Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Tergopoh-gopoh Menonton Randai Siti Manggopoh Oleh: Jonminofri

Sebagai sebuah nagari, Manggopoh sama saja dengan desa lain di Sumatra Barat. Luas desa ini hanya 19.934 hektar. Di atasnya hidup 22.362 jiwa. Separuh laki-laki, sisanya perempuan. Desa yang berjarak 103 km dari Kota Padang ini hanya memiliki 1 SMP Negeri dan 1 SMA negeri. 

Di desa ini lahir seorang “singa” perempuan bernama Siti pada 1 Mei 1880. Siti menjadi istimewa karena dia marah akibat Belanda memaksa menarik pajak atas tanah adat (Balesting). Karena alasan itu, Siti berani berperang dengan Belanda tahun 1908. Manggopoh yang mengatur strategi. Para lelaki di bawah koordinasinya. Hasilnya, pada perang ini Manggopoh dan pasukannya menang. Ia dan teman-temannya berhasil membunuh 53 serdadu Belanda hanya dengan senjata tradisional. Karena keberaniannya yang luar biasa, Siti dikenal sebagai Singa dari Manggopoh. Terakhir orang menyebutnya Siti Manggopoh.

Nama Siti Manggopoh belum setenar perempuan pahlawan, seperti Rasuna Said yang juga dari Sumbar. Saya pertama kali mengetahui nama Siti Manggopoh ketika mengedit buku Puisi Esai Amelia Fitriani berjudul “Perempuan dalam Lembar Juang”. Nama Siti Manggopoh ada di buku ini bersama 14 perempuan hebat lain.

Kisah Siti Manggopoh ini yang dipentaskan selama 150 menit di atas panggung dalam Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail dalam tajuk Mahakarya Randai III, Sabtu 11 Januari 2025. Sebanyak 432 kursi di dalam gedung terisi penuh oleh penonton. Bisa jadi sebagian besar dari penonton ini adalah orang Manggopoh. Menurut informasi dari ikatan Perantau Manggopoh jumlah mereka ada 2.000 kepala keluarga di Jakarta dan sekitarnya. Mereka menyaksikan kisah Siti Manggopoh di panggung yang dimainkan oleh 100 orang. 

Sejak sore, hujan sudah turun. Tapi antusiasme penonton tidak surut. Mereka tergopoh-gopoh mendatangi gedung pertunjukkan.

Tentu saja tidak mudah mengatur 100 orang itu bergerak di panggung randai ini. Dibutuhkan seorang yang akrab dengan panggung besar agar pertunjukkan sedap ditonton. Tugas ini diperankan dengan baik oleh Jose Rizal Manua, sutradara pertunjukkan ini, yang belum lama ini menyutradarai juga pertunjukan Ha Iku dengan 50 pemain, di Teater Besar TIM, dengan pujian.

Randai berasal dari Sumatra Barat. Sama dengan pertunjukkan panggung lainnya, daya tarik gelaran ini dipusatkan kepada gerak, musik, nyanyi, yang dilakukan secara serempak. Gerakan tari yang dinamis dalam randai dilakukan oleh para pemain yang membentuk lingkaran, seperti tari kecak dari Bali.

Bentuk lingkaran ini menandakan bahwa tarian ini biasanya digelar di halaman terbuka (bukan di panggung), sehingga warga yang menonton bisa menikmati randai dari semua sudut, dan mereka semua merasa menyaksikan dari muka, di mana pun titik mereka di luar lingkaran. Zaman berkembang, pertunjukan Randai (dan lakon tradisional lainnya) harus masuk gedung.

Karena itu, randai akan lebih dekat dengan aslinya jika dimainkan di teater yang lokasi panggungnya berada di tengah gedung, dan penonton berada di sekelilingnya, seperti pertunjukan olahraga tinju profesional. Kira-kira terater Arena memenuhi syarat seperti ini atau seperti gedung pertunjukan In-the-Round di London, Inggris.

Namun begitu, randai kemarin bisa dinikmati dengan baik oleh penonton. Yang membuat tontonan ini lebih terasa nikmat adalah layar videotron raksasa di bagian belakang panggung. Layar digital besar ini dimanfaatkan untuk menayangkan gambar lokasi adegan yang sedang berlangsung, seperti di dalam rumah, di dalam kantor, di halaman, dan lainnya. Gambar yang disajikan kemarin sangat baik, membantu penonton memahami jalan cerita. Apalagi gambar tersebut diberi warna sephia, coklat keabu-abuan, yang mengesankan kuno, atau gambar masa lalu. Saya menduga gambar (still photo) dibuat dengan bantuan Artificial intelligence.

Layar itu juga berfungsi untuk menampilkan judul babak yang sedang berlangsung. Atau memberi keterangan lain. Jadi bila ganti lokasi, layar berganti. Ganti babak, layar juga berubah. Ada adegan yang sukar ditampilkan, beberapa baris teks muncul di layar itu menjelaskan adegan yang sedang berlangsung. 

Adegan penyerangan yang dipimpin oleh Siti Manggopoh terasa efektif dengan bantuan layar yang berisi text. Begitu juga penggambaran dilematis Siti, yang baru punya bayi: merawat bayi atau memimpin perang dan meninggalkan bayi.

Sayangnya text yang disajikan tidak semulus tari piring di panggung ini. Kesalahan penulisan atau kalimat yang tidak efektif cukup mengganggu (setidaknya bagi saya). Misalnya kalimat ini: “pertempuran sengit berlangsung dalam kegelapan, menjadi sekutu yang memudahkan penyergapan”. Juga ada penulisan tanda baca yang keliru. Di beberapa kata tertulis “ Siti Manggopoh”, ada spasi antara tanda petik pertama dengan huruf S dari Siti.

Namun di luar soal penulisan tadi, layar besar ini sudah berhasil menjadikan pertunjukkan ini terkesan modern seperti yang diinginkan oleh penyelenggara.

Kisah Siti Manggopoh yang dijuluki singa perempuan ini berhasil disampaikan dari panggung Usmar Ismail dan penonton tepuk tangan.

Penggunaan bahasa campuran Minang dan bahasa Indonesia pada dialog juga menunjukkan kemoderenan. Tapi sekaligus mengganggu. Mungkin lebih nyaman bagi penonton, jika lakon ini menggunakan bahasa Indonesia saja. Tentu saja tetap menyelipkan kosa-kata Minang di sana-sini. Atau bahasa Minang saja. Jika menggunakan bahasa campuran menjadi terasa kagok bagi pengucap, dan penonton merasa ganjil. 

Selain itu, naskah ini terasa kurang sreg karena tidak banyak pantun yang dimasukkan dalam dialog, sebagai bagian dari pertunjukkan Minang. Sisipan pantun atau pepatah petitih Minang akan membuat dialog menjadi segar.

Namun demikian, rasa sreg ini muncul dengan kental pada permainan saluang yang khas Minang, yang mendayu-dayu saat mengiringi “padendang”. Cengkok si upik berdendang ini mengingatkan saya pada penyanyi minang Elly Kasim.

Nah, satu lagi, sepanjang 90 menit pertunjukkan tidak terdengar teriakan “hep tah” yang mestinya sering muncul ketika para penari pria menepukkan tangannya di antara dua kaki. 

Tentu saja kita memberi tepuk tangan yang panjang kepada semua pihak yang berhasil menggelar pertunjukkan langka ini. Mereka adalah sutradara Jose Rizal Manua dan Joharsen, Ketua Acara Agus Siswanto, Pengawas Andha Zulfirman dan jangan lupakan pengarah acara Sastri Bakry, Ketua Sumbar Talenta. ***

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies