Islam memberikan aturan hukum dan ketentuan moral tentang kepemilikan harta dan kekayaan umumnya. Salah satu dari lima maqasidi syariah (tujuan yang hendak diwujudkan oleh syariah) adalah hifzul maal (menjamin kepemilikan, empat yang lainnya hifdzul nafs (menjaga nyawa), hifdzul al-Aql (menjamin sehatnya akal), menjamin al- nasl (kesucian keturunan) dan hifzl al-diin (menjamin keyakinan beragama).
Untuk terwujudnya tata kelola kepemilikan, penguasaan asset dan sistim transaksi yang baik ada aturan-aturan (syariah) yang dijelaskan oleh ulama melalui fiqih (hukum Islam), disamping juga ditetapkan aturan moral (akhlak). Aturan itu ada yang bersifat tetap (qathi’ dan tauqifi) tidak diperdebatkan lagi, ada pula yang zhanni (artinya bisa ada perbedaan) dan ijtihadi (pengembangan ulama yang punya otoritas).
Prinsip hukum dan moralitas Islam tentang tata kelola mendapatkan, mengelola dan mendistribusikan keuangan, kepemilikan dan aspek ekonomi lainnya begitu penting adanya. Ayat terpanjang adalah tentang sistim perdagangan Islam, (QS. Al-Baqarah, (2); 282). Sebelumnya mulai ayat 298-281 dinyatakan tentang prinsip larangan riba, larangan menzalimi dan dizalimi, lebih mengedepankan prinsip maysarah (memudahkan) dan mendorong untuk lebih banyak memberi (bersedekah).
Judul menolak yang tidak pasti, tidak jelas ada unsur yang menimbulkan sengketa di atas diangkat dari asbabun nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 188.
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.
Umru’ul Qais bin Abis dan Abdan bin Asywa’ Al-Hadhramiy yang bertengkar soal tanah. Umru’ul Qais berusaha mendapatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan bersumpah di depan hakim. Ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan jalan batil.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, bahwa hal ini berkenaan dengan seseorang yang mempunyai tanggungan harta kekayaan tetapi tidak ada saksi terhadapnya dalam hal ini, lalu ia mengingkari harta itu dan mempersengketakannya kepada penguasa, sementara itu ia sendiri mengetahui bahwa harta itu bukan menjadi haknya dan mengetahui bahwa ia berdosa, memakan barang haram. Demikian diriwayatkan dari Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, As-Suddi, Muqatil bin Hayyan dan Abd Ar-Rahman bin Zaid bin Aslam, mereka semua mengatakan, “Janganlah engkau bersengketa sedang engkau mengetahui bahwa engkau zalim.”
Persengketaan antara orang dengan orang, sesama kelompok dan juga sengketa dengan penguasa, maka para pihak mesti dapat membuktikan dan jika tidak ada bukti kepemilikan maka wajib ada saksi, jika tidak ada juga maka pihak yang menyatakan miliknya harus mau bersumpah. Jangan bersumpah dengan barang yang bukan milik dan jangan pula mengunakan cara-cara menyuap hakim untuk memenangkan yang tak pasti milik kita.
Ada tiga larang akhlak Islam dan berujung pada kepastian hukum kepemilikan (1) mesti al-haq (legalitas)nya sah, (2) sistim dan tata kelola bisnisnya tidak didapatkan dengan cara curang, suap, sumpah palsu, saksi palsu dan membohongi hakim dan (3) tidak ada dosa (keharaman) dalam semua transaksinya.
Ayat lain Surat Al-Imran Ayat 16 yang dengan tegas menyatakan bahwa kelak pada hari kiamat, Allah menegaskan bahwa pelaku curang, korupsi dan perbuatan yang mengambil hak orang dengan cara tidak sah akan hadir membawa apa yang telah dikhianati dan dicurinya. Contohnya, orang yang mencuri harta orang miskin akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya yang tidak adil tersebut. Ini merupakan hukuman akhirat bagi pelaku koruptor dan pengemplang pajak serta pemungut fee, komisi dan apapun yang ujungnya mencuri uang rakyat.
Dalam al-Quran Surat Ali Imran [3] ayat 161 disebutkan akibat dari kejahatan korupsi dan pengembalian bukan yang hak sendiri.
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Artinya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Q.S Al-Imran:16)
KRITIK AL-QURAN TERHADAP PENYIMPANGAN DAN KORUPSI
Al-Qur'an memberikan kritik yang cukup tajam terhadap pemuka agama Yahudi dan Nasrani yang melakukan penyimpangan, dan korupsi, baik dalam hal moral maupun penyalahgunaan agama untuk kepentingan duniawi. Berikut adalah beberapa ayat yang relevan:
1. Pemutarbalikan Kitab dan Penyembunyian Kebenaran. Dalam surat Al-Baqarah (2): 79 dinyatakan…artinya”Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka mengatakan: 'Ini dari Allah,' untuk memperoleh keuntungan yang sedikit. Maka celakalah mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celakalah mereka karena apa yang mereka kerjakan."
Ayat ini mengkritik tindakan sebagian pemuka agama Yahudi yang memalsukan kitab suci demi keuntungan duniawi, baik berupa kekuasaan, harta, atau pengaruh termasuk mereka yang menjustifikasi penyimpangan dengan mengunakan dalil agamanya.
2. Menjual Ayat-Ayat Allah dengan Harga Murah. Surat Ali Imran (3): 187. Artinya.."Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): 'Hendaklah kamu menerangkannya kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,' tetapi mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga yang sedikit. Maka amat buruklah apa yang mereka tukar itu."Ayat ini menegaskan pemuka agama diperingatkan agar tidak menyembunyikan kebenaran atau menjual agama demi keuntungan materi.
3. Makan Harta Orang dengan Jalan Batil. Dalam surat At-Taubah (9): 34…"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari para pendeta dan rahib itu memakan harta manusia dengan cara batil dan menghalangi (mereka) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih." Ayat ini mengkritik para pemimpin agama yang menggunakan agama sebagai alat untuk memeras harta umat.
4. Sikap Munafik dan Tidak Mengamalkan Ajaran. Dalam Surat Al-Baqarah (2): 44..artinya "Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu berpikir?" Kritik ini diarahkan kepada orang-orang yang memimpin umat tetapi tidak mengamalkan apa yang mereka ajarkan.
Kritik dalam ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa pemimpin agama memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga integritas mereka. Penyimpangan seperti korupsi, memalsukan wahyu, atau mengeksploitasi umat dianggap sebagai dosa besar. Al-Qur'an menekankan bahwa agama seharusnya menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari keuntungan duniawi.
Penutup kalam diingatkan bahwa menolak yang tidak pasti dalam mendapatkan harta adalah indikasi kuatnya integritas. Hukum dan moral bukan terpisah, tetapi menyatu. Muslim yang berintegritas di antaranya dapat menjaga kepemilikan yang sah dan berakhlak mulia, yaitu (1) al-haq (legalitas)nya sah, (2) tata kelola bisnisnya tidak didapatkan dengan cara curang, suap, sumpah palsu, saksi palsu dan membohongi hakim dan (3) tidak ada dosa (keharaman) dalam semua transaksinya, seperti riba, ihtikar (bisnis curang dan monopoli) dan cara lain apa saja yang membawa pada kezaliman atau dizalimi. Sungguh sangat mesti dipastikan bahwa hukum dalam agama (halal, haram, boleh, makruh, subhat) dan akhlak dalam Islam bukanlah sesuatu yang bisa dipisahkan, tetapi menyatu (kaffah). Pelanggaran hukum dan akhlak dalam bisnis, tidak dapat dikompensasikan dengan umarh, sadaqah dan perbuatan baik manapun. Semoga kita menjadi muslim yang kaffah, syumul dan rahmat untuk semesta. Amin.06122024.
*Guru Besar UIN Imam Bonjol
Kajian ASN Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, Jum’at. 6 Desember 2024