Jonifriadi |
PADANG PARIAMAN, Sigi24.com -- Lubuak Pua erat kaitannya dengan VII Koto. Di Lubuak Pua itu pula terletak satu dari delapan "mimba" VII Koto. Yakni di Masjid Raya Balah Aie sekarang.
Walinagari Balah Aie Jonifriadi menyebutkan, mimba ini menurut sejarah adalah tonggak tuo Ungku Khadi VII Koto.
"Di VII Koto ditemukan delapan mimba itu. Satu dari yang delapan terletak di Lubuak Pua. Dan itu pula rentetan ceritanya, kalau Lubuak Pua dijadikan "Ampu Syarak" Balah Aie," kata dia, Rabu 15 Januari 2025.
Disebut mimba nan delapan, adalah Guguak, Barangan. Rambai Pungguang Ladiang. Lubuak Pua, Kampuang Paneh, Pincuran Sonsang dan Ampalu.
Punya empat pangulu syarak, yakni Labai, Khalifah, Imam dan Khatib. Empat ini disebut pangulu syarak, sebagai kekuatan dalam Lubuak Pua.
Jauh sebelum Nagari Balah Aie ada, Lubuak Pua sudah punya power tersendiri di bidang syarak dan adat ini.
Ada yang menyebut, berbunyi tabuah Lubuak Pua, menyahut tabuah Ampalu dan berdentang tabuah Mudiak Padang, menandakan masyarakat memulai dan mengakhiri bulan puasa.
Balah Aie berdiri 1918. Disebut VII Koto adalah, Sungai Sariak, Sungai Durian, Tandikek, Batu Kalang, Koto Baru, Koto Dalam, tujuah jo Ampalu.
Balah Aie adalah Ampalu dulunya. 1918 Ampalu ini dijadikan tiga nagari lewat dinamika politik kala itu. Di tangan Walinagari Tanjojo Datuak Basa, hadirlah Nagari Balah Aie, Lareh Nan Panjang, dan Lurah Ampalu.
Ampalu tentu punya kekuatan tersendiri. Basa 17, itu enam terletak di Ampalu, bertujuh dengan Rajo. Namun, setelah pemekaran dan menjadi tiga kenagarian itu, nama Nagari Ampalu pun melebur.
Jonifriadi yang juga Ketua Forum Walinagari Kabupaten Padang Pariaman ini menjelaskan, bahwa Tuanku Bagindo adalah Khalifah pertama di Lubuak Pua.
Sepulang dia mengaji, Tuanku Bagindo belum lagi menetap di kampung. Dia lama "merasul" di Pincuran Sonsang. Ke Lubuak Pua, Tuanku Bagindo dijemput oleh masyarakat.
Beliau sezaman dengan Syekh Muhammad Yatim, Syekh Tuanku Sidi Talue, Tuanku Shaliah. "Tuanku Bagindo yunior Syekh Muhammad Yatim, tapi senior oleh Tuanku Shaliah. Makanya, ketika Tuanku Shaliah ingin mandi, dia pastikan betul, Tuanku Bagindo, Tuanku Sidi Talue sedang tidak mandi di bagian bawah," katanya.
Sebab, Tuanku Bagindo dan Tuanku Sidi Talue adalah senior Tuanku Shaliah. Mereka sama-sama menjadikan Sungai Batang Mangoi sebagai tempat untuk mandi. Tuanku Shaliah tinggal di bagian teratas, sementara Tuanku Bagindo dan Tuanku Sidi Talue di bagian bawah sungai besar itu.
Tuanku Sidi Talue dan Keputusan Kaji
Menurut Jonifriadi, Balah Aie punya banyak ulama hebat dulunya. Salah satunya Tuanku Sidi Talue ini. Orang menyebutnya di Sampan, tapi itu sebenarnya di Toboh Mandailing.
Bersama Tuanku Sidi Talue inilah dulunya terkenal majlis ilmu, forum muzakarah yang menghadirkan para alim dan ulama dari berbagai pelosok.
Tempat keputusan kaji bagi sebagian ulama yang sibuk dengan dunia keilmuan. Tersebut Syekh Muda Wali. Seorang ulama Aceh, menantu oleh Syekh Muhammad Djamil Jaho yang pernah memutuskan kajinya bersama Tuanku Sidi Talue ini.
Makanya, sebagian besar masyarakat Balah Aie yang melakukan ziarah ke Aceh, pasti memasukan Labuhan Haji, pesantren dan makamnya Syekh Muda Wali sebagai tempat yang dikunjungi.
Meskipun Syekh Muda Wali terkenal dengan Naqsabandiyah jalur tariqatnya, tidak Syattariyah seperti di Padang Pariaman, tetap saja beliau jadi satu tempat ziarah oleh masyarakat nagari ini.
Menurut ceritanya, Syekh Muda Wali ini setiap mendatangi ulama dan perguruan di Padang Pariaman ini, selalu membawa seekor ayam. Gunanya, ayam itu disembelih manakala kaji yang didiskusikan itu tuntas. Dan itu pernah terjadi ketika dia bersua dengan Tuanku Sidi Talue ini.
Di kemudian hari, ada sejumlah murid Syekh Muda Wali yang datang ke Toboh Mandailing, mencari yang namanya makam Tuanku Sidi Talue.
Tuanku Sidi Talue dianggap unik. Namanya ganjil kedengarannya, dan sebagian murid Syekh Muda Wali pun menerima riwayat gurunya yang pernah singgah dan memutuskan kajinya di Toboh Mandailing ini.
Jejak Tongkat Tuanku Bagindo
Adalah kisah panjang hadirnya Irigasi Ujuang Gunuang. Sebuah irigasi yang mengaliri sawah masyarakat Balah Aie. Mula dirintis irigasi ini di hulunya Ujuang Gunuang, Sungai Sariak itu tongkat Tuanku Bagindo yang dipancangkan, lalu diirit ke hilir dengan lantunan shalawat nabi.
"Kapalo Banda Tuanku Bagindo. Itu namanya diberikan masyarakat. Sekian kilometer berjalan bersama dibawah komando Tuanku Bagindo sambil bershalawat, dan jejak garis tongkat itulah yang digali pula bersama, untuk menghadirkan air sebagai sumber kehidupan masyarakat Balah Aie," kata Jonifriadi.
Zaman Tuanku Bagindo itu, tak ada surau dan masjid yang terbengkalai. Masyarakat merasa kewalahan menyelesaikan pembangunan surau, orang mengadu ke Tuanku Bagindo.
Pun pembangunan laga-laga, Tuanku Bagindo bagaikan solusi untuk menuntaskan bangunannya. "Beliau tidak sekedar alim di banyak kajian, tapi juga peduli dengan dunia kearifan lokal, sehingga di hampir seluruh korong di Balah Aie ada laga-laga," ujarnya.
Laga-laga tempat belajar silek, indang, hulu ambek, termasuk bersilat lidah, mahir beradu kata, laga-laga tempatnya.
Madrasatul 'Ulum Menambah Kekuatan Lubuak Pua sebagai Ampu Syarak Balah Aie
Kehadiran Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua sejak 1991, diharapkan menjadi penjaga dan merawat tradisi ulama dulu, di samping mengembangkan kajian rutinnya dalam membangun santri dan santriwati.
Setidaknya, pesantren ini tegak lurus dengan trah yang dibangun oleh Tuanku Bagindo dulunya. Trah dimana para ulama bagaikan api dan labai sebagai suluahnya.
Suluah tak mungkin menyala tanpa api. Inilah semangat perjuangan awal Ahmad Yusuf Tuanku Sidi ketika menghadirkan perguruan surau, sebagai kelanjutan dari kebesaran Surau Pekuburan dulunya. (ad/red)