Tadinya saya membayangkan Majalah Potret tidak saja merekam wajah nyata dari apa yang tampak, tapi juga dari sesuatu yang abstrak, tak terlihat oleh kasat mata seperti suasana kebatinan atau laku spiritualitas manusia yang asyik mendekati Tuhan. Suasana kebatinan itu yang lebih sederhana bagi saya sama dengan uniknya potret yang merekam suatu kejadian atau peristiwa yang langka seperti banjir bandang yang mendadak datang. Atau suatu insiden yang berlangsung sesaat, tanpa bisa direka ulang.
Yang paling sederhana misalnya semacam peristiwa 30-an tahun silam ketika satu uni kendaraan pengangkut bahan bakar minyak terbakar persis di atas jembatan panjang yang begitu cepat apinya berkobar. Tetapi sang sopir tetap sadar dan tenang untuk meneruskan laju kendaraan yang dikendalikannya untuk melintas di jembatan yang sangat vital itu, bila sampai ikut melengkung atau terpatah dan amblas ke dalam sungai yang luas dan deras.
Seorang kawan jurnalis yang jauh berada di kota usai mendapat kabar adanya kendaraan pengangkut bahan bakar minyak yang meletup di ujung jembatan itu akibat tersulut api yang entah berantah asal muasalnya. Sekitar tiga puluh menit kemudian baru sang jurnalis yang tangguh itu sampai di tempat kejadian. Tentu saja letupan kendaraan pengangkut bahan bakar minyak itu sudah mulai mereda. Tinggal tersisa sebagian dari kerangka kendaraan itu mengeluarkan api-api kecil seperti sudah lelah melantak habis kendaraan pengangkut bahan bakar minyak itu yang teronggok seakan tak lagi berdaya.
Cerita sang jurnalis yang terlambat beberapa menit saja itu, tentu saja cuma tetap perlu mengabadikan gambar kendaraan yang menjadi arang di ujung jembatan yang juga nyaris ikut menjadi korban.
Namun naluri investigasi sang jurnalis yang sudah menjulang tinggi sinyal penangkapan insting investigasinya itu terus berupaya menghimpun informasi dari masyarakat sekitar yang ikut menjadi saksi kejadian. Dari seorang penduduk setempat, dia bercerita ada tukang potret di kampung itu yang sempat mengabadikan peristiwa kebakaran itu sejak awal hingga riwayat kendaraan itu tamat dilumat api yang membara layak ingin membakar langit saat bahan bakar minyak itu muncrat -- neledak -- akibat tersulut api yang panas.
Intinya dari insting investigasi sang jurnalis yang tak mengenal menyerah ini dia bisa mendapatkan dokumen terbaik dari tukang foto profesional yang ada di kampung kejadian itu terjadi. Sehingga untuk sajian jurnalistik karya yang dia peroleh dari dokumen fotografer kelas kampung itu menjadi penghias head line yang lengkap dan top news dalam sajian untuk pembacanya ketika itu.
Begitulah saya membayangkan sajian kawan-kawan dari Majalah Potret yang tetap gigih menyajikan menunya kepada publik melalui foto atau potret yang bagi saya menjadi semacam ungkapan dari profesi yang sakral penuh nilai-nilai spiritual. Sebab sebuah potret -- tanpa kata-kata pun -- bisa mengungkap kedalaman beragam makna tak hanya sebatas gambar yang terlihat, tetapi juga mampu menghantar imajinasi mengembara jauh ke suatu masa, atau sebuah peristiwa serta nilai-nilai sejarah setelah puluhan tahun foto itu kembali dipandang untuk dikenang.
Sebuah potret semasa kuliah 40 tahun silam saja, nilai sakralnya nyaris setara dengan ornamen batu pahat di sebuah candi yang usianya sudah ratusan tahun itu. Jadi seni potret bisa menjadi dokumen sejarah yang bercerita sendiri tanpa teks. Maka itu, kepiawaian sang kreator -- fotographer -- sungguh tidak kalah unggul dari jurnalis yang cuma mengandalkan karya tulusnya.
Saya kira begitulah bayangan saya tentang sosok-sosok kawan di redaksi Majalah Potret, mungkin wajahnya sendiri pun jarang dipotret. Tapi saya tetap berdoa: Semoga kawan-kawan di Majalah Potret tetap gigih dan bangga untuk terus berkarya. Sebab dunia tanpa potret akan lebih sulit untuk dijelajahi dalam imajinasi. Lebih dari itu, Majalah Potret pun penting dan perlu untuk melihat Wajah Batin dan spiritualitas diri kita yang sesungguhnya.
Banten, 9 Januari 2025