Taji yang dituju dalam tulisan ini adalah apakah masih ada dan efektif senjata ulama dan umara? Dalam bahasa Minang, "taji" merujuk pada senjata kecil yang dipasang di kaki ayam jago saat diadu dalam sabung ayam. Taji ini biasanya berupa duri tajam atau logam yang digunakan untuk melukai lawan dalam pertarungan. Konteks ini "taji" digunakan secara kiasan untuk menggambarkan keberanian, kekuatan, atau kemampuan seseorang, seperti "punya taji" yang berarti memiliki keberanian atau keahlian.
Mengapa kemampuan, keberanian dan kekuatan pencegah musuh yang ada pada ulama dan umara seolah-olahnya tidak lagi mangkus. Sepanjang tahun 2024 pemberitaan tentang kedaruratan di negeri ini mewarnai alam jagad media, lebih lagi media sosial. Darurat maksiat, darurat narkoba, darurat korupsi, darurat kejahatan, darurat lainnya, yang intinya kecepatan kemajuan tekhnologi beriringan dengan kejahatan dan kemaksiatan.
Sumatera Barat (baca Minangkabau) yang penduduknya mayoritas umat Islam, dipimpin oleh Kepala Daerah muslim, taat beragama, bahkan menjadikan agama sebagai bahan kampanye meyakinkan pemilih, pencitraan diri sebagai muslim taat, negara sudah menjamin melalui Undang-Undang Provinsi Sumatera Barat Nomor 17 tahun 2022 yang menetapkan karakteristik daerah, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, adat salingka nagari, tidak berhenti di dera maksiat, kejahatan dan pelanggaran hukum berat, sesama aparat saja saling tembak, banyak lagi jika diteruskan.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 27 November 2024 lalu nampak sekali ulama dan kegiatan keislaman menjadi “instrument politik” oleh calon umara dan konco-konconya. Pertanyaannya, apakah setelah mereka berkuasa ulama diikuti, di dengarkan dan dimintai pendapatnya? Wallahu’alam. Yang lazim terjadi di lapau sering disebut, ulama bagaikan “ganja batu”, ditinggal di jalanan, yang bernasib baik, seperti “ganja kayu” di bawa naik, tetapi di simpan, tak diberi peran fungsi semestinya.
KESATUAN ULAMA DAN UMARA
Umat Islam yang mayoritas di negeri ini sudah lama mengetahui hadis yang artinya... "Dua golongan dari umatku, apabila keduanya baik, maka baiklah manusia, dan apabila keduanya rusak, maka rusaklah manusia: ulama dan umara."(HR. Abu Nu'aim dalam Hilyatul Awliya').
Hadis ini menunjukkan bahwa ulama dan umara memegang peranan penting dalam menjaga kebaikan masyarakat dan menghentikan kejahatan. Ketika keduanya menjalankan tugas dengan baik—ulama dengan membimbing secara spiritual dan moral, serta umara dengan menjalankan pemerintahan yang adil—maka masyarakat akan hidup dalam keberkahan. Sebaliknya, jika salah satu atau keduanya lalai, dampaknya akan dirasakan oleh umat.
Kesatuan antara ulama (pemimpin agama) dan umara (pemimpin pemerintahan) adalah hal yang sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan sesuai dengan ajaran Islam. Hubungan ini sering digambarkan sebagai kerjasama antara dua pilar utama dalam kehidupan umat Islam: agama dan kekuasaan.
Allah berfirman artinya; "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu." (Surah An-Nisa ayat 59). Ayat ini menunjukkan pentingnya ketaatan kepada pemimpin (ulama dan umara) selama mereka menjalankan tugas sesuai syariat Islam.
Semestinya ulama memiliki peran untuk memberikan nasihat kepada umara agar kebijakan yang dibuat selaras dengan syariat Islam dan membawa kemaslahatan umat. Sedangkan umara sebagai pelaksana bertanggung jawab untuk menerapkan kebijakan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, melindungi rakyat, dan menegakkan keadilan. Kolaborasi untuk kemaslahatan adalah keharusannya antara ulama dan umara, mereka harus bersatu dalam menjalankan peran masing-masing demi kemaslahatan dunia dan akhirat.
Konflik kepentingan antara ulama dan umara, terutama jika salah satu pihak tidak berpegang teguh pada nilai-nilai Islam. Penyalahgunaan kekuasaan atau agama untuk kepentingan pribadi atau golongan. Menegakkan nilai-nilai keadilan dan kejujuran dalam hubungan antara ulama dan umara. Mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan yang menyangkut umat. Memperkuat peran lembaga keagamaan dan pemerintahan untuk saling mendukung.
Jadi taji ulama dan umara dapat berfungsi bila kesatuan antara ulama dan umara terciptanya masyarakat yang damai dan harmonis. Jika keduanya menjalankan perannya dengan amanah, maka umat akan mendapatkan bimbingan spiritual dan kesejahteraan duniawi.
PEMISAHAN ULAMA DAN UMARA
Pemisahan antara ulama (pemimpin agama) dan umara (pemimpin pemerintahan) dalam konteks sejarah dan masyarakat Islam sering kali terjadi karena perkembangan sosial, politik, dan budaya yang memengaruhi struktur kepemimpinan umat.
Beberapa alasan utama mengapa pemisahan tersebut muncul, di antaranya:
Perbedaan peran dan fungsi.
perbedaan fungsi dan peran. Ulama fokus pada pembinaan spiritual, pendidikan agama, penafsiran syariat, dan menjaga moral masyarakat. Umara bertugas mengatur urusan pemerintahan, politik, keamanan, dan kesejahteraan rakyat. Pemisahan ini mestinya tidak terjadi karena masing-masing peran memerlukan keahlian dan fokus yang berbeda, meskipun idealnya saling melengkapi.
Perubahan sistem politik. Pada masa awal Islam (khususnya di era Khulafaur Rasyidin), ulama dan umara bersatu dalam satu sosok, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, yang memimpin dengan landasan syariat Islam. Setelah itu, dengan munculnya sistem kerajaan atau dinasti (Umayyah, Abbasiyah, dan lainnya), kepemimpinan menjadi lebih terpusat pada kekuasaan politik, sementara ulama lebih berperan sebagai penasihat atau pengkritik.
3. Pengaruh Kolonialisme.
Di banyak negara Muslim, kolonialisme membawa sistem sekularisme yang memisahkan agama dari pemerintahan. Ulama sering kali dibatasi perannya hanya dalam urusan keagamaan, sedangkan kekuasaan politik dipegang oleh pemerintah kolonial atau pihak yang sekuler. Warisan kolonial ini memengaruhi struktur pemerintahan modern di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia, yang memisahkan agama dari urusan negara.
Konflik Kepentingan
Kadang, pemisahan terjadi karena adanya konflik antara ulama dan umara. Misalnya, ketika umara lebih mengutamakan kekuasaan duniawi dan mengabaikan prinsip-prinsip Islam, ulama merasa perlu mengambil jarak atau bahkan mengkritik. Sebaliknya, ada juga situasi di mana ulama dianggap terlalu mendominasi urusan politik, sehingga menimbulkan ketegangan.
Perbedaan Persepsi Tentang Kekuasaan
Dalam Islam, kekuasaan seharusnya dianggap sebagai amanah. Namun, dalam praktiknya, umara sering kali melihat kekuasaan sebagai alat untuk memperkuat posisi politik, sementara ulama lebih menekankan pentingnya moralitas dan tanggung jawab di hadapan Allah.
Kompleksitas Masyarakat Modern
Di era modern, masyarakat membutuhkan keahlian khusus dalam banyak bidang, seperti ekonomi, teknologi, dan hubungan internasional. Hal ini menyebabkan peran ulama cenderung terbatas pada aspek moral dan etika, sementara umara fokus pada kebijakan praktis.
Apakah Pemisahan Ini Selalu Buruk? Pemisahan ulama dan umara tidak selalu negatif jika keduanya dapat bekerja sama secara harmonis. Dalam Islam, yang lebih penting adalah kesatuan visi dan tujuan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, dan keimanan. Ketika ulama dan umara saling melengkapi, umat Islam akan mendapatkan bimbingan spiritual dan kepemimpinan yang kuat. Namun, jika pemisahan ini menyebabkan konflik atau saling menjatuhkan, maka dampaknya akan merugikan umat. Oleh karena itu, Islam menganjurkan ulama dan umara untuk saling mendukung dan mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan persoalan umat.
TAJI MUSLIM DI ERA GLOBAL
Taji ulama dan umara walau ia memegang amanah bagi mayoritas muslim sulit tajam dan berdaya guna ada hubungkaitannya dengan kesulitan umat Islam untuk bangkit dari ketertinggalan disebabkan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal yang kompleks.
Kelemahan dalam pendidikan umat Islam adalah factor internal yang menjadikan mereka tidak dapat menuntut haknya. Mayoritas Muslim memiliki sistem pendidikan yang kurang memadai, terutama dalam bidang sains, teknologi, dan inovasi disebabkan umat hanya fokus pada pendidikan agama seringkali tidak disertai dengan penekanan pada penguasaan ilmu duniawi. Meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern, seperti yang dilakukan pada masa kejayaan peradaban Islam adalah keharusan yang wajib dilakukan umat Islam.
Lemahnya persatuan. Umat Islam sering terpecah oleh konflik sektarian, nasionalisme, dan kepentingan politik. Perpecahan ini melemahkan kekuatan kolektif umat. Memperkuat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dengan menekankan persamaan daripada perbedaan.
Krisis Kepemimpinan. Banyak pemimpin di negara Muslim yang kurang amanah dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan daripada kesejahteraan rakyat. Membina pemimpin yang berintegritas dan berkomitmen pada nilai-nilai Islam serta keadilan sosial.
Mentalitas Ketergantungan. Sebagian umat Islam masih memiliki mentalitas pasif atau ketergantungan pada bantuan luar, baik dalam ekonomi maupun teknologi. Mendorong kemandirian dan kewirausahaan dengan menghidupkan semangat kerja keras dan inovasi.
Faktor eksternal yang menjadikan umat Islam berada dalam cengkraman bangsa di antaranya kolonialisme dan pengaruh asing. Sejarah panjang kolonialisme membuat banyak negara Muslim kehilangan kendali atas sumber daya dan sistem pemerintahan mereka. Hingga saat ini, pengaruh asing sering menghambat kemandirian negara-negara Muslim. Memperkuat kedaulatan ekonomi, politik, dan budaya melalui kerja sama antarnegara Muslim (contohnya, Organisasi Kerjasama Islam - OKI).
Faktor globalisasi yang tidak adil. Dalam sistem global, negara-negara Muslim sering kali berada pada posisi yang kurang menguntungkan, menjadi pemasok bahan mentah dan pasar, tanpa kemampuan bersaing di tingkat industri dan teknologi. Membangun kekuatan ekonomi berbasis syariah yang mendukung pembangunan umat secara berkelanjutan.
Propaganda Negatif. Islam sering kali distereotipkan secara negatif di media global, sehingga memperburuk citra umat Islam dan menimbulkan rasa inferioritas di kalangan Muslim.Menguasai media dan menciptakan narasi yang positif tentang Islam di tingkat global.
Kurangnya pemahaman tentang Islam secara komprehensif. Banyak umat Islam yang memahami agama hanya pada aspek ritual, sementara nilai-nilai Islam yang menyangkut pembangunan peradaban, seperti keadilan, kerja keras, dan inovasi, sering diabaikan. Menghidupkan kembali semangat Islam sebagai agama yang memadukan spiritualitas dengan kemajuan duniawi, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.
Kehilangan Tradisi Keilmuan. Pada masa keemasan Islam, umat Islam memimpin dalam bidang ilmu pengetahuan, seperti matematika, kedokteran, dan astronomi. Namun, tradisi keilmuan ini melemah seiring waktu. Menghidupkan kembali budaya membaca, meneliti, dan berkarya, serta mendukung generasi muda Muslim untuk menjadi ilmuwan dan inovator.
Ketergantungan pada Sistem Kapitalis. Banyak negara Muslim yang terjebak dalam sistem ekonomi kapitalis global yang sering kali mengeksploitasi dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Mengembangkan sistem ekonomi berbasis syariah yang menekankan keadilan, distribusi kekayaan yang merata, dan keberlanjutan.
Umat Islam memiliki potensi besar untuk bangkit, seperti sumber daya manusia, sumber daya alam, dan ajaran Islam yang menyeluruh. Namun, kebangkitan ini membutuhkan upaya kolektif. Di antaranya reformasi pendidikan dan ekonomi. Persatuan dan kerja sama antarnegara Muslim. Pemahaman Islam yang holistik.Pemimpin yang visioner dan amanah.
Penutup kalam amat sangat patut disadari dan disadarkan oleh mereka yang diberi amanah kekuasaan (umara), dan mereka yang diberi kelebihan dengan ilmu agama (ulama) bahwa kesatuan dua entitas ini adalah awal, sebab dan prasyarat untuk kebaikan masyarakat, umat dan bangsa. Khusus bagi umara yang memimpin mayoritas muslim dengan dukungan ulama, ayo beri peran dan fungsi ulama. Perintah menghadirkan umat berkualitas melalui ya’muruna bil makruf, nahi munkar (QS. Ali Imran, 110) adalah dua rel paralel. Ulama berperan untuk menebarkan kebaikan dan kemaslahatan, sedangkan umara pada rel mencegah kemungkaran, kejahatan dan kemaksiatan.
Umara (pejabat pemerintah) segera tolong hentikan kerja hura-hura, menggunakan uang negara untuk foya-foya, pesta perkawinan masyarakat yang disertai orgen tunggal cendrung mengumbar syahwat, kejahatan narkoba, kejahatan moral, pelanggaran galian C yang merusak nagari dan kejahatan kolektif lainnya. Semoga harapan anak nagari akan masa depan lebih baik bisa terwujud. Ingatlah negeri ini adalah amanah Allah untuk anak cucu kita. Amin. DS. 25122024.
*Pembina Majelis Silaturahmi Tuanku Nasional