Pada akhirnya, peperangan dengan mengadu data dan fakta, pasti ada yang harus kalah atau menyerah. Bila tidak, maka perang tanding dengan kepemilikan data dan fakta yang saling dipergunakan untuk menyandera lawan yang kini membuka fron perseteruan terbuka, memang baru diawali dengan saling melontarkan mortir atau sejenis meriam yang diharap dapat membungkam musuh yang semula adalah kawan, atau seperti satu geng dari mafia yang disepakati dahulu.
Jadi istilah pecah kongsi, persis semacam yang terjadi sekarang ini. Seakan-akan perseteruan dalam satu kandang yang diurus bersama secara konvensional tanpa diikat perjanjian hukum. Toh, hukum formal pun sudah tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab pelaksanaannya bisa mulur-mungkret, sekehendak hati yang mampu membetotnya dengan suka-suka, sesuai dengan kekuasaan dan kemampuan, sekiranya harus dibayar semacam persidangan koruptor yang bisa berbagi hasil dengan hakim dan jaksa hingga aparat penegak hukum lainnya.
Jika tidak, mana mungkin narkoba bisa beredar luas atau bahkan didistribusikan dari lembaga pemasyarakatan yang juga tidak mau kalah membangun pabrik pencetak uang. Kalau pun ada uang palsu yang hendak dicetak dari lingkungan perguruan tinggi, itu hanya semacam rasa kecemburuan belaka terhadap sektor lain yang begitu mudah menghasilkan uang haram.
Pokok soal pertikaian yang membuat gaduh negeri ini, tetapi berkisar pada masalah kekuasaan dan sumber pundi-pundi yang mampetkan. Maka itu, wacana untuk menghukum mati para koruptor cuma' sekedar semacam bumbu penyedap, agar cita-cita keadilan serta demokrasi itu memang serius ingin ditegakkan. Padahal sesungguhnya tidak. Seperti upaya mengebiri KPK hingga tak berdaya harus meloloskan pesanan sang majikan.
Pendek kata, semakin banyak yang hendak diteropong di negeri ini, semua tampak kusut masai seperti wajah seseorang yang baru diperkosa. Lalu banyak orang pun jadi salah tebak, seakan-akan wajah yang kusut masai itu adalah perempuan. Padahal realitasnya tidak. Krena lelaki yang diperkosa itu pun tidak hanya dilakukan oleh perempuan. Sebab ada lelaki lain yang diperkosa habis-habisan oleh kelaki lain yang enggan disebut homoseksual.
Begitulah narsisnya sosok pembengal di negeri ini. Semua anak serta menantunya dipaksa merengkuh kursi kekuasaan, tidak atas nama tamak dan rakus, apalagi hendak disebut tanpa rasa malu seperti orang yang doyan menyimpan serba kepalsuan. Termasuk ijazah yang dibayar kontan dari duit hasil curian.
Mungkin dari penggalan nukilan diatas dapat segera dipahami istilah populer di kalangan pereman adanya uang hantu akan dimakan setan. Artinya, ketidakjujuran yang terjadi kini mulai menuai karma, karena memang apa yang dilakukan tidak lillah ta'ala. Maka tinggal menunggu waktunya tiba, ganjaran yang lebih dahsyat akan datang juga menghampiri semua anak cucu dan istri yang ikut menikmati hasil kerja tanpa keringat itu. Dan sumpah serapah tidak saja akan dilakukan oleh mereka yang langsung menjadi korban, tapi banyak orang yang terkena imbasnya -- ikut pula menjadi sengsara -- maka sumpah serapahnya akan lebih mustajab. Lantaran rakyat yang dikhianati seperti kutukan UUD 1945 -- yang tidak pernah ditaati untuk mewujudkan keadilan dan memberantas kemiskinan serta kebodohan -- yang justru dipelihara agar bisa terus membebek seperti binatang peliharaan.
Saling ancam dan mengancam dengan data rahasia perilaku bejat yang pernah dilakukan itu, kini telah resmi menjadi bagian dari budaya politik untuk saling menyandera pihak yang lain. Padahal, hakikatnya dari data dan fakta itu -- jika sungguh benar adanya --patut ditersangkakan juga sebagai bentuk tindak kejahatan yang baru, karena mendiamkan atau ikut serta menyembunyikan perilaku bobrok yang telah merugikan rakyat banyak.
Budaya sandra politik yang jahat ini harus segera dihentikan dengan cara menghukum seberat-berat mungkin untuk mereka yang telah menyembunyikan dokumen kejahatan yang telah membuat rakyat menjadi sengsara. Setidaknya, lantara mereka telah ingkar dari sumpah dan janjinya saat menerima jabatan yang diberikan atas nama rakyat.
Cipinang, 2 Januari 2025