Kata seorang kawan psikolog, post power syndrome itu adalah penyakit jiwa seorang mantan penguasa, entah dalam bidang apa saja mulai dari level lurah di desa hingga presiden yang mengalami pubertas kedua setelah pernah jatuh cinta pada kekuasaan yang pernah ada dalam pelukan dirinya.
Ibarat kasmaran yang tengah memabukkan, post power syndrome itu relatif sulit diredakan, apalagi hendak disembuhkan. Sebab yang bersangkutan sedang dalam suasana mabuk kepayang terhadap kekuasaan yang pernah dia rasakan sangat nikmat, meski terasa sangat menyakitkan bagi orang lain, utamanya bagi mereka yang merasa tertindas atau dirugikan akibat dari kekuasaannya yang semena-mena, menindas rakyat, merampas hak-hak rakyat dan menjungkir-balikkan tatanan hukum demi dan untuk memenuhi ambisi pribadi maupun hasrat anak dan istri hingga menantunya yang ingin melanggengkan kekuasaan.
Tipologi manusia seperti itu tidak sedikit adanya di Indonesia, hingga semua orang dapat menyaksikan polah tingkah mereka yang sangat norak dan kampungan, tanpa rasa malu, apalagi hanya sekedar untuk mengindahkan ajaran dan tuntunan agama yang telah dijadikan semacam asesoris semata. Seperti gelar bodong dan ibadah yang cuma untuk memanipulasi publik dengan kesan yang baik sebagai manusia yang ingin dianggap patut dan layak dihormati. Padahal, keengganan orang banyak hanya karena kekuasaannya yang despotik, otoriter, culas, licik dan tega menindas rakyat yang lemah.
Lalu penyakit post power syndrome yang membius dirinya itu menandakan kebodohan spiritual yang kering dan dangkal, jauh dari nuansa ketuhanan. Maka itu wajar ideologi yang dituduhkan padanya adalah pengikut partai yang tidak ber-Tuhan. Sebab semua takaran yang diberlakukan hanya material belaka. Dan kekuasaan bagi dirinya nyaris tidak memiliki muatan dimensi ibadah. Jadi sungguh sulit untuk menggarap dari kekuasaan yang dikeloninya itu akan menampilkan pengabdian, pengayoman, perlindungan apalagi pelayanan. Sebab dia sendiri justru sangat mendambakan sekali pelayanan dari masyarakat.
Jadi yang salah adalah persepsi bloko suto dari rakyat yang terbius oleh janji palsu mereka hendak mengayomi, melindungi dan melayani sebagai pelengkap basa-basi saat menerima amanah dari rakyat. Lalu sumpah serta janji yang mengatas namakan Tuhan itu pun, sekedar pelengkap untuk mengelabui rakyat yang dianggap cukup mengkonsumsi janji-janji yang palsu sekalipun. Karena yang penting adalah hembusan angin surga yang menyegarkan.
Begitulah, pada tiga puluh tahun silam lebih telah ditulis puisi esai dengan narasi tragis yang melukiskan kisah perjuangan seorang buruh wanita Indonesia yang perkasa -- Marsinah dari Porong, Sidoarjo, Jawa Timur -- tampa pernah membedakan hak kaum buruh wanita dengan hak kaum buruh laki-laki, tentang janji dan harapan besar telah menggantung wanita itu hingga kuyu layu terkulai tidak kunjung berbuah.
Sebab beban kaum buruh yang tersunggi sangat berat di atas pundaknya harus ditebus dengan penganiayaan hingga kematian yang dianggap banyak orang sia-sia. Setidaknya, pihak pemerintah sendiri tak hendak mengakui Marsinah sebagai pejuang kaum buruh Indonesia yang tewas ditangan aparat pada tahun 1993.
Kasus kematian pejuang kaum buruh yang gigih dan tangguh berjuang hingga akhir hayatnya sampai di liang lahat ini pun menunjukkan post power syndrome yang bisa dianggap lebih santun dari penguasa yang rakus dan tamak tidak hanya dalam arti material, tetapi juga kekuasaan yang tak diusik dan digoyahkan. Begitu juga perilaku degil dari cawe-cawe yang tak kunjung bisa diredakan. Karena sikap serupa itu pertanda dari haus kekuasaan yang tak bisa diredakan. Lantaran dimensi dan frekuensi serta nuansa spiritualitas yang harus mampu mengasuh etika, moral dan akhlak mulia manusia telah tercampak di got atau gorong-gorong yang tak sepantasnya untuk ikut diurusi, karena petugas untuk itu sudah ada, tak patut diambil alih pula, kecuali hanya sekedar untuk sensasional dan pencitraan belaka.
Banten, 3 Januari 2025