“Obsesi untuk sempurna adalah menara tinggi yang megah. Semakin tinggi ia dibangun, semakin mudah ia retak. Semakin bersikeras kita berhasil mencapainya, semakin jauh kita dari hidup yang normal.”
Itulah kesan saya setelah selesai menonton teater di West End London. Sebuah teater musikal yang memukau, dengan musik yang disentuh Elton John, dan koreografi dari James Elsop.
Musik Elton John menghidupkan emosi teater, memadukan melodi megah dan lirik yang menggugah, menciptakan kedalaman setiap adegan.
Koreografi James Elsop mengisi panggung dengan gerakan dinamis dan elegan, menyempurnakan narasi visual yang berdenyut, membawa penonton larut dalam dunia mode yang penuh gairah dan konflik batin.
Penonton penuh. Padahal pentas ini sudah ditampilkan sejak Oktober 2024, tiga bulan lalu. Pentas setiap hari, kapasitas 2000 kursi, selalu tak pernah kosong.
Sebagai penggemar teater yang hidup di Jakarta, saya begitu cemburu dengan London. Setiap malam di London, dipentaskan lebih dari 15 lakon, di lebih dari 15 lokasi.
Lakon di sana bisa pentas dalam waktu sangat panjang. Teater berjudul Mousetrap karya Agatha Christie sudah dipentaskan di sana sejak tahun 1952. Sudah lebih dari 70 tahun, pentas itu berlangsung setiap malam, hanya terhenti di era Covid.
Hal yang sama dengan lakon Mamma Mia, Lion King, Les Misérables, Tina Turner the Musical, The Phantom of the Opera, tetap dimainkan setiap malam, sejak tahun sebelumnya, atau ada yang sejak puluhan tahun lalu.
-000-
Berbeda dengan film berjudul sama, teater soal The Devil Wears Prada: The Musical sangat memanjakan mata dan telinga.
Ini tentang dunia yang berkilauan oleh lampu sorot, gemerlap peragaan busana, dan impian mode. The Devil Wears Prada menghadirkan kisah dua wanita dengan dua karakter. Hidup mereka terjalin di persimpangan ambisi, kekuasaan, dan pencarian makna.
Andrea Sachs dan Miranda Priestly adalah dua kutub yang bertemu. Namun masing-masing mencerminkan sisi yang berbeda dari mimpi manusia. Yang satu kesederhanaan yang ingin bertahan. Yang lain ambisi yang tak kenal batas.
Di balik kain satin dan stiletto, cerita ini mengupas pertanyaan mendalam tentang apa artinya berhasil. Sukses itu apa? Apa pula pengorbanan dalam hidup pribadi yang diminta untuk sukses?
Andrea Sachs, seorang jurnalis muda dengan idealisme tinggi, memulai langkahnya di dunia kerja dengan optimisme sederhana. Ia membayangkan masa depannya di jurnalisme serius, menulis berita yang mengubah dunia.
Namun, kenyataan membawanya ke pintu majalah mode Runway, yang dipimpin oleh Miranda Priestly, sosok legendaris sekaligus menakutkan dalam dunia fashion.
Andrea tidak mengerti dunia ini: baju desainer, kompetisi sengit, dan obsesi akan kesempurnaan. Dengan cardigan sederhana dan sepatu usang, ia adalah anomali di kantor yang hidup dari tampilan.
Miranda Priestly, pemimpin Runway, adalah kebalikan Andrea. Ia elegan, dingin, dan sangat berkuasa. Keputusannya dapat meluncurkan atau menghancurkan karier siapa pun.
Miranda adalah dewi di altar fashion, seorang perfeksionis yang mengorbankan segalanya demi pekerjaannya. Dunia memujanya, tetapi dalam kesempurnaan itu tersimpan tragedi: sebuah kehidupan yang dikendalikan oleh tuntutan kekuasaan.
Andrea, yang memandang dunia Miranda dengan sinis, tidak pernah membayangkan. Pekerjaan sebagai asisten Miranda ternyata mengatur jadwal yang mustahil, menangani panggilan telepon di tengah malam, hingga mencari manuskrip Harry Potter yang belum diterbitkan.
Miranda, dengan suaranya yang rendah dan tegas, menuntut segalanya tanpa sedikit pun penghargaan. “Itu semua harus berhasil,” katanya singkat. Tetapi setiap kata membawa tekanan yang luar biasa.
Di tengah rasa frustrasi, Andrea perlahan mulai berubah. Nigel, direktur mode Runway, membantunya memahami bahwa untuk bertahan, ia harus bermain sesuai aturan Miranda.
Andrea mengganti cardigannya dengan gaun Chanel, sepatu datarnya dengan stiletto Jimmy Choo. Transformasi ini membuatnya lebih diterima, tetapi juga menjauhkan dia dari dirinya sendiri.
Teman-temannya merasa Andrea bukan lagi Andrea yang mereka kenal. Bahkan Nate, kekasihnya, mulai mempertanyakan apakah pekerjaan itu layak mengorbankan hubungan mereka.
Namun, Andrea mulai memahami sisi lain dari Miranda. Di balik dinginnya, Miranda adalah seorang wanita yang berjuang di dunia yang menuntut kesempurnaan tanpa ampun.
Miranda tidak hanya memimpin Runway; ia adalah Runway. Keputusannya melibatkan tekanan luar biasa, dan ia tidak pernah diizinkan untuk gagal.
Andrea melihat sekilas kelembutan dalam Miranda saat rumah tangga Miranda mulai runtuh. Di balik keangkuhannya, ada kesepian yang dalam.
Ambisi Miranda, yang awalnya tampak tanpa cela, memiliki harga. Hubungannya dengan suaminya hancur, dan ia terus mempertahankan reputasinya dengan mengorbankan apa pun, termasuk perasaannya.
Miranda adalah contoh dari seseorang yang “berhasil,” tetapi dengan kehilangan bagian penting dari dirinya sendiri. Andrea melihat apa yang bisa terjadi jika ia terus berjalan di jalan ini.
-000-
Puncak cerita terjadi di Paris, di mana Andrea menemani Miranda untuk acara mode terbesar tahun ini. Di sini, Andrea melihat puncak kekuasaan Miranda, tetapi juga tragedinya.
Miranda dengan licik mempertahankan posisinya di tengah ancaman kudeta dalam dunia mode. Andrea menyadari bahwa meskipun Miranda terlihat tak terkalahkan, ia sebenarnya rentan dan terus-menerus bertarung untuk bertahan.
Namun, momen kunci terjadi ketika Miranda, dengan nada yang hampir melankolis, menyamakan Andrea dengan dirinya. “Kau sama seperti aku,” katanya.
Andrea, yang selama ini berusaha untuk membuktikan dirinya, tiba-tiba melihat masa depannya dalam bayangan Miranda: kesuksesan yang datang dengan kehilangan jati diri.
Andrea memutuskan untuk pergi. Ia meninggalkan dunia Runway yang glamor, meninggalkan pekerjaan yang “jika kau bertahan setahun, kau bisa bekerja di mana saja.”
Keputusan itu bukanlah pelarian. Itu adalah klaim atas dirinya sendiri. Andrea memilih untuk kembali ke impian awalnya sebagai jurnalis yang menulis dari hati, bukan dari tuntutan dunia mode.
-000-
Pelajaran dari Dua Dunia
Andrea dan Miranda adalah dua sisi dari koin yang sama. Miranda adalah refleksi ekstrem dari ambisi, seorang wanita yang mengorbankan segalanya demi kekuasaan dan pengaruh.
Andrea adalah jiwa yang mencari keseimbangan, belajar bahwa kesuksesan tidak berarti apa-apa jika ia kehilangan siapa dirinya.
Miranda tidak berubah; ia tetap Miranda, dingin dan tak kenal ampun. Tetapi Andrea berubah, menemukan bahwa kesuksesan sejati adalah hidup dengan nilai-nilai yang selaras dengan jiwanya.
Teater ini bukan hanya tentang dunia mode. Ini adalah alegori tentang kompromi, pilihan, dan harga ambisi.
Dalam setiap langkah hidup, kita semua, seperti Andrea, harus memilih: Apakah kita akan mengikuti jalan orang lain atau membuat jalan kita sendiri?
The Devil Wears Prada mengajarkan bahwa sukses itu perjalanan pribadi. Miranda dan Andrea menjadi dua pelajaran besar: bagaimana mencapai puncak, dan bagaimana memilih untuk tidak terjebak di dalamnya.
Andrea memilih jiwanya, tetapi ia tidak akan pernah melupakan Miranda. Karena di balik tirai tebal ambisi, Miranda adalah peringatan sekaligus inspirasi.
Andrea meninggalkan dunia mode, tetapi ia membawa pelajaran terbesar dari Miranda. Tak ada kesempurnaan tanpa pengorbanan. Setiap orang harus menentukan pengorbanan apa yang bersedia mereka ambil untuk mengejar mimpi.
Saya dan rombongan keluar dari teater, kembali ke hotel. Tapi bayangan obsesi Miranda akan kesempurnaan, dan pilihan Andrea ke jati dirinya sendiri, terus mengikuti, berputar-putar di pikiran.
Menonton teater yang bagus selalu menjadi renungan hidup. “Teater adalah cermin jiwa yang menjelajah. Dalam panggungnya yang intim, emosi menjadi nyata, konflik menjadi refleksi.”
Tidak seperti film yang hadir di layar, atau novel yang mendalam di kata, teater adalah momen “here and now.”
Setiap napas aktor dan tatapan penonton bersatu, menciptakan keajaiban yang hanya terjadi sekali.
Memang tetap bisa diberikan kritik pada teater ini. Meski memukau secara visual, musikal ini kadang terlalu terpaku pada glamor permukaan, mengorbankan kedalaman emosional karakter.
Transformasi Andrea terasa tergesa-gesa, sementara Miranda kehilangan kompleksitas psikologisnya.
Pesan moralnya kuat, namun keindahan panggung terkadang menyelubungi cerita yang seharusnya menggugah jiwa lebih dalam.
Namun di teater itu, sosok Miranda mewakili obsesi menjadi sempurna, permata yang tersembunyi dalam kegelapan. Untuk menemukannya, kita kadang harus rela kehilangan cahaya yang kita genggam.
Kita teringat Alfred Adler soal inferiority Complex. Menurutnya, perfeksionisme justru sering muncul dari inferiority complex, rasa kurang berharga yang mendorong seseorang untuk membuktikan dirinya. (1)
Namun, obsesi terhadap kesempurnaan dapat mengorbankan keseimbangan hidup. Perfeksionis berisiko menghadapi kecemasan tinggi, kelelahan emosional, dan alienasi dari hubungan yang bermakna.
Ini harga mahal demi ilusi kontrol absolut itu.
“Kesempurnaan adalah api yang tak pernah padam. Ia memberi cahaya, tetapi perlahan membakar, hingga yang tersisa hanya abu dari kehidupan yang seharusnya dinikmati.”***
London, 9 Januari 2025
REFERENSI
1. Keinginan sempurna justru acapkali lahir dari perasaan inferiority complex (Alfred Adler): Alfred Adler's Personality Theory | Complexes & Examples - Study.com