Sungguh saya mengagumi puisi Anto Narasoma yang berjudul "Memintal Kehidupan". Terasa sekali bahasanya sederhana tapi lugas menggambarkan suasana batin antara kedua tokoh, Sang Nenek dan Cucu. Dan sejujurnya, saya pun baru mengenal puisi ini Anto Narasoma lewat tayangan media sosial, awal Januari 2025. Padahal, bisa saya pastikan jam terbang berpuisinya sudah panjang dan jauh dia tempuh.
Agaknya memang, akibat keterbatasan informasi, publikasi dan komunikasi saja yang membuat karya sastra dan penyairnya terkesan jadi kurang membumi di tanah air kita, sehingga penyair Indonesia nyaris tak pernah dilirik oleh panita Nobel Sastra di dunia.
Saya suka narasi puisinya yang seperti lukisan realis, tidak terlalu abstrak, sehingga muatan nilai spiritual yang diusung oleh karya Anto Narasoma ini enak dan jelas untuk ditangkap pesan moralbta yang ingin dia sampaikan. Saya kira, warna puisi dan gaya penulisannya yang bersahaja ini dapat dijadikan semacam model bagi kawan-kawan penyair yang masih ingin mencari bentuk dalam proses kreatif menulis puisi atau karya sastra pada umumnya yang tidak cuma untuk berindah- indah semata. Katena itu sata percaya bila pengalaman serta pencercapan batinnya dalam bentuk puisi sudah lebih terang mengarah mendekati genre puisi esai seperti yang dimotori dan digagas Denny JA dan kawan-kawan lewat media sosial dan penerbitan serta beragam acara sastra yang makin memberi harapan bangkitnya gairah sastra -- khususnya dunia kesenian di Indonesia -- yang terkesan lesu mulai tahun 1990-an hingga sekarang, jadi semacam kerakap di atas batu, hidup segan mati pun tak mau.
Penuturan sang Nenek kepada Cucu; sudah Nenek pintal karakter kehidupan yang mewarnai lukisan kau dan aku, ujar sang Nenek, sungguh memberi kesan adanya moral yang termuat dalam puisi ini. Apalagi kemudian dipertegas dengan ; begitu luas kanvas ini, setelah benang-benang putih itu kurajut agar warna kainnya membersihkan kata hatimu.
Artinya, betapa luasnya kanvas yang tidak terbatas itu jelas menggambarkan wilayah moral yang tidak bertepi. Sehingga benang putih yang dirajut merupakan simbolik dari kesucian hati yang harus dibersihkan -- tak hanya dari kata-kata -- karena yang lebih penting pada akhirnya adalah perbuatan nyata yang dapat dirasakan oleh orang banyak.
Begitu juga dari fakta lukisan yang terukur selama filosofi itu menjadi mimpi kita katanya, maka kau dan aku dibatasi ide pelukis yang menjadi kekayaan berlimpah di dalam warna kehidupan kita.
Pada bagian ungkapan terakhir ini, kuat dugaan saya bila Anto Narasoma pun memiliki wawasan dan pengetahuan yang cukup -- agar tak berlebihan untuk dikatakan sangat luas -- tentang filsafat serta esensi dari seni lukisan dengan teknis yang rumit itu telah dikuasainya.
Inilah satu diantara yang meyakinkan saya pengembaraan Anto Narasoma pada ranah kesenian -- kebudayaan -- hingga filsafat sudah cukup jauh dia lakukan. Meski tak mungkin bisa mentok pada ujung perjalanan yang sesungguhnya tidak berujung itu, seperti kaki langit yang jauh di sana.
....Cobalah kau raba cuaca pertemuan klasik yang melingkari pandangan jiwamu lewat alunan perkusi gendang telingamu. Dari penggalan alenia ini kesan dari kayanya makna tentang cuaca -- yang meliputi suasana dan rasa --antara kanvas lukisan yang nyata dengan gambaran yang tersimpan -- tersembunyi hingga tidak bisa dituliskan dengan kata-kata dan tidak mampu dilukis dengan semua warna yang ada -- sungguh kental dan imaginatif sekali ungkapannya sangat sakral dan bernilai spiritual. Maka itu, narasi tentang pertemuan klasik yang melingkari pandangan jiwamu, sungguh menyempurnakan ungkapan kejiwaan yang dapat ditangkap melalui alunan perkusi gendang telinga yang sempurna sebagai pemberian Tuhan. Artinya, kesadaran yang mengendap di dalam jiwa yang hidup, mampu menterjemahkan suara yang bergetar di kedalaman jiwa (hati) yang selalu bersinar. Begitulah pada dasarnya tak ada batas antara kanvas lukisan dengan gambaran yang tersimpan pada kedalaman benakmu, seperti makna dari manunggaling-nya kawulo lan gusti dalam perspektif budaya dan filosofis Jawa yang ditebar oleh Syekh Siti Jenar.
Hingga pada bagian penutup karya puisi penyair yang konon kisahnya berasal-usul dari Palembang ini menggambarkan lukisan kejiwaan Sang Nenek bersama Sang Cucu yang sedang memintal (menenun) selendang putih di hati Sang Cucu agar cahaya ayat-ayat sastra (karya pujangga yang indah dan bermakna) menjadi puisi cinta (yang bermakna mantra) sedalam pikiran (siapa saja) yang tidak terbatas. Persis semacam tafsir dan percercapan saya sebagai penikmat sasta (karya puisi) yang mungkin dia racik sambil menikmati gurihnya empek-empek kapal selam atau martabak Tambi yang cuma ada dan juga populer di kota Palembang. Begitulah saya jadi semakin terkesan, karena karya puisinya ini dia tulis.
pada 12 Januari 2025. Jadi rasanya sungguh sangat gurih dan masih hangat.
Banten, 12 Januari 2025