![]() |
(Sebuah puisi esai yang terinspirasi dari pola parenting otoriter, dimana orangtua seringkali mendidik anak dengan kekerasan fisik) (1)
Jangan pukuli anakmu,
karena ia terlahir dari rahimmu,
tetes darahnya berasal dari tubuhmu,
detak jantungnya terbentuk dari bagianmu,
dalam perutmu ia bertumbuh,
hadir ke dunia, tanpa tahu apa-apa.
Kekurangannya adalah cermin sikapmu,
kenakalannya tumbuh dari didikanmu,
dari kata-kata yang pernah kau ucap,
dari luka yang mungkin tak kau sadari.
Setiap teriakan yang kau lontarkan,
menggores halus di hatinya,
setiap pukulan yang kau ayunkan,
menggetarkan dunianya yang rapuh.
Jangan biarkan tanganmu menjadi pedang,
menghunus lembut kulitnya,
yang belum paham makna dunia.
Bekas itu tak hanya biru di tubuhnya,
tapi mengakar di batinnya,
mengubah tawa menjadi sunyi,
menghapus pelukan menjadi jarak yang kaku.
Setiap kali tanganmu terangkat,
ia melihat langit runtuh dalam matanya,
ia belajar bahwa kasih bisa menyakitkan,
bahwa cinta bisa melukai.
Jangan biarkan jemarimu yang seharusnya membelai,
menjadi cambuk yang menyakitinya,
menjadikannya takut pada rumah,
Benci pada nama yang seharusnya ia sayang.
Selamanya,
ia akan membawa luka itu dalam kantong ingatannya,
menyimpannya di sudut paling gelap,
tak tersentuh cahaya, tak terhapus waktu.
Ia akan tumbuh dengan cinta yang patah,
dengan rindu yang tak berani pulang,
dengan tangis yang terbungkam bisu.
Ia mungkin tersenyum di depanmu,
namun di dalam hatinya menyimpan serpihan,
dendam yang mengakar dari rasa sakit yang membekas.
Ibu adalah rumah bagi anak,
tempat yang seharusnya hangat dalam dekap,
bukan penjara yang ditakuti,
bukan lorong gelap yang dihindari.
Jangan biarkan suaramu menjadi gemuruh petir,
membangunkan ketakutan di tengah malam,
jangan biarkan bayangmu menjadi bayang kelam,
menghantui hingga mimpi-mimpinya menggigil.
Bangunlah rumah yang penuh cahaya,
tempat ia merasa aman menumpahkan air matanya,
tempat ia bebas mengurai tawa dan tangis tanpa takut,
tempat ia belajar arti cinta tanpa luka.
Ajari ia dengan tangan yang mengelus lembut,
dengan kata-kata yang menyembuhkan,
dengan sabar yang memeluk ketidaksempurnaan.
Karena anak bukanlah boneka yang bisa kau bentuk sesuka hati,
ia memiliki jiwanya sendiri,
yang bisa retak jika kau hancurkan dengan kerasnya sikapmu.
Setiap pukulan yang kau berikan,
meninggalkan bekaw terdalam,
menggoreskan ketakutan,
mengukir kebencian yang tak terucap.
Kelak, jika ia tumbuh dengan luka yang kau tinggalkan,
ia mungkin akan menjauh darimu,
tak lagi melihatmu sebagai rumah,
tapi sebagai kenangan yang ingin ia lupakan.
Ia akan belajar menyimpan air mata dalam senyuman,
menyembunyikan rasa sakit dalam dendam,
menjadikan jarak sebagai pelindung hati yang rapuh.
Sebab cinta adalah ketulusan yang tak melukai,
dan kasih sayang tak pernah menyisakan luka.
Jangan pukuli anakmu,
karena dari kasarnya sikapmu,
ia akan belajar memperlakukan dunia,
dengan cara yang sama.
Ajari ia kelembutan agar tangannya bisa membelai,
bukan menghantam.
Ajari ia kesabaran agar suaranya bisa menenangkan,
bukan menggelegar dalam amarah.
Ajari ia cinta tanpa luka,
agar kelak ia bisa menjadi rumah yang hangat,
bagi hati-hati yang bersandar padanya.
CATATAN:
(1)https://cmindonesia.com/masih-banyak-orangtua-indonesia-didik-anak-dengan-kekerasan/