Jimmy Ibnu Suardi Tuanku Sidi |
Pada tahun 1977, diadakan konferensi Internasional Pendidikan Islam pertama di Mekkah, Saudi Arabia. Salah satu pembicara adalah Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas.
Pada kesempatan itu, Al Attas menyampaikan bahwa problem utama umat Islam saat ini adalah hilangnya adab (loos of Adab). Konsep adab bukanlah hal baru dalam Islam. Para ulama menekankan penting dan strategis konsep ajaran Islam ini. Banyak ulama menulis tentang adab, beberapa diantaranya seperti Al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhari, Adab al-Dunya wa al-Din karya Imam al-Mawardi, Al-Adab fi al-Din karya Imam al-Ghazali, Al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qurán karya Imam Nawawi, Fath al-Mubin fima Yata’allaq bi Umur al-Din, karya Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, Adab al-Insan karya Sayyid Utsman ibn Yahya, Adab al-Álim wa al-Mutaálim karya K.H. Hasyim Asyári, dan banyak lagi.
Sebagai konsep penting dalam Islam, dalam kitab al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq karya Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab r.a. menyebut; taadabu tsumma taálamu (beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian). Dalam kitab al-Luma’fi Tarikh al-Tashawwuf al-Islami, karya Abu Nashr al-Sarraj, Ulama besar Ibnu Mubarak menyatakan, “kami lebih membutuhkan sedikit adab daripada ilmu yang banyak.”.
Ia juga menceritakan “Jika aku diceritakan tentang seseorang yang memiliki ilmu generasi terdahulu dan yang akan datang, aku tidak menyesal jika tidak sempat berjumpa dengannya. Namun jika aku mendengar ada seorang yang memiliki adab kepribadian yang baik, aku sangat berharap bisa berjumpa dengannya.”
Dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin fi al-Qarn al-Asyir ála ma Khalafu fihi salafahum al-Thahir, karya Abdul Wahhab al-Sya’rani, diceritakan bahwa salah seorang murid Imam Malik, yakni Abdurrahman ibn al-Qasim, menyatakan, “Aku berkhidmat kepada Imam Malik selama 20 tahun, 18 tahun dihabiskan untuk mempelajari adab, dan hanya dua tahun mempelajari ilmu”.
Lalu Imam Syafií juga pernah ditanya “Bagaimana keinginanmu tentang adab?” Ia menjawab, “Ketika aku mendengar satu hal tentang adab maka seluruh anggota tubuhku merasakan nikmat karenanya.” Ia ditanya lagi “Bagaimana engkau mencari adab?” Imam Syafií menjawab “Seperti seorang Wanita yang kehilangan anaknya dan ia tidak memiliki apapun selain anak itu.”
Pun dalam historiografi Syeikh Burhanuddin Ulakan, disebut oleh guru-guru surau Minangkabau, bahwa Syeikh Burhanuddin menghabiskan masa belajarnya dengan lebih banyak berkhidmat kepada gurunya yakni Syeikh Abdurrauf Singkil, dimana hal ini menunjukan bahwa belajar adab kehidupan langsung kepada guru adalah hal yang utama, tanpa mengurangi pentingnya mempelajari ilmu.
Abu al-Qasim al-Qusyairy menyatakan dalam al-Risalat al-Qusyairiyah, bahwa esensi adab adalah gabungan semua sikap yang baik (ijtima’jami’khisal al-khair). Oleh karena itu menjadi orang yang beradab berarti menghimpun sikap baik dalam dirinya.
Imam al-Ghazali menjelaskan adab merupakan pendidikan diri lahir dan bathin (wal adab ta’dib al-zahir wa al-bathin) yang mengandung empat perkara; perkataan, perbuatan, keyakinan dan niat seseorang.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, menyatakan adab adalah aplikasi atau pengamalan akhlak yang baik (isti’mal al-khuluk al-jami’). Karena itu adab merupakan aktualisasi kesempurnaan karakter dari potensi menuju aplikasi.
Al-Syarif Ali Ibn Muhammad al Jurjani memposisikan adab sebagai pengetahuan. Dia mendefinisikan adab dengan pengetahuan yang menjaga pemiliknya dari berbagai kesalahan (ma’rifatu ma yuhtarazu bihi an jamií anwa al-khata’).
Di era kontemporer saat ini, Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam bukunya, The Concept of Education in Islam, menjelaskan tentang adab, yakni; “Adab is recognition, and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchichally according to their various grades and degrees of rank and of one’s proper place in relation to that reality and to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potensial".
Terjemahan bebasnya, Adab adalah pengenalan, dan pengakuan terhadap kenyataan, bahwa ilmu dan wujud tersusun secara hierarkis menurut berbagai tingkatan dan derajat kepangkatan, serta kedudukan yang pantas seseorang dalam kaitannya dengan kenyataan tersebut, serta dengan kapasitas dan potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya.
Pada kesempatan lain Al-Attas mengaitkan adab dengan hikmah, dan kemudian memaknainya dengan tindakan yang benar yang berasal dari disiplin diri yang dibangun di atas ilmu dan bersumberkan hikmah (right action that springs from self-discipline founded upon knowledge whose source is wisdom). Betapa pentingnya posisi adab dalam tradisi keilmuan Islam. Sehingganya untuk kembali mambangkik tareh nan tarandam umat Islam, khususnya di Sumatera Barat, Minangkabau tiada lain mestilah mengedepankan adab. Solusi untuk mengurai akar krisis umat Islam dewasa ini, yaitu ‘hilang adab.’