Menteri Agama Kabinet Merah Putih Nasaruddin Umar dalam sambutan rapat kerja nasional MUI, Kamis, 19 Desember 2024 menyatakan lebih nyaman dan lebih baik menyebut kerukunan dari pada moderasi beragama.
Kerukunan dapat dengan mudah diterima semua umat beragama, sedangkan moderasi beragama sepertinya ada ketidaknyamanan pemeluk dan tokoh umat beragama. Ketua MUI menegaskan prinsip kerukunan itu adalah menerima persamaan dalam yang universal, sedangkan pada ranah teologis (aqidah) mengharuskan adanya perbedaan.
Dalam dialog di Televisi swasta nasional wakil ketua MUI pusat bersama guru besar dari UI menyatakan, bahwa wasatiyah atau moderasi beragama dan kerukunan dua realitas yang bagi kebutuhan hidup dalam dunia global.
Indonesia sebagai negera yang majemuk, pluralistik dan beragam sangat berkepentingan dengan sikap umat beragama yang moderat sebagai pilar utama kerukunan dan kesatuan bangsa.
RUKUN DAN KERUKUNAN
Rukun dan kerukunan memiliki makna yang berbeda, khususnya dalam istilah ilmu-ilmu Islam. Dalam bahasa Arab, kata rukun (ركن) memiliki arti "sudut", "pilar", atau "penyangga". Secara terminologi, rukun mengacu pada elemen atau bagian pokok yang menjadi dasar atau fondasi sesuatu. Tanpa adanya rukun, sesuatu tersebut tidak akan sempurna atau tidak dapat berdiri.
Dalam ilmu keislaman, rukun sering digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang esensial dan mutlak dalam pelaksanaan suatu ibadah atau kepercayaan, seperti:
1. Rukun Iman:
Enam hal yang menjadi dasar keyakinan seorang Muslim, yaitu iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan qadha dan qadar.
2. Rukun Islam:
Lima pilar utama dalam agama Islam, yaitu syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu.
3. Rukun Ibadah:
Komponen wajib dalam ibadah tertentu yang jika ditinggalkan, ibadah tersebut menjadi tidak sah. Contohnya, rukun salat meliputi niat, takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah, ruku’, sujud, dan sebagainya.
Intinya, rukun adalah komponen inti yang menentukan sahnya sebuah amalan atau ajaran dalam Islam.
Rukun dalam bahasa Indonesia tidaklah sama dengan rukun dalam bahasa Arab.
Dalam bahasa Indonesia, kata rukun memiliki beberapa makna tergantung pada konteksnya. Secara umum, rukun merujuk pada hal-hal berikut:
1. Keselarasan atau Keharmonisan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, rukun berarti hidup dalam suasana damai, saling menghormati, dan bekerja sama. Misalnya:
Hidup rukun antar tetangga berarti hidup dalam suasana damai tanpa perselisihan.
2. Bagian Pokok atau Esensial
Dalam arti yang lebih teknis (misalnya dalam agama atau sistem tertentu), rukun merujuk pada unsur utama atau fondasi yang harus ada untuk menjaga kesempurnaan sesuatu.
3. Peraturan atau Ketentuan Dasar
Dalam konteks adat, agama, atau budaya, rukun bisa merujuk pada aturan yang menjadi panduan pokok. Misalnya, dalam upacara adat terdapat rukun yang harus dipenuhi agar upacara berjalan sesuai tradisi.
Esensinya, rukun dalam bahasa Indonesia menyiratkan ide tentang hal-hal mendasar yang harus ada, baik itu dalam bentuk hubungan sosial yang harmonis maupun aturan atau elemen inti yang menopang sesuatu.
SEJARAH KERUKUNAN BERAGAMA
Kerukunan beragama merujuk pada keadaan di mana umat beragama hidup berdampingan secara damai, saling menghormati, dan bekerja sama meskipun memiliki perbedaan keyakinan.
Makna kerukunan beragama mencakup beberapa aspek, yaitu:
1. Harmoni Antar Umat Beragama.
Umat dari berbagai agama saling menghargai keberadaan, hak, dan keyakinan masing-masing tanpa merasa terancam atau mendominasi pihak lain.
2. Kehidupan Sosial yang Damai.
Masyarakat yang memiliki keberagaman agama mampu bekerja sama dalam kehidupan sehari-hari tanpa konflik, diskriminasi, atau prasangka berdasarkan keyakinan.
3. Toleransi dan Dialog.
Kerukunan beragama melibatkan sikap saling memahami dan menghormati perbedaan, serta membuka ruang dialog untuk menyelesaikan perbedaan secara konstruktif.
4. Keseimbangan Hak dan Kewajiban.
Setiap individu menjalankan kewajibannya sesuai keyakinan tanpa mengganggu hak orang lain untuk beribadah atau menjalani kepercayaannya.
Tujuan kerukunan beragama adalah menciptakan stabilitas sosial, memperkuat persatuan nasional, dan membangun hubungan yang harmonis dalam masyarakat majemuk. Prinsip ini sangat penting terutama di negara seperti Indonesia, yang memiliki keberagaman agama, budaya, dan etnis.
Kerukunan beragama di Indonesia memiliki akar yang panjang, terkait erat dengan perkembangan masyarakat multikultural di Nusantara yang telah ada sejak zaman kerajaan kuno. Berikut adalah tahapan penting dalam sejarah kerukunan beragama di Indonesia:
1. Zaman Kerajaan Nusantara
Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha seperti Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, masyarakat Nusantara telah terbiasa hidup dalam keberagaman kepercayaan. Hindu dan Buddha berkembang berdampingan tanpa konflik besar.
Ketika Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13, proses penyebarannya dilakukan dengan pendekatan damai melalui perdagangan, budaya, dan pendidikan, terutama oleh para wali seperti Wali Songo.
2. Masa Kolonial Belanda
Pada masa penjajahan, masyarakat Indonesia tetap menunjukkan toleransi meskipun pemerintah kolonial menerapkan kebijakan divide et impera (politik pecah belah).
3. Masa Kemerdekaan (1945)
Ketika Indonesia merdeka, semangat persatuan dan kerukunan ditegaskan dalam Pancasila, terutama sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini menegaskan bahwa Indonesia menghormati keberadaan agama-agama yang berbeda. Dalam UUD 1945, kebebasan beragama dijamin sebagai hak dasar setiap warga negara.
4. Masa Orde Lama (1945–1966)
Di bawah kepemimpinan Soekarno, pemerintah mencoba menjaga stabilitas kerukunan dengan mendukung kebijakan nasionalis dan menekankan semangat gotong royong. Namun, pada masa ini, ada ketegangan antara ideologi agama (Islam) dan komunisme, yang mencapai puncaknya pada peristiwa 1965.
5. Masa Orde Baru (1966–1998)
Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto menetapkan kebijakan yang lebih tegas terhadap pengakuan agama resmi (Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan kemudian Konghucu).
Kebijakan ini membantu menjaga stabilitas, tetapi kadang dianggap represif karena tidak memberi ruang cukup bagi keyakinan lokal atau aliran tertentu.
6. Masa Reformasi (1998–sekarang)
Era reformasi membawa kebebasan berpendapat dan beragama yang lebih luas. Namun, di sisi lain, muncul tantangan baru berupa konflik berbasis agama, seperti kerusuhan Ambon dan Poso.
Meskipun demikian, berbagai inisiatif untuk membangun kerukunan terus digalakkan, baik melalui pendidikan multikultural, dialog lintas agama, maupun peran tokoh agama.
Indonesia terus berupaya memelihara kerukunan beragama melalui lembaga seperti FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang bertujuan menjadi wadah dialog lintas agama.
Pemerintah juga menetapkan Hari Toleransi Internasional (16 November) sebagai momentum untuk memperkuat kerukunan.
Kerukunan beragama di Indonesia adalah hasil dari sejarah panjang toleransi dan adaptasi terhadap keberagaman. Meskipun pernah menghadapi tantangan, semangat Pancasila dan nilai-nilai budaya lokal terus menjadi landasan utama untuk menjaga persatuan di tengah perbedaan.
Penutup kalam harus diakui istilah kerukunan lebih mudah dimengerti dan sudah masuk dalam memori kolektif semua umat beragama serta sudah dirasakan sebagai kebutuhan bersama. Sedangkan istilah moderasi beragama masih memiliki resistensi dikalangan tokoh agama dan tidak jarang disalahpahami dan diberi tafsiran yang melampaui definisi yang sudah dibakukan dalam buku panduan moderasi beragama. Rasa akan sangat tepat dan arif bila Kementerian Agama RI kembali ke asal. Rukun, rukun, rukun.DS. 19122024.
*Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sumatera Barat