan relevansi, seorang pekerja yang mendadak dianggap usang, seorang tua yang diabaikan oleh zaman yang terus melaju. Ini bisa menimpa siapa saja.
Metamorfosis sejati bukanlah perubahan bentuk, tetapi perubahan makna dalam relasi dengan sesama.
Kafka menyingkap ironi kehidupan dengan keheningan yang menyayat. Gregor, yang dulunya pilar keluarga, kini menjadi beban. Ia tak lagi diundang dalam kehangatan meja makan.
Ibunya menangis melihatnya, ayahnya mengusirnya, dan adiknya, yang dulu mengasihinya, perlahan kehilangan simpati. Begitulah dunia memperlakukan yang tak lagi berguna.
Mereka membuangnya dalam sudut sepi. Seolah-olah keberadaannya sendiri adalah aib.
Tetapi inilah kejutan tersembunyi. Gregor tidak mati karena ia menjadi serangga. Ia mati karena kehilangan cinta. Dunia tidak membunuhnya dengan pukulan, tetapi dengan penolakan yang sunyi.
Di sini, Kafka berbisik dalam gelap: Apakah manusia hanya berarti sejauh ia bisa memberi? Jika begitu, kita semua hanyalah Gregor Samsa yang menunggu giliran.
-000-
Apa kesamaan Burung Gagak yang ingin menjadi Merak dalam puisi esai Mahwi Air Tawar dan kisah Gregor dalam cerpen Kafka yang mengisahkan manusia menjadi serangga?
Keduanya berbagi satu nasib: terputus dari dunia yang pernah mereka kenal.
Ada tiga alasan utama mengapa seseorang ingin mengubah identitas fundamentalnya.
Pertama: Keinginan Lebih Diterima Lingkungan
Gagak itu ingin terlihat indah, ingin diakui dalam gemerlap dunia yang lebih tinggi dari tempat asalnya.
Ia percaya bahwa bulu yang bercahaya akan membawanya ke dalam lingkaran penerimaan.
Tetapi, saat ia mengganti bulunya, ia kehilangan jati diri. Kawanan gagak tak lagi menerimanya. Sementara kawanan merak pun menganggapnya asing.
Begitu pula manusia. Kita sering merasa bahwa menjadi “diri sendiri” tidak cukup. Maka, kita mengadopsi gaya hidup, keyakinan, bahkan wajah baru, demi menyesuaikan diri dengan apa yang dianggap lebih baik.
Namun, seperti gagak yang kehilangan sarangnya, kita bisa menemukan diri kita berdiri di antara dunia lama yang menolak dan dunia baru yang tak benar-benar menerima.
Kedua: Pelarian dari Diri Sendiri
Gregor Samsa tidak memilih menjadi serangga, tetapi perubahan yang ia alami mencerminkan perasaan banyak orang: merasa terkucil dalam kehidupan yang dulu mereka kenal.
Kafka menelanjangi absurditas eksistensi. Seseorang bisa berubah begitu saja, tanpa alasan. Dan dunia hanya akan merespons dengan penolakan.
Manusia sering kali ingin berubah bukan karena ingin lebih baik, tetapi karena ingin melarikan diri dari kenyataan yang menyesakkan. Mereka percaya bahwa dengan identitas baru, luka lama akan lenyap.
Namun, seperti Gregor yang semakin diabaikan, perubahan itu sering kali tidak membawa kelegaan, tetapi justru kesunyian yang lebih dalam.
Ketiga: Ilusi Kebebasan
Burung gagak dalam puisi esai Musyawarah Burung Gagak terbang meninggalkan sarangnya karena percaya bahwa perubahan adalah kebebasan.
Ia melepaskan hitam bulu takdirnya, berharap dapat melampaui batasan yang mengekangnya. Tetapi dalam pencariannya, ia justru kehilangan pijakan.
Kita sering mengira bahwa menjadi sesuatu yang lain akan membebaskan kita.
Seorang pekerja yang bosan dengan kehidupannya membayangkan bahwa berpindah ke tempat baru akan menghapus kejenuhan.
Seorang individu yang merasa terperangkap dalam tubuh atau identitas lamanya mengira bahwa mengubahnya akan membawanya ke dunia yang lebih luas. Tetapi kebebasan sejati tidak selalu terletak pada perubahan, melainkan pada penerimaan.
Ketika gagak akhirnya sadar bahwa ia tak memiliki tempat untuk pulang, ketika Gregor menyadari bahwa keluarganya lebih membenci keberadaannya daripada bentuknya, di sanalah kita memahami paradoks identitas: perubahan bisa membebaskan, tetapi juga bisa mengasingkan.
Dilema ini bukan tentang boleh atau tidaknya berubah, melainkan tentang kehilangan apa dalam prosesnya. Sebab, menjadi sesuatu yang lain bukan hanya soal menanggalkan yang lama, tetapi juga bersiap kehilangan rumah.
-000-
Saya membaca cerpen Franz Kafka: Metamorphosis, ketika sekolah di Amerika Serikat tahun 1990-an. Itu era ketika saya sendiri mencari apa yang seharusnya menjadi identitas saya.
Apakah memang ada life calling yang dititipkan alam semesta untuk dijalani? Ataukah semuanya hanyalah pilihan pribadi, yang banyak dipengaruhi oleh kesempatan yang saat itu terbuka?
Saya datang ke Amerika Serikat sebagai seorang mahasiswa, penulis, dan aktivis. Jika saya ingin menjadi pengusaha agar banyak uangnya, apakah saya sejenis gagak yang ingin menjadi merak?
Dengan kaya raya, padahal saat itu saya miskin, apakah saya berubah dari manusia menjadi serangga, seperti cerpen Kafka? Bedanya, ini serangga pemburu uang.
Bagaimana jika saya menjadi akademisi saja? Atau menjadi politisi? Atau membangun komunitas spiritual? Atau menjadi penyair?
Tiga sampai lima tahun saya bergulat memutuskan, “Siapa saya?” Jika saya berubah dengan profesi yang berbeda dan identitas psikologis yang berbeda, apa risikonya?
Saya lahir di dunia itu tak saya minta. Ruang dan waktu tempat saya lahir juga bukan saya yang pilih. Lalu, apakah ada kontrak yang harus saya kerjakan dalam hidup? Apa yang harus saya bela?
Mengapa saya harus patuh pada agama atau ideologi atau pemikiran yang bukan saya yang buat?
Ini pertanyaan eksistensial dan absurd. Renungan ini sejalan dengan karya Kafka dan lainnya, soal pencarian identitas diri.
Karya sastra tentang topik ini menambah kedalaman renungan pencarian identitas pribadi.
-000-
Buku Puisi Esai karya Mahwi Air menghadirkan lima belas puisi esai yang menafsirkan ulang cerita rakyat, kebudayaan, dan konflik sosial dalam format yang menggabungkan keindahan puisi dengan kedalaman analisis esai.
Dengan pendekatan ini, buku ini menawarkan perjalanan sastra yang reflektif, mengalir, dan sarat emosi, mengajak pembaca untuk tidak hanya menikmati estetika kata-kata.
Pembaca juga diajak merenungkan realitas yang sering tersembunyi di balik narasi tradisional.
Buku ini bukan hanya kumpulan puisi, melainkan juga sebuah eksperimen sastra yang menjembatani dunia imajinatif dengan fakta historis dan sosial.
Cerita rakyat, yang sering dianggap hanya sebagai dongeng masa lalu, dihidupkan kembali dengan tafsir kontemporer yang menyentuh isu identitas, perubahan sosial, dan pergulatan eksistensial manusia.
Puisi esai berjudul Malam Letrek mengisahkan pergulatan seorang istri yang melakukan ritual di kuburan karena suami menyukai seorang pesinden. Ini beberapa bait kutipannya:
Di sepertiga malam
aku menyelinap, ruang tamu lengang,
hanya bayangan dan gelak lantang
suamiku, Kiaji Subang, di atas langgar
bersama kawan, larut dalam cerita dan kelekar
tentang tubuh molek pesinden idaman lelaki kekar.
Di sepertiga keheningan
jari-jari khayalan membelai mimpi
meminang pesinden dengan birahi yang diselipkan
ke balik kutang abaikan pantangan:
“Begitu seharusnya, guru bajing pantang beristri satu,”
kata itu menggema, menusuk palung hati,
membuatku tersayat sindiran pilu.
Tanpa ragu, aku melompat dari jendela samping,
menembus kegelapan, meniti jalan setapak
menuju kuburan tempat leluhur disemayamkan,
tempat ritual letrek menanti,
untuk meruntuhkan janji yang teranyam
antara dusta dan ambisi yang kian merundung.
Tiga helai daun kering melayang,
jatuh tepat di depan gerbang kuburan,
masa lalu memburu, guruh masa depan
memburu.
Oh, alangkah pilu luka melulu
dalam tiga hentakan kaki lubangi bumi
suami merana, suami nelangsa terbakar angkara.
Di balik gemuruh malam, bayang Suhmiyati tersingkap,
calon istri kedua yang terselubung ambisi,
membuat hati ini bergemuruh, terombang antara cinta
dan harga diri yang kian terancam.
Selain itu, buku ini juga mengeksplorasi tema konflik budaya, ketimpangan sosial, hingga pencarian makna hidup, membuatnya lebih dari sekadar karya sastra. Ia juga merupakan dokumentasi perasaan dan pemikiran manusia dalam menghadapi perubahan zaman.
Buku Puisi Esai ini bukan hanya sekadar kumpulan puisi, tetapi juga potret pergulatan manusia dengan identitas, budaya, dan tragedi kehidupan.
Setiap puisinya membawa pembaca ke dalam dunia yang reflektif, emosional, dan menggugah kesadaran.
Dengan bahasa yang mengalir dan simbolisme yang kuat, buku ini mengajak kita untuk melihat kembali nilai-nilai tradisional dalam perspektif yang lebih luas.
Ia juga mengajak kita merenungkan makna perubahan, keterasingan, dan keindahan dalam menerima diri sendiri.
-000-
Pada akhirnya, baik burung gagak yang ingin menjadi merak maupun Gregor Samsa yang berubah menjadi serangga menghadapi nasib yang sama: keterasingan.
Bukan perubahan itu sendiri yang menghancurkan mereka. Yang jauh lebih luka adalah kehilangan jati diri di tengah perubahan itu.
Gagak mengejar keindahan, tetapi kehilangan rumah. Gregor berubah, tetapi kehilangan cinta. Mereka sama-sama terlempar ke dunia yang tak lagi mengenali mereka.
Yang lebih menyakitkan, dunia yang tak ingin mengenali mereka lagi.
Ini adalah paradoks identitas: kita mendamba kebebasan dari diri sendiri, tetapi dalam pelarian itu, justru kehilangan satu hal yang paling mendasar: rasa memiliki.
Mungkin, pertanyaannya bukan lagi tentang siapa kita ingin menjadi, tetapi sejauh mana kita bisa menerima diri kita sendiri.
Karena pada akhirnya, bukan dunia yang menentukan di mana kita berpulang. Rumah bukan sekadar tempat, bukan sekadar penerimaan orang lain. Rumah adalah titik di mana kita berhenti berlari.
Dan barangkali, di titik itulah, kita benar-benar ada.***
Singapura, 26 Februari 2025
Catatan:
(1) Franz Kafka termasuk pelopor satu aliran sastra yang kemudian disebut absurdisme, yang mengeksplorasi ketidakpastian dan ketidakjelasan makna hidup.
The Absurdity of Existence: Franz Kafka and Albert Camus - Yale University Press