Sejak awal kemunculan sosok Joko Widodo sebagai capres 2014, atau yang lebih populer dengan panggilan Jokowi, berbagai tudingan miring dilontarkan. Sepertinya belum ada cacian, hinaan, dan fitnah terhadap tokoh nasional yang sebrutal ini. Tudingan itu antara lain, dituduh non muslim. Inisial 'H' di depan nama beliau dibilang nama baptis, yakni Herbetus. Lalu dituduh keturunan Cina, lengkap dengan pemberian nama Cina. Berikutnya dituding anak gembong PKI. Lalu antek asing yang disusupkan untuk rencana menguasai Indonedia.
Berhenti sampai di situ? Tidak. Bahkan dianggap presiden yang plonga-plongo dan tidak mengerti apa-apa. Beliau dianggap hanya sebagai petugas partai yang menjalankan misi partai, uniknya di suatu ketika juga dituding bertanggung jawab atas kebijakan yang menuai kontroversi. Jika bagus diklaim sebagai misi partai, sebaliknya jika buruk diklaim itu atas usulan presiden.
Selanjutnya dituding tukang bohong. Apa pun program yang tidak berjalan sesuai harapan para penghujat, itu dianggap kebohongan sang pemimpin. Sepertinya para penghujat itu kurang yakin bahwa Allah yang maha berkehendak dan maha berkuasa. Sehingga mereka menuntut semua program harus berjalan tepat sesuai harapan. Jika meleset maka itu merupakan kebohongan dan itu dosa.
Selanjutnya, dituding haus kekuasaan, sampai berani melanggar konstitusi demi ambisi. Mereka sudah lupa bahwa sosok yang dianggap sangat berkuasa dalam merekayasa berbagai hal itu sebelumnya dianggap plonga-plongo dan tidak mengerti apa-apa.
Yang terbaru, sebagai puncak fitnah keji, yakni dituding sebagai koruptor besar. Ini berdasarkan berita yang dirilis oleh sebuah organisasi internasional bernama OCCRP (Organization Crime and Corruption Reporting Project). Lebih lucunya lagi, beliau yang sebelumnya direndahkan dengan sebutan hanya petugas partai yang menjalankan misi-misi partai, mendadak diserang dengan tuduhan koruptor besar. Bukankah andaikata ini benar berarti partainya adalah kandang korupsi terbesar?
Dari banyaknya serangan kejam tersebut, ternyata tak ada satu pun yang terbukti. Sementara itu satu per satu dari para pembenci telah terbukti tersungkur.
'Becik ketitik ala ketara. Siapa salah bakal seleh', ungkapan bijak leluhur Jawa yang berlaku abadi. Kebaikan dan keburukan itu sudah jelas. Yang salah bakal kalah. Ini pelajaran berharga bagi orang-orang yang sering menuduh tanpa bukti.
Apakah mereka mau belajar dari berbagai peristiwa yang terjadi? Rupanya tidak. Mereka dengan antusias terus menebar kedengkian tidak hanya kepada Jokowi, tapi kepada anak-anaknya, menantu, dan bahkan kepada istri beliau. Untung cucu-cucu beliau masih kanak-kanak, sehingga tidak ditemukan bahan untuk caci-makian dan fitnah. Isu dari dalam negeri gagal, maka pakai isu dari luar negeri. Siapa tahu berhasil.
Lantaran saking banyaknya serangan jahat, sampai Pak Jokowi sendiri bilang, "Kalau masih ada yang kurang, tolong dikomplitin aja sendiri!"
Oh ala pak, saya dan mungkin jutaan orang salut dengan kesabaran dan ketabahan anda menghadapi ujian tersebut.
Barangkali ini adalah cara Allah untuk membersihkan anda hingga jernih berkilauan, untuk kemudian mengangkat derajat anda ke tempat yang lebih mulia.
Fitnah adalah dosa yang sangat sulit untuk diampuni dengan sempurna. Kenapa? Karena selain harus bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala, pelakunya juga harus meminta maaf kepada orang yang difitnah serta kepada orang-orang yang terlanjur mempercayai fitnah tersebut.
Memperbaiki fitnah yang telah disebarkan ke masyarakat tentu saja sangat sulit. Si pemfitnah harus memastikan bahwa masyarakat harus mengetahui bahwa berita itu adalah fitnah.
Melihat dari rangkaian peristiwa yang telah terjadi, barangkali para pendengki akut akan semakin termotivasi untuk melengkapi fitnah apa yang belum pernah dilontarkan. Ya, seperti lelucon Pak Jokowi, "Komplitin aja!"