Juli 2024, kerusuhan anti-imigran Muslim melanda Kota London. Efek misinformasi yang diciptakan media sosial bisa seburuk itu. (1)
-000-
Ahmad, masih trauma.
Keluarganya dianiaya. Masjidnya diserang massa.
Ia dituduh bagian dari jaringan imigran, parasit, dan pembunuh.
Ia melihat dirinya pohon tua yang terhempas angin sejarah. Tangan-tangan yang gemetar oleh spirit kebencian menebangnya.
Akar kasihnya dianggap ancaman.
Di dalam masjid di Kota London,
Ahmad mencoba mengingat kembali kisah itu.
Di pagi hari, matahari masih bersembunyi,
awan menggantung kelabu, dan waktu terasa sakit.
Southport, sebuah kota kecil di UK, melihat tiga anak tak lagi tertawa.
Pisau menghentikan hidup mereka,
meninggalkan delapan anak lainnya terluka,
dua dewasa terkulai di lantai berdarah.
Jerit memenuhi udara, dan kota itu berubah.
-000-
Siapa tega membunuh anak-anak?
Namun lebih tajam dari pisau itu,
adalah kata-kata yang berlarian di dunia maya.
Nama Ali Al-Shakati, mereka sebut.
Si Ali itu pelaku pembunuh kejam anak-anak.
Ia seorang imigran, Muslim,
yang katanya tiba di London, naik perahu,
melawan ombak, membawa dosa ke tanah ini.
Dari layar-layar kecil handphone, isu menyebar,
kebencian tumpah.
“Ini mereka! Para pencari suaka!”
“Masjid-masjid mereka, sarang kejahatan!”
Teriakan menggema di jalan-jalan,
kaca jendela masjid pecah,
doa berubah jadi ketakutan.
Tapi, siapakah Ali itu?
Tak ada yang namanya Ali Al-Shakati.
Ia hanyalah bayangan,
sebuah kebohongan yang lahir dari algoritma,
dari sebuah situs bernama Channel 3 Now.
Sosok Ali yang viral ini,
tak pernah hadir,
seperti kapal yang tak pernah tiba.
Ali adalah sosok yang dilukis oleh angin,
tak pernah nyata, hanya jejak di pasir.
Ia adalah kapal tanpa pelaut,
yang berlayar di lautan kebohongan.”
Siapa pelaku kriminal yang membunuh anak-anak?
Ternyata pelaku sebenarnya seorang pria kelahiran Cardiff,
Wales, anak tanah ini,
bukan imigran.
Apalagi, bukan Muslim.
Namun kebenaran terlambat datang,
seperti hujan yang turun setelah api memakan segalanya.
-000-
Ahmad, seorang imam muda,
berjalan di reruntuhan mimpi.
Masjidnya sunyi,
jemaatnya bersembunyi.
“Imigran!” mereka teriaki dia,
seakan nama itu dosa yang tak terampuni.
Mata anak-anak Ahmad dipenuhi takut.
Setiap langkah adalah jejak luka,
setiap pintu yang diketuk adalah ancaman,
setiap malam adalah mimpi buruk yang tak usai.
-000-
Media sosial, sang penjaja ilusi,
menjual kebencian demi sebuah klik,
memahat prasangka dengan tangan algoritma,
memecah manusia menjadi potongan-potongan kecil
yang saling menikam dalam gelap.
Namun siapa peduli?
Di belakang layar, mereka hitung uang.
Sementara Ahmad menghitung doa,
dan pecahan kaca di lantai masjidnya.
Ahmad berdiri di mimbar,
matahari kembali menyentuh kota itu.
“Semesta menguji kita,” katanya,
“dengan kebohongan ini, dengan luka ini.”
“Tapi kita takkan menyerah pada kebencian.
Cinta adalah senjata yang mereka tak mengerti.”
Suaranya gemetar,
namun di matanya, ada api yang takkan padam.
-000-
Di Southport, langit mulai biru,
tapi luka Ahmad tetap basah.
Ia berjalan ke taman,
melihat anak-anaknya bermain,
namun selalu ada bayangan:
ketakutan yang menggantung seperti awan abu-abu.
“Sebagai imigran,” katanya pelan,
“aku adalah tamu di rumah mereka,
namun aku tetap luka,
karena dunia lebih percaya pada dusta,
daripada senyumanku.”
Sebagai pendatang Muslim,”Ahmad berbisik,
“aku hanyalah daun yang terbawa angin,
berharap mendarat di tanah yang ramah.
Namun dunia lebih percaya pada bayang-bayang gelap,
daripada benih yang kugenggam.***
London, 8 Januari 2025
CATATAN
(1) Puisi esai ini diinspirasi oleh kisah media sosial yang menciptakan kerusuhan rasial di UK melalui kebohongan:
https://www.bbc.co.uk/news/articles/c5y38gjp4ygo?utm_source=chatgpt.com