Sebagian jemaah berwisata ke Museum Tsunami Aceh. |
BANDA ACEH, Sigi24.com -- Perjalanan ziarah Barus dan Banda Aceh (6-13/1/2025) itu terasa melelahkan sekaligus menggembirakan. Disebut melelahkan, sang sopir satu bus ini sepertinya ikut dalam kelompok "partai tua".
Santai sekali jalannya. Sehingga waktu banyak terpakai di tengah jalan saja. Sempat singgah di Labuhan Haji, Aceh Selatan tapi tak bisa masuk komplek pesantren dan makam Syekh Muda Waly. Ada pesta di jalan, membuat kami wajib balik kembali, setelah susah memutar bus di jalan sempit itu.
Oleh jemaah Nursyamsu, ziarah ke Syekh Muda Waly (1917-1961) adalah agenda rutin, dan wirid yang dia lakukan melalui Khalifah Tuanku Bagindo dulunya.
Syekh Muda Waly bukan penganut Syattariyah, tapi beliau pengembang Naqsabandiyah. Bagi masyarakat Balah Aie, Padang Pariaman, Syekh Muda Waly tempat ziarah, karena pertalian beliau dengan tokoh ulama Balah Aie dulunya, Tuanku Sidi Talue.
Pertalian ilmu, karena Syekh Muda Waly gemar menuntut ilmu dulunya di Minangkabau. Termasuk beliau berguru ke Tuanku Sidi Talue, setelah sebelumnya bersua dengan Syekh Muhammad Yatim, gurunya Tuanku Sidi Talue.
Jejak itu masih terekam kuat oleh masyarakat Balah Aie dan sebagian murid Syekh Muda Waly. Tuanku Sidi Talue terkenal sebagai ulama yang mahir bersoal jawab.
Majlis ilmu dan forum muzakarah hidup di Toboh Mandailing, Nagari Balah Aie, suraunya Tuanku Sidi Talue ini.
Sayang hari itu, saat kami tiba di Labuhan Haji, tak bisa bus pariwisata masuk. Jalan diblok oleh masyarakat yang sedang pesta.
Dari Labuhan Haji, Aceh Selatan bus melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh. Tentunya kami jamak qasar di Masjid Ahlussunah Waljamaah Labuhan Haji dan makan siang di sebuah kedai nasi urang awak.
Dinihari, Rabu kami masuk komplek Syiah Kuala Banda Aceh. Dua jam sebelum Subuh masuk. Syekh Abdurrauf (1615-1693 M), ulama besar Aceh yang terkenal berpengaruh dalam menyebarkan Islam dan tarekat Syattariyah di Nusantara ini.
Sempat dua kali berziarah di komplek itu. Zakaria, penjaga makam Syekh Abdurrauf As Singkili ini menjelaskan tentang blok Kuala dan Singkil.
Tahun lalu sempat Shalat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman, tapi tahun ini kami Magrib dan Isya hari Kamis itu di masjid tersebut.
Karena Jumat, sebagian jemaah memilih ikut ke nol kilometer Indonesia yang terletak di Pulau Sabang.
Syiah Kuala terkenal dengan ulama hebat, meninggalkan banyak karya dan jejak yang amat luar biasa. Ada puluhan kitab karyanya yang sebagian sudah diterjemahkan oleh sarjana.
Yang paling monumental, adalah tarekat Syattariyah. Kajian ini berkembang di Padang Pariaman, setelah dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan yang berguru langsung dengan Syiah Kuala.
Makam Syiah Kuala sepertinya tak pernah sepi dari pengunjung. Hampir tiap hari ada saja jemaah dan masyarakat secara perorangan yang datang ziarah ke sana.
Melepaskan nazar, menjalankan wirid rutin, dan bahkan hari itu kami bertemu dengan musafir dari Jawa. Pasangan suami istri yang sejak 2016 melakukan perjalanan musafir dengan bersepeda dayung.
Dua pula sepedanya. Banyak kucing yang diangkutnya. "Ini kucing yang dicampakkan orang. Kami senang dan suka kucing," katanya.
Kucingnya dikasih kalung, tentunya sebagai penanda agar jangan keteter nantinya. Stok makanan kucing selalu tersedia.
Rencana tahun depan
Nursyamsu berencana musim ziarah tahun depan, pihaknya menyediakan kambing untuk makan bersama di Kuala.
"Insya Allah, tahun depan kita rencanakan menyembelih seekor kambing di sini. Kita kumpulkan kalau ada anggota jemaah yang ingin mengakikahk anggota keluarganya," kata dia.
Tentunya, masakan gulai kambing yang direncanakannya adalah masakan khas urang awak. Tidak seperti yang dilihatnya di komplek itu, gulai yang cepat saji saja.
Usai makan pagi setelah Subuh, Sabtu kami bergerak menuju pulang kampung. Pulang lewat Kota Medan, setelah malamnya singgah di Kuala Simpang.
Ketageh Coffee, milik urang awak. Rombongan kami ini sudah dua kali singgah dan silaturahmi dengan pemilik kafe itu.
Dia senang menerima tamu. Tahu dia ada orang kampung ziarah ke Aceh, pasti disuruhnya singgah di Ketageh Coffee.
Seduhan kopinya enak, membuat diskusi kian cair dan mengalir selama istirahat di situ. Kami menyampaikan terima kasih banyak jamuannya, semoga silaturahmi ini terus berlanjut.
Pukul 23.30 wib mulai berjalan di Kuala Simpang, sejam jelang Subuh masuk kami sudah sampai di Masjid Raya Al Mashun, Kota Medan. (ad/red)