Ilustrasi |
Witing tresno jalaran soko kulino. Pepatah Jawa yang artinya, cinta tumbuh karena terbiasa. Maknanya bahwa rasa suka atau minat seseorang akan muncul dengan sendirinya karena pembiasaan. Meski sebagian orang tidak percaya dengan pepatah Jawa tersebut, tetapi bagi Rizal Afrizal tidak bisa menolaknya. Di benak Rizal -panggilan Rizal Afrizal- awalnya tak pernah ada rasa cinta terhadap pemilik warung makan Suka Mampir. Sebab usia pemilik warung berbeda jauh di atas usia Rizal. Apa alasan Rizal setiap hari makan di warung itu? Semata-mata karena merasa cocok dengan masakannya. Masakan warung Suka Mampir terkenal enak, menunya bervariasi, dan tempatnya nyaman, selain itu pelayannya ramah berwajah ayu. Sehingga tak heran bila setiap hari banyak pelanggan yang berdatangan, termasuk Rizal.
Pemilik warung makan Suka Mampir bernama Wiwin Winarsih -dipanggil Wiwin. Rizal merupakan salah seorang pelanggan warung Suka Mampir. Hampir setiap hari Rizal makan di warung itu karena tokonya saling berdekatan. Keduanya sering berjumpa di warung sehingga diam-diam Wiwin menaruh hati kepada Rizal. Ia tertarik Rizal bukan sekedar ketampanannya tetapi juga karena kegigihannya. Walau usianya masih tergolomg muda, sekitar dua puluh lima tahun, tetapi Rizal sudah sukses mengelola tambak udang di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung dan memiliki toko onderdil sepeda motor di Way Abung, Lampung Utara.
Pada suatu pagi hari kedatangan Rizal di warung makan mendapat perhatian khusus dari Wiwin. Wiwin mendekati meja tempat duduk Rizal, sembari mengatakan kalau dirinya membikin masakan spesial untuknya. Dengan sedikit malu-malu Rizal menikmati masakan Wiwin sembari menyanjungnya. Hari-hari berikutnya Wiwin sering mencuri hati Rizal. Ada saja yang ia lakukan untuk mencari perhatian, seperti membuatkan minuman khusus, menyediakan buah khusus buat Rizal dan sejenisnya. Tetapi Rizal menyikapi dengan cara yang tak berlebihan, meski dalam hati kecilnya merasakan riak-riak cinta itu mulai tersemai.
Sebelum mengenal Rizal, Wiwin sempat mendapat perhatian khusus dari Sambodo, salah seorang pelanggan warung makan Suka Mampir. Bahkan Sambodo sempat beberapa kali mengajak rekreasi Wiwin ke beberapa tempat wisata di daerah Lampung. Seperti di Danau Way Jepara, di Bendungan Way Rarem, Kotabumi, dan di pantai Kotaagung. Belakangan Wiwin mengetahui kalau Sambodo ternyata sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Melihat hal itu Wiwin mulai menjaga jarak dan akhirnya secara tegas menolak ketika Sambodo ingin melamarnya. Dalam hati Wiwin sempat bersumpah terhadap dirinya sendiri, tidak akan mau bila hanya untuk dimadu.
“Saya memang sudah berkeluarga Win, tapi tetap akan bertanggungjawab terhadap masa depanmu,” ujar Sambado merayu.
“Jangan Mas, lebih baik saya hidup sendiri daripada dijadikan isteri kedua,” tolak Wiwin tegas.
“Apa Wiwin tidak percaya kalau saya mampu menghidupi dua isteri?”
“Bukan masalah tidak percaya Mas, tetapi saya sebagai wanita lebih memahami terhadap perasaan seorang isteri, bila lelakinya bersikap mendua. Itu lebih menyakitkan!” sanggah Wiwin.
“Kalo Wiwin bersedia menjadi isteriku, akan saya bangunkan rumah khusus buat kamu. Jadi besok Wiwin tinggal di rumah sendiri dan tak ada orang yang akan berani mengganggu,” desak Sambodo.
Secara finansial Sambodo memang lebih dari cukup, untuk membangunkan sebuah rumah buat Wiwin karena profesinya sebagai kontraktor yang tergolong sukses di Kotabumi, Lampung.
“Sudahlah Mas, urungkan saja niatmu itu, kembalilah pada anak dan isterimu. Tak perlu kau khawatirkan aku, karena aku sudah memiliki usaha yang bisa untuk menghidupi diri saya sendiri,” tolak Wiwin tegas.
Meski cintanya ditolak, Sambodo tidak mudah menyerah, justru berupaya terus mencari cara untuk menaklukkan hati Wiwin. Bahkan setiap ada kesempatan ia mengunjungi warung makan Suka Mampir milik Wiwin. Sambodo menyukai Wiwin karena wanita yang satu ini memiliki beberapa kelebihan. Yakni pandai memasak, parasnya ayu, serta berhati lembut. Namun Wiwin terus berusaha menjaga jarak, karena tidak ingin merusak keluarga orang lain. Sebagaimana dirinya sendiri yang juga tak ingin disakiti oleh lelaki lain.
Warung makan Wiwin berkembang pesat, yang semula hanya memiliki seorang pembantu kini menambah dua orang chef dan seorang cleaning service. Maka pantaslah kalau warung tersebut kemudian disebut sebagai rumah makan. Ruangan untuk para pengunjung sudah diperlebar, cukup representatif.
Baru saja di sebelah kanan warung dibangun sebuah musola. Kemudian penambahan satu kamar mandi dan empat kamar kecil. Di bagian halamannya dilengkapi beberapa fasilitas untuk bermain anak-anak. Begitu juga di bagian teras depan dan samping warung, telah ditanami berbagai jenis tanaman bunga. Sehingga tempak lebih asri, nyaman untuk santai sembari menikmati berbagai minuman serta menu-menu menarik yang disajikan.
Suasana nyaman di RM Suka Mampir membuat para pelanggan termasuk Rizal semakin kerasan. Terutama pada saat sarapan pagi hari dan makan siang, Rizal selalu ada di sana. Kenyamanan Rizal di rumah makan itu semakin lengkap karena selalu mendapat perhatian hangat dari Wiwin. Senyum manis Wiwin sering diumbar di hadapan Rizal. Tetapi Rizal terkadang merasa malu walau akhirnya membalas dengan senyuman juga.
“Mas Rizal saya bikinin kopi panas ya, atau jus alpukat.”
“Emm … boleh jus alpukat tapi esnya sedikit aja ya.”
Selesai membuatkan jus alpukat Wiwin langsung mengantarkan sendiri di meja Rizal. Wiwin nampak salah tingkah mencari perhatian saat menatap wajah Rizal, sembari mengigit bibirnya bagian atas. Senyum Wiwin merekah sehingga nampak sedidit gigi gingsulnya. Rizal pun membalas dengan senyuman. Dua insan saling berpandang, dua hati saling bertaut. Siang itu Rizal merasa mendapatkan perhatian istimewa yang selama ini belum pernah ia rasakan.
Setiap kali Rizal datang di RM Suka Mampir, Wiwin selalu mencari perhatian. Ada-ada saja bahan obrolan yang disampaikan kepada Rizal. Bahkan terkadang Wiwin tak mempedulikan pada karyawannya yang sempat menyaksikan. Wiwin benar-benar jatuh hati pada Rizal. Sebagai lelaki Rizal mengerti gelagat isi hati Wiwin yang sebenarnya. Namun Rizal menanggapinya dengan tenang dan penuh pertimbangan. Salah satu yang menjadi pertimbangan, karena Rizal telah mengetahui usia Wiwin lebih tua enam tahun di atas usia dirinya.
Sebagai pemuda lajang asli Lampung Rizal termasuk gigih dalam bekerja. Ia memiliki beberapa hektar tambak udang di Tulang Bawang dan toko onderdil sepeda motor yang letaknya tidak jauh dari RM Suka Mampir. Sehingga hampir setiap hari ia bisa makan di rumah makan yang menjadi idolanya, sekalian untuk bertemu dengan Wiwin.
Meski keduanya sudah saling akrab, sering bertemu dan bercanda, Rizal belum berani berterus terang untuk menyatakan cintanya kepada Wiwin. Rizal masih mencari waktu yang tepat untuk membicarakan rencana masa depannya dengan kedua orang tuanya.
“Menurut Rizal sendiri selama ini bagaimana, apakah wanita yang kau katakan itu menunjukkan sikap yang baik?” tanya ibu Rizal ketika bertemu dalam acara keluarga.
“Selama dua tahun kami saling berhubungan tidak ada masalah, Bu.”
“Terus keluarganya bagaimana?”
“Saya belum pernah bertemu dengan keluarga Wiwin, karena keluarganya ada di Madiun Jawa Timur, Bu.”
“Kalau Ibu dan Bapak menyetujui hubungan kami, suatu saat nanti kami akan merencanakan untuk bersilaturahmi ke rumah orang tua Wiwin di Madiun.”
“Pikirkan masak-masak dulu, Rizal tadi bilang usiamu terpaut enam tahun lebih muda. Jangan sampai di kemudian hari nanti kamu menyesal,” arahan Ayah Rizal terdengar bijak.
“Iya Pak, semua itu sudah kami pertimbangkan, bagi saya perbedaan usia tidak masalah.”
“Kalau hatimu sudah cocok dan di antara kalian sudah bisa saling menerima, kami sebagai orang tua pasti merestui.”
“Terima kasih Pak, Bu. Saya mohon doa agar rencana kami mendapat ridlo dari Allah.”
“Semoga kalian berdua ke depan nanti bisa membangun keluarga yang sakinah, mawadah warohmah,” doa ibu Rizal.
Hati Rizal merasa lega setelah kedua orang tuanya menyetujui rencananya. Selanjutnya tinggal mencari waktu yang tepat untuk menembak hati Wiwin. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Rizal bermaksud makan pagi di RM Suka Mampir. Kali ini ada perasaan yang berbeda dalam benak Rizal. Ketika melihat Wiwin pikiran Rizal mulai bergejolak. Senyum manis Wiwin menyambut kedatangan Rizal pagi itu. Semula Rizal ingin mengungkapkan isi hatinya, tetapi ada keraguan, takut kalau cintanya ditolak. Akhirnya pagi itu Rizal mengurungkan niatnya, ia berpikir lebih baik keinginannya diutarakan nanti setelah makan siang saja.
“Mas Rizal, nanti jangan lupa makan siang di sini ya, saya masakkan gurami bakar bumbu kecap lada hitam, pasti sedap!” ujar Wiwin manja.
“Oke, nanti siang saya ke sini tapi agak telat. Sekitar pukul dua baru ke sini, kebetulan ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.”
“Benar ya Mas, saya tunggu jangan bohong ya,” pinta Wiwin sembari tersenyum.
Waktu yang ditunggu-tunggu sudah tiba, Wiwin sudah tidak sabar lagi, beberapa kali memandangi jarum jam yang ada di dinding. Tak lama kemudian Rizal memasuki rumah makan melalui pintu samping. Setelah beberapa saat Rizal duduk di dekat meja makan, kemudian Wiwin mendekatinya.
“Mas Rizal ingin minum apa, yang hangat apa yang dingin.”
“Saya pengin teh manis panas, ya.”
“Baik Mas tunggu sebentar ya biar aku sendiri yang buatin.”
Wiwin pun memenuhi janjinya, setelah menyajikan segelas teh panas dilanjutkan dengan menghidangkan gurami bakar bumbu kecap lada hitam. Tanpa basa-basi Rizal segera menikmati masakan Wiwin dengan lahap. Sembari duduk mendampingi Rizal, Wiwin berbisik menanyakan janji Rizal pagi tadi.
“Mas Rizal tadi pagi janji mau menyampaikan sesuatu buat saya, sekarang saya ingin jadi pendengar setia, ya.”
“Sebenarnya saya merasa berat dan malu untuk menyampaikan pada Mbak Wiwin.”
“Panggil saya Wiwin, atau Dik Wiwin aja,” tukas Wiwin memotong pembicaraan Rizal.
“Baik kalau begitu aku panggil Wiwin, ya?”
“Nah … gitu kan enak dengarnya.”
“Sorry, to the poin saja, ini perkara orang dewasa. Wiwin sudah ada yang memiliki belum?”
“Ya sudah dong Mas, aku miliknya Bapak dan Ibu.” Pura-pura Wiwin tak tahu maksud pertanyaan Rizal.
“Emmm … maksudku sudah punya suami apa belum ?”
“Dulu sudah pernah bersuami, tapi baru satu tahun berlangsung Tuhan menghendaki lain.”
“Maaf, meninggal maksudmu, Win?”
“Betul Mas, dan sampai sekarang sudah tiga tahun berlalu saya single parent, tapi belum punya anak, Mas.”
Pembicaraan mereka semakin akrab.
“Maaf kalau begitu, saya turut berduka atas meninggalnya suamimu.”
“Terima kasih Mas, kini saya merasa mendapat support dari Mas Rizal.”
Sambil menikmati gurami bakar masakan Wiwin, Rizal melanjutkan pembicaraannya.
“Mungkin Wiwin selama ini sudah punya calon pendamping?”
“Aku bicara jujur ya Mas, dulu ada lelaki yang menyukai saya. Tetapi belakangan saya tahu dia sudah memiliki anak dan isteri, akhirnya saya minta putus saja. Terus terang saya tidak suka kalau dimadu.”
“Maaf jangan marah ya, apakah Wiwin bersedia bila suatu saat nanti membangun rumah tangga bersama saya?”
Mendengar pertanyaan Rizal, Wiwin seakan tidak percaya dan merasa tersanjung, hatinya pun menjadi berbunga-bunga. Merasakan pendekatan yang selama ini ia lakukan ternyata tidak sia-sia. Setelah memandangi wajah Rizal spontan wiwin menggenggam erat kedua tangan Rizal, begitu juga Rizal menyambutnya dengan hangat. Beberapa saat kemudian kedua insan itu saling bertatap pandang. Tak mampu menahan perasaan haru Wiwin meneteskan air mata bahagia. Keduanya mengucapkan janji setia untuk membangun mahligai cinta.
Hari-hari berikutnya hubungan Rizal dengan Wiwin tampak semakin mesra. Beberapa bulan setelah mereka mengucapkan janji setia, Rizal ingin bertemu empat mata di rumah makan yang sama. Kali ini mereka sepakat ketemuan pada malam hari setelah rumah makan tutup. Maksud Rizal agar pembicaraan lebih leluasa dan fokus, tidak terganggu oleh para pelanggan.
Obrolan Rizal dan Wiwin malam itu intinya mereka sepakat menentukan waktu untuk mengunjungi orang tua Wiwin yang ada di Madiun. Rizal menginginkan silaturahmi untuk mengetahui kondisi keluarga Wiwin di Madiun.
“Dari Way Abung kita bermalam dulu di Pelabuhan Panjang ya Mas, paginya kita menyeberang dengan kapal fery,” pinta Wiwin.
“Kenapa mesti bermalam di Pelabuhan Panjang, Win?”
“Saya punya teman di sana dan kebetulan sudah cukup lama tidak ketemuan, kemarin saya sudah kontak lewat WA.”
“Baik kalau begitu saya akan pesan tiket feri kelas satu melalui onlin, sekaligus memastikan memilih jam keberangatan kapal,” tegas Rizal.
Untuk persiapan pulang beberapa hari ke Jawa, Wiwin sudah mengatur tugas masing-masing karyawannya. Begitu juga Rizal, memberi tugas para karyawan tambak udangnya dan menutup untuk beberapa hari toko onderdil sepeda motor miliknya.
Sore itu suasana langit di atas Pelabuhan Panjang-Bandar Lampung, nampak cerah. Semburat sinar mentari senja berwarna jingga menarik memesona. Dari perbukitan nampak ombak menyapu pantai. Ratusan perahu-perahu kecil dan kapal berukuran besar bersandar di Pelabuhan Panjang. Dalam perjalanan Rizal dan Wiwin sempat menikmati udara sore di Pelabuhan Panjang, sebelum sebentar kemudian mereka sampai di rumah teman Wiwin. Kebetulan rumah teman Wiwin ada di lereng bukit Panjang, sehingga ketika malam tiba Rizal dan Wiwin bisa menyaksikan indahnya pelabuhan Panjang.
Saat senja tampak berkerlip lampu-lampu kapal di tengah samudra sejauh mata memandang. Ketika malam tiba mereka memadu kasih, saling mencurahkan isi hatinya. Saling bercanda disertai gelak dan tawa. Dalam kesempatan itu Wiwin sempat menanyakan soal perbedaan usianya. Tetapi Rizal tidak mempermasalahkannya. Peluk cium dan dekapan Rizal malam itu benar-benar membuat Wiwin seakan lupa segalanya. Malam makin larut, dua insan yang sedang dimabuk asmara itu mulai beringsut pergi.
Dengan langkah pelan, mereka erat bergandeng tangan memasuki kamar tidur berdua. Setelah merebahkan raganya Rizal berbisik pada Wiwin. “Besok setelah sampai di Madiun dan berjumpa dengan orang tuamu, langsung aku akan melamarmu. Agar kau tahu kini hatiku telah kutambatkan pada dermaga hatimu,” bisik Rizal di samping telinga Wiwin. Wiwin pun hanya bisa tersenyum manja, berharap agar cintanya tidak ternoda.
“Aku percaya, cinta kita akan menyatu tidak sekedar berakhir di pelaminan tetapi hingga di akhir hayat kita,” lanjut Rizal sembari merengkuh tubuh Wiwin yang berbalut selembar kain sutera.
Pagi harinya dengan mengendarai mobil mereka berdua berlalu dari rumah teman Wiwin, meluncur menuju dermaga. Sampai di dermaga keduanya memasuki dek kapal fery yang sudah standby mengarungi selat Sunda, menuju pelabuhan Merak, Cilegon, Banten. Kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat dari kota ke kota, meluncur ke arah timur menuju kampung halaman Wiwin di Madiun.***
Semarang, 5 Oktober 2024