Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Bangsa Pemulung Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Di sebuah negeri yang penuh dengan aturan, lahir sebuah paradoks yang nyaris menjadi takdir. 

Negeri ini melimpah kekayaannya, subur tanahnya, kreatif rakyatnya. Namun, entah bagaimana, di sela gemerlap itu, kita tumbuh menjadi bangsa pemulung. 

Ironi yang menggelitik dan sekaligus menyayat, sebuah narasi tentang pakaian bekas yang melintas batas.

Pintu-pintu impor ditutup rapat. Regulasi demi regulasi ditegakkan. Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan hingga Peraturan Menteri Kesehatan No. 27 Tahun 2017 tentang Pengawasan Barang Bekas berdiri sebagai pagar tinggi untuk menolak "sampah" itu masuk. Tetapi, seperti air yang mencari celah, pakaian bekas tetap melenggang. Ia masuk tanpa malu, tanpa sembunyi. Ia merajalela di pasar-pasar, di tepi-tepi jalan, di toko-toko kecil hingga pusat perbelanjaan.

Di Denpasar, pakaian bekas menjadi denyut kehidupan. Pasar Kreneng, di sebelah baratnya, setiap pagi hingga siang hari penuh sesak dengan dagangan baju bekas. Di jalan Marlboro, Denpasar Barat, pakaian-pakaian itu meluber hingga ke bahu jalan. Pasar Kodok di Tabanan pun menjadi ikon, seolah melambangkan identitas baru negeri ini: bangsa pemulung.

Aturan yang dibuat pemerintah menjadi ironi. Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2019, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2015, dan sederet regulasi lainnya seolah hanya pajangan kaku dalam dokumen negara. Nyatanya, penyelundupan terjadi tanpa malu, dokumen dipalsukan, izin impor tak lagi jadi penghalang. Bahkan di tempat terbuka, barang yang dianggap "sampah" ini dipuja-puja.

Kenapa terus ada pemasoknya? Karena ada pasarnya. Ada yang menyukai. Karena masyarakat kita menggandrunginya. Apa yang membuat masyarakat menggandrungi barang bekas dari negeri lain? 

Jawabannya ada dua: kualitas dan harga. Meski disebut "sampah", pakaian bekas dari luar negeri sering kali dianggap lebih baik daripada produk lokal. Karena bekas, harganya pun jauh lebih terjangkau bagi rakyat kecil. Ironisnya, di tengah melimpahnya kekayaan alam negeri ini, produsen tekstil lokal kerap tak mampu bersaing, baik dari segi harga maupun mutu.

Tidakkah produsen tekstil lokal bisa menciptakan barang yang berkualitas dan murah? Tidakkah pemerintah bisa menekan pajak dan ongkos produksi agar barang lokal lebih terjangkau? Jadi ngedumel sendiri. Bukankah solusi ini lebih bermartabat daripada terus-menerus menutup pintu yang tak pernah benar-benar tertutup?

Negeri ini gemar membuat aturan, namun tegas tak selalu jadi sifatnya. Larangan yang setengah hati justru menciptakan peluang bagi mereka yang gemar bermain di celah-celah hukum. Jika aturan yang ada tak bisa ditegakkan, mengapa tidak dilonggarkan saja? Bukankah lebih baik membiarkan barang bekas itu masuk secara sah dan diawasi ketimbang menjadi barang terlarang yang merajalela secara terang nemderanh di pasar-pasar?

Di balik segala ironi ini, kita harus bertanya: apa arti kekayaan yang kita miliki jika pada akhirnya kita memilih menjadi pemulung? Paradoks ini bukan hanya tentang pakaian bekas. Ini adalah cerminan dari bagaimana negeri ini memandang dirinya sendiri. Apakah kita bangsa yang mampu swadesi sebagaimana diajarkan bapak bangsa Bung Karno untuk berdiri di atas kaki sendiri, ataukah kita selamanya menjadi bangsa yang hidup dari sisa-sisa orang lain?

Paradoks ini bukan hanya soal pakaian bekas. Ia adalah cermin, tajam dan menyilaukan, yang menantang kita untuk melihat siapa diri kita sebenarnya.

Denpasar, 9 Januari 2025

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies