Foto bersama di Aceh Tamiang, tepatnya di Kuala Simpang. |
BANDA ACEH, Sigi24.com -- "Kita shalatnya jamak qasar," kata Bustanul Arifin Khatib Bandaro kepada jemaah. "Usallinya, apa," jawab sebagian jemaah tatkala kami akan melakukan shalat Zuhur.
"Usallinya takah yang patang senyo," jawab Bustanul Arifin lagi, sambil kedengarannya ganjil, sehingga sebagian jemaah, terutama kaum perempuan itu pada ketawa.
Sepanjang perjalanan ziarah dari Sumatera Barat ke Banda Aceh, 6-13 Januari 2025, kami memilih keringanan dari melakukan kewajiban.
Yakni jamak qasar di awal, sambil sebentar melepaskan lelah dalam perjalanan yang menggunakan bus pariwisata PT Sauna Rang Minang ini.
Ziarah kami di mulai di Lubuak Pua. Beliau Tuanku Bagindo, sebagai langkah awal menuju jalan panjang di Barus, Tapanuli Tengah dan Provinsi Aceh.
Muhammad Umar nama lengkapnya. Tapi namanya tak semashur gelarnya Tuanku Bagindo. Hidup dalam rentang 1875 – 1955 M, dan mengembangkan ilmunya di Surau Pekuburan yang menjadi tempat kelahiran ulama besar dan alim dulunya hingga saat ini.
Bagi Nursyamsu yang akrab disapa Bujang ini, ziarah ke Barus dan Aceh di bulan Rajab ini, adalah warih bajawek pusako batarimo. Merupakan tradisi rutinitas yang dia terima dulunya dari Khalifah Tuanku Bagindo.
Di Barus, kami menziarahi makam Papan Tinggi, Makam Syekh Mahmud bin Abdurrahman bin Muadz bin Jabal yang diyakini sebagai penyebar Islam pertama di Barus.
Menurut keterangan warga lokal dan beberapa sumber, Syekh Mahmud datang ke wilayah Barus pada abad ke-7 Masehi. Berdasarkan catatan sejarah, beliau mungkin tiba sekitar tahun 640-an. Saudagar dari Yaman ini diutus ke Asia, berlayar menuju Samudera Pasai (Aceh) untuk menyebarkan ajaran Islam.
Namun, kapal yang ia tumpangi salah arah dan terdampar di Barus. Di Barus, Syekh Mahmud memutuskan untuk menetap dan melanjutkan dakwahnya. Namun, Kerajaan Barus pada masa itu melarang Syekh Mahmud untuk menyebarkan Islam di Nusantara.
Terkenal dengan jenjang seribu. Tapi kepastian tangga itu tak cukup seribu. "Hanya 714," kata penjaga makam itu. Tak semua jemaah yang mampu menaiki tangga di bukit itu, tapi secara umum jemaah wirid Tuanku Bagindo ini sudah sejak lama menjadi tempat ini sebagai lokasi ziarah.
Usalli
Meskipun usalli bukan rukun shalat, jemaah menjadikan usalli sebagai sesuatu yang wajib hafal dan dibaca setiap kali akan melakukan shalat.
Apalagi untuk shalat jamak qasar yang jarang dilakukan jemaah, membuat pemimpin rombong merasa berkewajiban untuk menjelaskannya atau mengulang kembali, agar para jemaah tidak merasa bingung.
Sebagai mewarisi trah Tuanku Bagindo Lubuak Pua, tentu kami bersama-sama menjaga keutuhan shalat berjamaah selama dalam kegiatan itu.
Ditambah pula, sebagian dari jemaah ada yang ikut shalat 40 hari di tempatnya. Shalat 40 hari secara berjamaah, tidak putus satu waktu.
Hampir tiap kali shalat secara jamak qasar itu, kita menjelaskan, dan memastikan jemaah memasang niat untuk itu.
Nah, usalli adalah lafaz niat yang baca untuk memantapkan niat. Niat merupakan rukun shalat, wajib hukumnya. Bila salah niat, tentu tak sah shalatnya.
Dan bagi jemaah, amalan yang dikerjakan sesekali itu, sepertinya wajib dijelaskan terlebih dahulu. Tentu untuk urusan shalat ini, ketika memasuki Aceh, akan terasa nikmat.
Jemaah bisa memilih masjid. Di Aceh, masjid jaraknya berdekatan, dan sepanjang perjalanan itu, kita bisa memilih masjid untuk menunaikan shalat berjemaah.
Shalat secara jamak qasar adalah shalat yang dikerjakan saat dalam perjalanan jauh. Ini semacam dispensasi dari Tuhan kepada umat dalam melakukan perjalanan jauh.
Kecuali Subuh yang tidak boleh dijamak. Zuhur dengan Ashar atau sebaliknya, Magrib dengan Isya atau sebaliknya.
Terima kasih perantau
Tempat ziarah di Aceh Singkil penuh. Kompleknya sedang berisi oleh peziarah dengan mobil pribadi. Kami membatalkan ziarah di Singkil itu, lantaran tak ada tempat.
Batal di Singkil, kami istirahat di Kota Subulussalam. Tepatnya di rumah perantau urang awak Sungai Sariak. Rumahnya besar, dan cukup untuk kami serombongan bus pariwisata itu.
Di rumah itu pula kami jamak qasar taakhir Isya dan Magrib. Perjalanan dari Singkil ke Subulussalam, membuat kami sampai tengah malam di kota itu.
Dari Subulussalam, melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh. Ini ziarah warisan yang diangkut Nursyamsu. Ke Barus dan Banda Aceh sekali setahun, tepatnya setiap bulan Rajab.
Ya, Syekh Abdurrauf (1615-1693 M), ulama besar Aceh yang terkenal berpengaruh dalam menyebarkan Islam dan tarekat Syattariyah di Nusantara ini. (ad/red)