Tidak ada perbedaan yang berarti di kalangan sejarawan bahwa Islam masuk ke Nusantara (Indonesia dan negara Asia Tenggara) adalah bercorak tasawuf karena memang penyebar Islam generasi awal sufi pengembara.
Sufi pengembara memainkan peran penting dalam proses islamisasi di Nusantara. Mereka tidak hanya menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga menanamkan nilai-nilai yang selaras dengan budaya lokal, sehingga Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat setempat.
Para sufi, melalui tarekat-tarekat yang mereka bawa, memperkenalkan ajaran Islam dengan pendekatan yang lembut dan toleran. Mereka menekankan aspek spiritualitas (tasawuf) yang mudah diterima oleh masyarakat yang sebelumnya menganut kepercayaan Hindu-Buddha atau Animisme.
Sufi pengembara sering menggunakan seni, seperti syair, musik, dan tarian, untuk menyampaikan pesan agama. Contohnya, tradisi seperti wayang kulit atau gamelan dimanfaatkan sebagai medium dakwah dengan menambahkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Permainan anak nagari silek, indang dan tari di Minangkabau.
Para sufi mendirikan pesantren, surau, dan halaqah tarekat sebagai pusat pendidikan agama. Pesantren, surau dan lembaga awal ini menjadi tempat belajar Al-Qur'an, fikih, dan tasawuf. Contohnya adalah pesantren-pesantren yang didirikan Walisongo di Jawa, Dayah dan Rangkang di Aceh serta Surau di Minangkabau.
Para sufi sering berperan sebagai pemimpin spiritual masyarakat. Mereka memberikan bimbingan moral, menyelesaikan konflik sosial, dan menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Ini membuat mereka dihormati dan dipercaya oleh masyarakat.
Sebagai pengembara, para sufi sering berinteraksi dengan para pedagang. Jaringan perdagangan ini menjadi sarana efektif dalam menyebarkan Islam ke berbagai wilayah, mulai dari pesisir hingga pedalaman Nusantara.
Di antara tokoh sufi dalam Islamisasi Nusantara Syekh Siti Jenar: Dikenal sebagai sufi kontroversial yang mengajarkan aspek keesaan Tuhan (wahdatul wujud). Walisongo dengan tokoh-tokoh seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang menggunakan pendekatan sufi dalam dakwah mereka. Syekh-Syekh penyebar Islam di kerajaan Islam tertua di Samudera Pasai juga menyebarkan Islam bercorak tasawuf.
Masa kejayaan Islam di Darussalam Aceh dalam kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1637M) dan Sultan berikutnya peran sufi, tasawuf dan tarekat dalam pergerakan Islam adalah penting. Dalam perkembangan berikutnya dakwah tarekat Syathariyah dibawa ke Minangkabau oleh Syekh Burhanuddin (1646-1696 M) di Ulakan, Padang Pariaman memakai pendekatan tasawuf dan tarekat.
Melalui metode yang fleksibel, spiritual, dan selaras dengan tradisi lokal, para sufi pengembara berhasil menjadikan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas Nusantara.
KARAKTERISTIK TASAWUF LOKALITAS
Tasawuf lokalitas adalah konsep tasawuf (mistisisme Islam) yang menyesuaikan ajaran dan praktik tasawuf dengan nilai-nilai budaya, tradisi, dan kearifan lokal di suatu wilayah. Tasawuf ini berkembang dengan mempertimbangkan konteks sosial-budaya masyarakat setempat, sehingga lebih mudah diterima dan relevan dengan kehidupan mereka.
Dalam konteks Indonesia, tasawuf lokalitas sering diintegrasikan dengan budaya lokal seperti seni, tradisi, atau kearifan lokal. Menggabungkan ajaran tasawuf dengan nilai-nilai spiritual Jawa, seperti harmoni, keseimbangan, dan penghormatan kepada leluhur.
Zikir dan Tari Sufi Aceh dikaitkan dengan seni tari, seperti Saman, yang memiliki dimensi spiritual. Para wali mengajarkan tasawuf dengan pendekatan budaya lokal, seperti wayang, tembang, dan arsitektur, untuk menyebarkan Islam secara damai.
Karateristik utama tasawuf lokalitas adalah fleksibilitas dan kemampuannya untuk beradaptasi tanpa kehilangan esensi ajaran Islam. Ini bertujuan untuk menyentuh hati masyarakat dengan pendekatan yang lebih dekat dengan keseharian mereka.
KHALIFAH DALAM TAREKAT
Khalifah dalam tarekat adalah gelar atau jabatan yang diberikan kepada seseorang yang dianggap layak untuk melanjutkan dan menyebarkan ajaran tarekat tertentu. Khalifah biasanya memiliki peran penting sebagai pemimpin spiritual yang bertugas membimbing murid-murid tarekat (murid atau salik) dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah.
Peran dan fungsi khalifah dalam tarekat adalah pemimpin spiritualitas. Khalifah adalah perpanjangan tangan dari seorang mursyid (guru tarekat utama) dalam membimbing pengikutnya. Ia bertugas memastikan ajaran tarekat tetap murni dan sesuai dengan syariat serta pedoman tarekat.
Khalifah membimbing murid dalam menjalankan praktik tarekat seperti zikir, wirid, dan latihan rohani lainnya. Ia juga membantu murid mengatasi hambatan spiritual dalam perjalanan menuju ma'rifatullah (pengenalan Allah).
Khalifah ditugaskan oleh mursyid untuk menyebarkan ajaran tarekat ke wilayah tertentu. Ia membuka cabang-cabang tarekat baru (zawiyah atau surau) di bawah pengawasannya.
Khalifah sering dianggap sebagai penerus spiritual yang menerima sebagian dari ilmu dan karomah (keistimewaan) yang dimiliki oleh mursyidnya.
Dalam tarekat yang memiliki struktur hierarkis, khalifah menjadi perantara antara mursyid dan murid-murid. Ia memastikan semua ajaran mursyid tersampaikan dengan benar.
Syarat menjadi khalifah memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam, baik syariat maupun hakikat. Biasanya dipilih langsung oleh mursyid saat hidup, bila sudah wafat didasarkan pada silsilah tarekat dan diterima murid-murid tarekat tersebut karena kedekatan spiritual dan kompetensi.
Khalifah harus memiliki akhlak yang menjadi teladan bagi murid lainnya.
Mampu memimpin dan membimbing murid secara spiritual.
Di Nusantara, peran khalifah sangat penting dalam menjaga keberlanjutan ajaran tarekat, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat tarekat. Dalam Tarekat Syathariyah, khalifah memainkan peran utama dalam menyebarkan ajaran, seperti yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin di Minangkabau.
Di Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, khalifah ditunjuk untuk membuka zawiyah baru di wilayah-wilayah pelosok. Khalifah bukan sekadar jabatan administratif, melainkan amanah spiritual yang besar untuk menjaga kemurnian dan keberlanjutan ajaran tarekat.
KHALIFAH SYEKH BURHANUDDIN ULAKAN
Sejatinya makna khalifah dalam Tarekat Syathariyah, seperti juga tarekat lainnya, adalah pemegang mandat amanah spiritual yang dibuktikan dengan silsilah tarekat dan praktik amaliyahnya.
Di lingkungan Tarekat Syathariyah, khususnya lokalitas Minangkabau, khalifah itu tidak tunggal, dan sudah dalam ingatan kolektif penganut Tarekat Syathariyah bahwa setiap seorang Syekh Tarekat dapat mempunyai beberapa khalifah.
Pengamal Syathariyah di Piaman laweh dikenal ada khalifah Syekh Burhanuddin silsilah Surau Tanjung Medan, ada silsilah Tuanku Karimun di Sikabu Ulakan dan ketiga ada khalifah Surau Pondok Ulakan.
Ketiga khalifah ini memiliki silsilah tarekat dan itu sah dan boleh saja, karena memang setiap murid dapat saja diakui oleh jamaahnya sebagai khalifah. Sedangkan dalam konteks lokalitas adat, istiadat dan sistim sosial di Nagari Ulakan ketiga khalifah tersebut tentu ada yang mendapat atau diterima secara adat dan sistim sosial mereka.
Perbedaan dan penerimaan kearifan lokal di Ulakan tentu harus dihormati dan silakan dicarikan solusinya oleh pemegang mandat adat dan budaya setempat. Sasek di ujung jalan, baliak ka pangka jalan. Kusuik bulu paruah manyalasaikan.
Amat sangat patut diketahui bahwa istilah khalifah dalam tarekat aslinya tidak ada sangkut paut dengan politik kekuasaan, budaya, adat dan hubungan dunia, kecuali sebatas hubungan spiritual (ruhaniyah) yang diamanahi oleh guru spiritual. Oleh karenanya harap maklum bila di Piaman khususnya di lingkungan Tarekat Syathariyah ada banyak khalifah, yang cukup populer juga khalifah Tuanku Saliah, dan Khalifah Tuanku lainnya. DS. Wali Ela#kua@sintoga 18122024.
*Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Imam Bonjol