Korupsi itu cara tercepat untuk kaya, meski resikonya cukup gawat, sebab bukan hanya mempertaruhkan nama dan reputasi yang baik, tapi juga jabatan yang sedang digenggam bisa copot dan diambil alih oleh pejabat lainnya. Dan kepada yang bersangkutan tidak hanya akan dipecat, tapi ajan menghadapi ganjaran hukuman yang berat. Jadi korupsi itu -- yang dominan dikakukan oleh pejabat publik -- pada dasarnya adalah menyalahgunakan wewenang, atau ikut nimbrung dalam satu komplotan koruptor yang ada di instansi atau lembaga pemerintah.
Pendek kata, mereka yang ada di eksekutif, legislatif dan yudikatif sangat rentan dan gampang melakukan penyelewengan, manipulasi dan persekongkolan yang intinya ngentit sumber dana negara yang dikumpulkan dari duit rakyat, atau melakukan persekongkolan jahat mengkomersialkan kebijakan putusan, baik tentang putusan hukum dan perundang-undangan yang dipesan, atau menggelembungkan nilai anggaran belanja diatas harga pasar. Seperti melakukan impor bahan pangan yang tidak masuk akal hingga membuat petani seperti kerakap di atas bata. Hidup segan mati pun tak mau.
Sogok menyogok itu pun intinya dalah penyalahgunaan wewenang dengan memberi jalan pintas tentang perijinan, hingga memperingan hukuman atau memberi kebebasan kepada pelaku kejahatan saat menjalani masa tahanannya.
Kemudahan yang diperjual-belikan itu, bukan saja terhadap barang mewah yang diberi kebebasan pajak -- untuk dikantongi secara pribadi oleh oknum tertentu atau secara bersama dengan komplotan atau sindikatnya. Seperti narkoba yang tidak masuk akal bisa beredar banyak di tengah masyarakat. Dan dari para penggunanya pun bisa dijadikan sapi perahan oleh oknum tertentu yang ikut mengambil kesempatan dalam keterjepitan pengguna, apalagi bandar pengedarnya.
Bayangkan saja untuk ko masalah narkoba ini, pemerintah sampai menganggap penting dan perlu adanya Badan Narkotika Nasional (BNN) sebuah lembaga pemerintah non kementerian yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden melalui Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Resminya keberadaan lembaga non kementerian ini sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) salah satu lembaga negara untuk memberantas tindak pidana korupsi. Dan dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpegang pada lima asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas.
Pertanggung jawaban KPK yang pertama adalah kepada publik dengan laporan yang disampaikan secara terbuka. Lalu secara berkala kepada Presiden, DPR RI serta Badan Pemeriksa Keuangan. Lalu mengapa sanksi hukum terhadap koruptor dan pengedar narkoba tidak dikenakan hukuman mati. Sementara akibat dari perilaku jahat yang telah mereka lakukan sudah terbukti membuat rakyat semakin sengsara dan menderita. Yang jelas dan pasti, koruptor dan bandar narkoba itu sama dengan pengkhianat bangsa dan negara yang tidak pantas untuk dimaafkan.
Setidaknya, masalah korupsi dan sindikat peredaran narkoba sama gawatnya untuk dihadapi oleh negara. Jadi kalau upaya mengatasinya tidak serius, memang bisa terus berkepanjangan dan menimbulkan keresahan yang berujung kegaduhan. Apalagi pada waktu terakhir ini semakin banyak aparat yang terlibat dan sudah terjerat. Artinya, masalah korupsi dan narkoba harus lebih serius ditangani dengan ancaman hukum mati. Supaya dapat menimbulkan efek takut bagi calon pelaku berikutnya. Maka itu, rakyat pantas marah akibat putusan hakim terhadap koruptor yang dijatuhi sanksi hukuman sangat ringan itu. Karena artinya sangat melukai hati dan rasa keadilan yang harus ditegakkan di negeri ini. Dan kepada hakim yang bersangkutan patut diduga telah menerima suap serta perlu segera diperiksa oleh Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang dibentuk oleh Mahkamah Agung (MA) bersama Komisi Yudisial (KY) yang berwenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang culas.
Banten, 4 Januari 2025