No viral no justice itu arti sederhananya adalah, jika tidak viral jangan pernah berharap adanya keadilan. Jadi, no viral no justice itu pertama menandai betapa saktinya fungsi serta peran media sosial membangun opini pendapat publik yang telah dipiuhkan oleh hukum yang sudah menjadi komodoti pasar dijual bebas di pasar gelap seperti narkoba yang terus beredar bebas, karena memang pencegahannya sudah berbaur dengan pengedar narkoba tersebut.
Karenanya yang berlaku hanya sanksi moral dan sanksi sosial misalnya dengan mempermalukan para pelaku seperti hakim yang memutus ringan hukuman terhadap pelaku korupsi yang telah merugikan negara berjumlah ratusan triliunan, tapi cuma disenggol dengan 6.5 tahun penjara. Padahal, dalam proses menjalani hukuman itu masih cukup banyak peluang transaksi jual-beli keringanan hukuman hingga maksimal hukuman itu kelak hanya dijalani separuh saja dari waktu lamanya putusan.
Kecuali itu, selama menjalani hukuman yang formal itu, tidak sedikit peluang bisnis yang diam-diam dilakukan dengan cara memberi kemudahan bagi terhukum hidup bebas di luar tahanan untuk menikmati duit curiannya bersama petugas yang tutup mata memberi izin kemudahan itu.
Jadi memang sungguh malang bagi rakyat kecil yang melakukan kesalahan melanggar hukum, apalagi tak punya cukup banyak duit untuk membiayai ongkos kebebasan yang tersekap itu. Sehingga asa pameo untuk siapa saja yang mau korupsi, jangan tanggung-tanggung ngentit duit rakyat itu agar bisa nyaman dan sentosa dengan penuh kegembiraan menjalani formalitas masa tahanan itu yang cuma sekedar untuk meredakan tanggapan dan suara kritis masyarakat.
Ketika sudah banyak hakim dan penegak hukum lainnya yang berselingkuh dengan pihak pesakitan atau mereka yang nyata-nyata telah melakukan kejahatan secara terstruktur, sistemik dan masif, logika waras kita sulit untuk dipaksa tetap percaya bahwa mereka itu adalah wakil Tuhan, orang yang tidak lagi bisa dipercaya wajib untuk menegakkan hukum dan keadilan. Maka itu pilihan sikap yang waras pertama adalah berusaha untuk tidak ikut terkontaminasi, teguh pada pilihan sikap untuk tetap percaya bahwa semua yang diperoleh dengan cara tidak benar atau tidak halal itu tidak berkah, akan menjadi bumerang bagi diri kita dan semua anggota keluarga yang ikut menikmati peroleh harta benda dan kekayaan yang tidak halal itu.
Syukur-syukur akibatnya tidak menjadi bala yang lebih dahsyat, seperti berantakannya tatanan hidup dalam keluarga. Anak yang tidak bisa memberi banyak manfaat bagi orang banyak. Bahkan bisa menimbulkan petaka yang tidak terkira beratnya bagi semua keluarga. Atau bahkan istri yang selalu sakit-sakitan hingga ikut menyiksa kehidupan semua anggota keluarga, lantaran harus keluar dan masuk rumah sakit secara rutin dan kontinyu. Demikian juga dengan anak cucu lainnya yang terus menimbulkan ulah, mulai dari sekolah yang tidak becus hingga terlibat kasus narkoba serta perilaku amoral yang sangat memalukan.
Soalnya sekarang, rasa malu sidah tidak lagi dianggap hal yang tabu. Seperti etika dan moral serta akhlak yang bejat karena abai pada ajaran dan tuntunan agama yang dianggap tidak lebih perlu dari kebutuhan duniawi yang terlanjur memabukkan.
Banten, 3 Januari 2025