Apakah masih perlu bukti bila pengakuan dari masyarakat sudah final diberikan. Itulah sebabnya hukum jadi selalu dirasakan tidak adil untuk menegakkan rasa keadilan. Sebab sebelum ada bukti, maka anggapan tidak bersalah kepada orang yang bersangkutan -- meski telah jelas melakukan tindak kejahatan -- tetap saja ngotot tidak bersalah dan minta bukti dari kesalahan yang telah dia lakukan.
Masalahnya bagi warga masyarakat, bukti itu tidak penting, tapi perilaku dan perbuatannya sudah lebih dari cukup untuk menentukan sikapnya terhadap perilaku jahat yang masih diminta untuk dibuktikan itu. Ikhwal kisah non viral no justice itu salah satu dari fenomena hukum yang cenderung adu kuat kelantangan suara keras yang harus diteriakkan. Jadi, kalau ada tidak berteriak saat diinjak oleh seorang aparat yang zalim, maka anda tidak bisa dianggap orang yang telah teraniaya atau dizalimi oleh aparat yang bersangkutan.
Sama halnya dengan saling gertak dalam faksun politik di Indonesia yang semakin fulgar dengan pamer seabrek dokumen skandal para pejabat, itu semacam ancang-ancang untuk bargaining dalam bentuk tukar-guling kasus semata. Sementara rakyat di pihak lain tetap saja dirugikan dari kasus yang diendapkan itu, karena tidak dibuka kepada publik. Jadi, untuk kesekian kalinya telah terjadi perselingkuhan yang telah merugikan rakyat.
Lalu bisakah dibalik penyembunyian masalah skandal ini dapat dikenakan delik hukum yang menjerat mereka sebagai pelaku penyembunyian kesalahan dan keculasan orang lain yang telah merugikan rakyat ?
Jawabannya jelas, tidak mungkin karena mereka yang bertikai itu adalah gajah dan badak-- untuk tidak menggunakan istilah banteng -- yang memiliki kekebalan hukum yang setara. Dan rakyat -- seperti pelanduk -- terhimpit ditengah perkelahian yang lebih banyak menyasar kepada rakyat yang terluka lebih banyak dari mereka sebagai pelaku dari pertarungan yang tidak ada urusannya dengan rakyat.
Siaran pers tentang pemenang penghargaan Person of Year 2024 yang memposisikan Bashar Al-Assad, mantan Presiden Suriah dan mencatat pula Joko Widodo sebagai nominasi di dalamnya sungguh menggambarkan preseden buruk dari situasi demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, seperti dicatat YLBHI (Yayasan Lembaga Hukum Indonesia) yang memandang bahwa label tokoh paling koruptif sepanjang tahun 2024 yang dirilis Organized Crime and Corruption Reporting (OCCRP) berdasarkan poling (pendapat) umum yang memang tidak dilandasi oleh hukum, tetapi secara moral pendapat itu adalah pendapat dan penilaian dari orang banyak.
Lantas bisakah hasil sekumpulan pendapat umum itu dikenakan delik hukum, jawabannya yang pasti sulit diterima akal. Kecuali para pakar hukum bisa membuktikan pelanggaran poling OCCRP itu memiliki pelanggaran terhadap pasal hukum yang bisa dituduhkan. Isyarat dari Peter F. Gonta pun yang mengecam media Singapura menyebut Joko Widodo Tokoh Korup Dunia, mendesak pemerintah Indonesia untuk menanggapinya. Arti kata, dibalik seteru masalah stempel Presiden terkorup di dunia ini adalah masalah pemberitaan pers semata. Bukan masalah hukum lantaran terkait dengan etika, moral dan akhlak mulia manusia yang menyimpang dalam anggapan orang banyak.
Artinya, anggapan dari orang banyak itu yang menjadi pokok persoalan, apakah sungguh bisa dibenarkan atau tidak. Setidaknya, mengenai masalah pemberitaan seperti yang dilansir OCCRP maupun media dari Singapura itu, masuk dalam ranah etik profesi jurnalis internasional maupun nasional. Jadi, adakah masalah pendapat umum tidak boleh disiarkan atau bisa dikenakan delik etik jurnalis. Atau dijerat oleh UU ITE ?
Maka masalah dari pangkal soal tentang fakta hukum dan fakta sosial memang tidak bisa dipaksakan untuk sama artinya. Fakta hukum tidak selalu bisa menggambarkan kondisi yang sesungguhnya terjadi dan dialami serta dirasakan oleh masyarakat. Apalagi hanya sekedar emosi dalam keberpihakan -- entah dalam bentuk apa saja -- yang ada di luar kejujuran serta hati nurani yang sesungguhnya. Maka itu fakta hukum dan pengakuan publik terhadap suatu citra tokoh yang dianggap buruk wajar saja beredar diantara gerundelan hukum yang selalu berdalih tentang perlunya data dan fakta. Sebab realitas yang menghujam hati nurani masyarakat pun tidak ada bukti dan datanya yang nyata. Karena hanya bersemayam dalam hati dan dada yang menyesakkan. Seperti realitas dari pengalaman spiritual yang cuma cukup untuk dinikmati saja.
Teluk Naga, 8 Januari 2025
Catatan kaki :
Paparan ini ditulis seusai menyaksikan deklarasi dan unjuk rasa yang dikoordinasi oleh GRAO (Gerakan Rakyat Anti Oligarki) di Desa Kramat Sukawali, Tangerang, Banten, 8 Januari 2025. ***