Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

MISKONSEPSI KEILMUAN (GAGAL PAHAM) Oleh: Duski Samad

Kajian tentang ilmu terpuji dan tercela lebih lanjut diuraikan oleh Imam Al Ghazali, bahwa adanya pengertian makna ilmu dapat membawa penyimpangan dan pengaburan ilmu sendiri. Perubahan pengertian, istilah atau terma telah menjadikan ilmu tidak lagi sesuai maksudnya atau terjadinya perubahan, menjadikan ilmu terpuji menjadi tercela. 

Kesalahan terhadap istilah atau penamaan ilmu disebut miskonsepsi. Miskonsepsi, dapat didefinisikan sebagai pemahaman yang salah atau kurang tepat tentang suatu konsep atau bahkan fakta yang sebenarnya. Ini adalah suatu kondisi dimana seseorang mengerti sesuatu dengan cara yang salah atau tidak akurat, atau dalam medsos, gagal pikir. 

Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar dalam tradisi Islam, memiliki pandangan mendalam tentang ilmu, termasuk terminologi dan konsep yang digunakan untuk mendeskripsikan ilmu. Memahami karya-karyanya, seperti Ihya' Ulumuddin bisa ditangkap beberapa poin penting terkait pandangannya terhadap ilmu:

1. Esensi Ilmu Tidak Berubah

Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu adalah cahaya yang Allah anugerahkan kepada manusia. Substansi ilmu itu sendiri tidak terpengaruh oleh istilah atau nama yang digunakan, tetapi istilah harus tetap menggambarkan kebenaran dan makna ilmu tersebut. Adalah perbuatan tercela bila ilmu juga dipakaikan untuk ilmu perbuatan tercela, seperti sihir, itu bukan ilmu karena membawa mudarat. 

Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alama, ya’lamu, ilman yang berarti mengerti , memahami benar-benar atau pengetahuan. Dalam bahasa Indonesia, ilmu sering disamakan dengan sains yang berasal dari bahasa Inggris “science”. Kata “science” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu “scio”, “scire” berarti pengetahuan. “Science”dari bahasa Latin “scientia”, artinya “pengetahuan” adalah aktivitas yang sistematis yang membangun dan mengatur pengetahuan dalam bentuk penjelasan dan prediksi tentang alam semesta.

Dalam pandangan Imam Al Ghazali, ilmu yang sejati bukanlah semata pengetahuan yang diserap dari luar, melainkan pengetahuan yang telah disucikan oleh akal dan hati. Ilmu yang sejati adalah ilmu yang berasal dari sumber yang benar, yaitu Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Dengan demikian, ilmu bukan hanya menjadi bekal untuk meraih kesuksesan dunia semata, namun lebih dari itu, ilmu juga menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat.

Imam Al Ghazali juga menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu. Bagi beliau, ilmu yang didapat tanpa didasari oleh akhlak yang baik bisa menjadi racun yang merusak jiwa seseorang. Oleh karena itu, dalam mengejar ilmu, seorang muslim dituntut untuk menjaga hati dan akalnya agar terhindar dari godaan syahwat dan hawa nafsu.

Jadi Imam Al Ghazali berpandangan sebagai umat Islam dapat menjadikan ilmu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, serta menjadikan ilmu sebagai ladang amal yang akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.

2. Bahaya Miskonsepsi Dalam Makna Ilmu

Al-Ghazali memperingatkan agar tidak menyalahgunakan istilah yang dapat mengaburkan esensi ilmu atau menyebabkan kerancuan. Baginya, ilmu memiliki dimensi yang sangat tinggi, terutama jika dikaitkan dengan pengetahuan tentang Allah (ma'rifatullah), sehingga mengganti istilah tanpa pemahaman yang benar dapat merusak tujuan ilmu itu sendiri.

Ma’rifat tidak sesulit digambarkan oleh sebahagian ahli tasawuf yang abstak. Makna ma'rifatullah juga bisa berarti sebagai jalan yang mengantarkan manusia untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Melalui ma'rifatullah, maka seorang muslim dapat menyadari tentang betapa besarnya kekuasaan Allah terhadap seluruh makhluk yang terdapat di bumi dan alam semesta ini.

Dalam bahasa Arab, "ma'rifat" berasal dari akar kata yang berarti pengetahuan atau pemahaman. Ma'rifatullah mengandung arti pemahaman yang lebih dari sekadar pengetahuan akademis, di mana hal ini mencakup tentang hubungan spiritual yang mendalam antara manusia dan Sang Pencipta.

Dalam Islam, ma’rifatullah adalah tujuan utama perjalanan spiritual, di mana individu berusaha untuk mendalami esensi Allah sebagai pencipta dan kehidupan semesta. Hal ini juga melibatkan merenungkan sifat-sifat-Nya, kebijaksanaan-Nya, serta melihat tanda-tanda keberadaan-Nya di seluruh ciptaan. Ma'rifatullah juga membantu mengarahkan tindakan ke arah yang benar, didorong oleh rasa ketergantungan dan cinta kepada Allah.

Pemahaman tentang Allah juga mendorong individu, untuk berpartisipasi dalam masyarakat, membantu yang membutuhkan, dan memperjuangkan keadilan. Ma’rifatullah tidak hanya menjadi pengetahuan teoritis, tetapi meresap ke dalam hati dan tindakan, membentuk karakter dan arah hidup seseorang.

3. Pentingnya Kontekstualisasi

Al-Ghazali adalah seorang ulama yang sangat kontekstual. Dalam beberapa tulisannya, ia membedakan antara ilmu duniawi dan ukhrawi, serta mendorong penggunaan istilah yang sesuai dengan konteks dan audiensnya. Misalnya, ia mengkritik para filosof karena menggunakan istilah-istilah yang sulit dipahami orang awam, yang berpotensi menjauhkan orang dari kebenaran.

Bagi Al-Ghazali, ilmu harus selalu diarahkan untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Jika penggantian istilah bertujuan untuk memperbaiki pemahaman dan tidak melanggar syariat, maka hal itu bisa diterima. Namun, jika hanya untuk mengikuti tren atau menghilangkan nilai spiritual, beliau tentu akan menentangnya.

Dalam kajian bahasa ada istilah eufemisme. Eufemisme adalah penggunaan kata atau ungkapan yang lebih halus atau sopan untuk menggantikan kata atau ungkapan yang dianggap kasar, kurang enak didengar, atau tabu. Tujuannya adalah untuk menjaga kesopanan atau menghindari menyinggung perasaan orang lain.

Contoh: "Meninggal dunia" sebagai pengganti "mati." "Kurang beruntung" sebagai pengganti "miskin." "Petugas kebersihan" sebagai pengganti "tukang sapu." Namun ada eufisme yang mengubah yang tak baik, seolah-olah baik, misalnya kata “pengangguran” dengan “tuna karya” dst. 

Dalam kitab ihya Imam Al Ghazali menuliskan ada lima jenis ilmu yang dikecilkan atau salah di artikan dengan makna yang tak seluas maksudnya, biasanya itu dilakuan oleh pencinta ilmu itu sendiri. Kelima istilah ilmu adalah yaitu fiqih, ilmu, tauhid, tazkir wa tazkir dan hikmah.

Fiqih

Fiqih, arti bahasanya faham, sering dimengerti sebatas ilmu yang berkaitan dengan hukum dan syariat dalam makna petunjuk bagaimana syariat dilakukan. Padahal fiqih ilmu yang sifatnya luas, mendalam dan berkaitan dengan semua urusan agama Islam. Bacalah al-Qur’an ada kata tafaqquh fiddin QS. Al-Taubah (9):122) dan al-‘Araf 179.

Ilmu

Kata al-Ilmu mestinya dengan mengunakan alif lam ma’rifah yaitu segala dan semua jenis pengetahuan yang bersambung dengan kemahakuasaan Allah, bukan ilmu untuk pemenuhan logika, akal pikiran dan kemampuan untuk berdebat saja. Bacalah surat al-Imran 18 dan surat Al-Baqarah, 32. Allah menyebut ahli ilmu dengan ulama yang hanya takut kepada Allah saja, (QS. Al-Fatir, 28). 

Tauhid 

Penjelasan tentang tauhid bukan dalam makna penggunaannya untuk perdebatan, logika ketuhanan (ilmu kalam) tetapi yang harus diperkuat adalah menjaga hati untuk teguh pada keesaan murni, wahhada yuwahidu, tauhidan, artinya sempurna keesaannya bersih dari mempertuhan hawa nafsu (QS. Al-Furqan, 43).

Tauhid adalah pembeda utama muslim dengan musyrik. Tauhid itu ada pada penerimaan terhadap surat al-Ikhlas dan ketegasan pada pesan surat al-Kafiruun. Tauhid yang khalis dan murni (lahiyat). Menurut Imam Al-Ghazali, tauhid (mengesakan Allah) memiliki makna yang mendalam dan mencakup berbagai tingkatan pemahaman yang tidak hanya berhubungan dengan ucapan lisan (syahadat), tetapi juga mencakup aspek spiritual, intelektual, dan praktis dalam kehidupan seorang Muslim. Dalam berbagai karyanya, seperti Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali membahas tauhid dengan sangat mendalam. 

Beberapa makna dan dimensi tauhid menurut Imam Al-Ghazali:

1. Tauhid Lisan (Tauhid Formal)

Ini adalah tingkat dasar tauhid, yaitu pengakuan melalui lisan bahwa la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Pada tingkat ini, seseorang memahami dan mengakui keesaan Allah secara verbal. Tauhid ini sering kali menjadi dasar keimanan setiap Muslim. Namun, menurut Al-Ghazali, tauhid pada level ini belum mencakup pemahaman mendalam tentang esensi keesaan Allah. Penekanan: Tauhid lisan perlu diikuti dengan pemahaman dan praktik, bukan sekadar pengucapan.

2. Tauhid Ilmiah (Tauhid Akal)

Pada tingkatan ini, seseorang memahami keesaan Allah melalui akal dan dalil rasional. Al-Ghazali menekankan pentingnya ilmu dan merenungkan tanda-tanda keesaan Allah di alam semesta sebagai bukti keberadaan dan keesaan-Nya. Tauhid ini melibatkan pemahaman tentang Allah sebagai satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta. "Dan Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan Kami) di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar." (QS. Fussilat [41]: 53)

3. Tauhid Hakiki (Tauhid Spiritual)

Ini adalah tingkat yang lebih tinggi, di mana seseorang tidak hanya mengakui keesaan Allah, tetapi juga menyaksikan keesaan-Nya dalam segala sesuatu. Dalam tingkatan ini, seseorang menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, dan tidak ada kekuatan atau pengaruh apa pun kecuali dari-Nya. Tauhid ini melibatkan penyucian hati dari ketergantungan kepada selain Allah. Penekanan: Tauhid hakiki dicapai ketika seorang Muslim melepaskan diri dari kecintaan pada dunia dan hanya bergantung pada Allah.

4. Tauhid Sempurna (Tauhid Ma'rifah)

Ini adalah tingkatan tertinggi dalam tauhid menurut Al-Ghazali, yang hanya bisa dicapai oleh para arif billah (orang yang benar-benar mengenal Allah). Pada tingkat ini, seseorang menyatu dalam pemahaman bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan hidup. Orang yang mencapai tauhid ma'rifah tidak lagi terpengaruh oleh apa pun di dunia ini, karena mereka sepenuhnya menyadari kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan. Penekanan: Pada level ini, semua bentuk kehendak dan keinginan pribadi lenyap, digantikan oleh kehendak Allah.

Tauhid bukan hanya pengakuan verbal, tetapi perjalanan spiritual yang melibatkan: (1). Pemahaman rasional tentang Allah. (2). Pembersihan hati dari selain Allah. (3). Pengalaman spiritual yang mendalam untuk menyaksikan keesaan Allah dalam segala sesuatu.

Imam Al-Ghazali juga mengingatkan bahwa tauhid sejati hanya dapat dicapai melalui keikhlasan (ikhlas), ibadah yang benar, serta perenungan mendalam tentang sifat-sifat Allah dan tanda-tanda kebesaran-Nya.

Dzikir wa Tadzikir, 

Makna dzikir sering kali direduksi dan disederhanakan dengan membaca asmaul husna, tasbih, tahmid berulang-ulang, ia lupakan bahwa dzikir itu asli mengaji dan mengkaji al-Quran yang membawa manfaat bagi orang mukmin, (QS. Al-Dzariyat 55). Maksud dari terma Majlis dzikir aslinya belajar, kecuali setelah Abu Bakar baru kelompok yang berdzikir sebagaimana yang banyak di akhir zaman ini. 

Hikmah

Istilah hikmah itu mulia dan pencapaian tertinggi, adalah keliru bila hikmah dimaknai dengan ahli nujum, paranormal, orang pintar, padahal Allah memuji ahli hikmah (QS. Al-Baqarah 269). 

Makna hikmah dalam Al-Qur'an memiliki dimensi yang luas dan mendalam, sering kali dikaitkan dengan kebijaksanaan, pengetahuan, dan kemampuan untuk bertindak secara tepat berdasarkan ilmu dan pengalaman. Kata hikmah disebutkan beberapa kali dalam Al-Qur'an dengan berbagai konteks. Berikut beberapa makna utama yang dapat diambil dari penggunaan kata hikmah dalam Al-Qur'an:

1. Kebijaksanaan Ilahiah

Hikmah sering merujuk pada kebijaksanaan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, sebagai anugerah khusus. Orang yang diberi hikmah memiliki kemampuan untuk memahami dan mengamalkan kebenaran secara benar. Makna ini menegaskan bahwa hikmah adalah karunia Allah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki kedalaman iman dan pemahaman.

2. Kemampuan Menyampaikan dengan Bijak

Hikmah juga dapat bermakna kemampuan berdakwah atau mengajak kepada kebenaran dengan cara yang bijaksana, penuh kasih, dan sesuai dengan keadaan orang yang dihadapi."Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."(QS. An-Nahl [16]: 125). Hikmah di sini mengajarkan pentingnya memahami situasi dan kondisi audiens dalam menyampaikan ajaran Islam.

3. Pemahaman Mendalam terhadap Syariat

Hikmah juga dikaitkan dengan pemahaman mendalam terhadap hukum-hukum Allah dan kemampuan untuk mengamalkannya. Dalam konteks ini, hikmah sering dipasangkan dengan Kitab, seperti dalam penyebutan Taurat, Injil, dan Al-Qur'an."...Allah mengajarkan kepadamu Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui."(QS. Al-Baqarah [2]: 151). Di sini, hikmah bisa bermakna penerapan praktis dari ajaran kitab Allah atau pemahaman yang lebih dalam dari sekadar membaca teksnya.

4. Kearifan dalam Bertindak

Hikmah juga mencakup kemampuan untuk bertindak dengan benar di waktu dan tempat yang tepat. Orang yang memiliki hikmah mampu membuat keputusan yang baik berdasarkan ilmu, iman, dan pemahaman terhadap konsekuensi dari tindakannya. Makna hikmah selalu berkaitan dengan kebijaksanaan yang mendekatkan manusia kepada Allah dan membuatnya mampu menjalani hidup dengan cara yang diridhai-Nya.

Kesimpulan salah paham, miskonsepsi tentang ilmu dapat menurunkan hakikat ilmu dan membawa ilmu yang terpuji menjadi tercela. Maka sesuaikan konteks ilmu pada asasnya dan perkuat ilmu dengan adab dan semua bidang ilmu capaian apapun wajib tunduk dalam kekuasaan yang Maha mengatur (Rabul'alamin). Semoga ilmu menjadi jalan dekat kepada-Nya, amin. DS> 24122024. 

*Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin, Selasa, 24 Desember 2024, Kitab Ihya Ulumuddin, Juz I, al. 45-53

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies