Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

CERITA, CERUTUNYA Oleh: Agung Marsudi

Ilustrasi 

DIA bukan siapa-siapa. Bukan pejabat berbaju gamis yang berpura-pura, bermetafora segala. Bukan Arjuna, 

bukan lelananging jagad. Dia adalah laki-laki pejalan, "sampai-sampai dia tak bersarang di perjalanan senjanya, selain tanah airnya".

"Dia menjalani sunah jiwanya".

"Dia adalah Dia"

Duduk, bersamanya adalah kehangatan dan kebaikan. Setiap yang dikatakan, seperti bait puisi, berisi. Semua, masuk akal, diterima akal, ketemu akal. Tak cukup akal sehat itu, tapi akal yang dinaungi wahyu. 

Dia, kini pergi, entah kemana. Sudah seribu senja, tak ada prosa liriknya. Sampai-sampai tak ada burung cemuit, menyambut langkahnya yang biasa genit.

Dia, lelaki yang dicinta, hidupnya tenggelam di rahim semesta.

Cerita cerutunya, "lebih baik dari seribu bulan". Meniru-niru AlQadr yang menembus cadar, ketika fajar. Di pojok politik, ia bersikeras melawan oligarki, di tengah sawah, ia petani biasa, yang bergumul lumpur dengan kerbau kesayangannya. Ia tak resah, pada gundah, pada gelisah. Ia tahu arti pasrah, tapi ia tetap memilih bekerja. Kerja adalah caranya berdoa. 

Dia juga bertemu, seorang pejalan perempuan yang mulai riuh dengan peluh. Ia pulang ke syariat. Ia sangat ingin pulang, mengarungi samudera cinta, yang luasnya, _"khairun minaddunya wama fiha"_.

Hari tanpa mata, tak matahari. Mata tanpa air, tak airmata. Airmata tanah air. Tanah airmata. Keringatnya tersisa di bumi Sukowati, menjadi api, menjadi energi.

Tak ada jejak di alas Ketonggo, di candi Cetho, di masjid Demak Bintoro. Ia mukso.

Sebelum naik ke langit, ia ngomyang di bawah patung selamat datang.

Cikini, 13 Januari 2025

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies