Satu di antara issues sosial yang berkaitan dengan harmoni, kerukunan dan toleransi di Sumatera Barat adalah menempatkan Islam dan adat Minangkabau sebagai hambatan (bariier) untuk hadirnya toleransi di ranah Bundo Kanduang ini. Padahal jika mau belajar pada sejarah bahwa sejak awal datangnya Islam di daerah ini, masa penjajahan, era pasca kemerdekaan dan era digital tidak ada catatan berarti bahwa Islam dan adat menjadi faktor penghalang kerukunan, harmoni dan toleransi.
Berdirinya rumah ibadah non muslim di tengah masyarakat mayoritas Islam, terjalinnya hubungan ekonomi, sosial dan kemasyarakatan umat lintas agama dan beragamnya agama yang nyaman melakukan aktivitas keagamaan masing-masing, adalah fakta sosial bahwa kerukunan, harmoni dan toleransi berjalan baik dan efektif.
Tulisan ini hadir untuk memberikan penjelasan bahwa Islam, dan adat Minangkabau yang sudah dibakukan dengan terma adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK) sama sekali tidak menjadi faktor penghambat harmoni, rukun dan toleransi antar umat lintas agama. Menghindari kesalahpahaman ingin dikedepankan relevansi Islam dan adat Minangkabau tersebut.
Relevansi Islam dan adat Minangkabau sangat signifikan karena keduanya telah berakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, membentuk identitas sosial dan budaya yang unik. Relevansi ini terlihat melalui konsep "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (adat bersendi syariat, syariat bersendi Al-Qur'an).
Keselarasan nilai dasar, Islam sebagai panduan moral memberikan kerangka nilai dan hukum, seperti keadilan, kebenaran, dan kepatuhan kepada Allah. Nilai-nilai ini selaras dengan adat Minangkabau yang menekankan musyawarah, kebersamaan, dan penghormatan kepada yang lebih tua. Adat menjadi medium untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam hubungan sosial, ekonomi, dan budaya.
Harmonisasi tradisi dengan syariat, upacara adat berbasis Islam. Tradisi seperti baralek gadang (pernikahan besar) dan batagak pangulu (pengangkatan pemimpin adat) dilakukan sesuai syariat Islam, termasuk adanya doa, tausiyah, dan tata cara yang islami. Begitu juga norma sosial, yaitu norma adat seperti pantang larangan didasarkan pada prinsip halal-haram dalam Islam, sehingga adat tidak bertentangan dengan syariat.
Peran syara’ dalam struktur adat. Dalam sistem adat Minangkabau, ulama (syara’) memiliki peran penting sebagai penjaga moral dan penafsir hukum agama yang diterapkan dalam adat. Adat tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam. Jika ditemukan ketidaksesuaian, adat akan diubah atau disesuaikan.
Konteks ekonomi dan sosial, keadilan ekonomi, prinsip basamo-samo (gotong royong) dalam adat mendukung praktik zakat, sedekah, dan wakaf dalam Islam, menciptakan harmoni sosial. Kedudukan Perempuan, sistem matrilineal Minangkabau tidak bertentangan dengan Islam karena masih mengakui kewenangan laki-laki dalam aspek syariat, seperti kewajiban sebagai pemimpin keluarga.
Relevansi kontemporer, di era modern, adat dan Islam menjadi landasan identitas bagi masyarakat Minangkabau di tengah arus globalisasi. Contohnya, pelaksanaan pendidikan agama di surau dan kurikulum berbasis adat masih relevan untuk mendidik generasi muda. Adat menjadi sarana untuk menjaga harmoni dalam masyarakat, sedangkan Islam memberikan bimbingan spiritual dalam menghadapi tantangan modern.
Filosofi kehidupan, prinsip seperti "alam takambang jadi guru" (alam yang terbentang menjadi guru) dalam adat Minangkabau memiliki nilai islami karena mencerminkan perintah untuk belajar dari ciptaan Allah dan mengambil hikmah dari kehidupan. Adat Minangkabau dan Islam bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan saling melengkapi. Islam memberikan landasan spiritual dan hukum, sementara adat memberikan bentuk sosial dan budaya yang sesuai dengan ajaran Islam. Harmoni ini menjadikan masyarakat Minangkabau mampu menjaga identitasnya meskipun menghadapi perubahan zaman.
EFEKTIVITAS ADAT DAN SYARAK
Diskusi apakah dat dan syarak (baca Islam) masih efektif bagi etnis Minangkabau kontemporer? Banyak penelitian dan penjelasan untuk menjawabnya, namun ada kesadaran kolektif pemimpin dan tokoh masyarakat adalah modal sosial untuk menjadikan Islam dan adat efektif sebagai pedoman.
Mengenali apa faktor yang kurang efektifnya Islam dan adat kontemporer ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk kesadaran kolektif. Ada beberapa faktor yang menyebabkan adat dan agama menjadi kurang efektif di era digital, beberapa penyebab utamanya:
1. Informasi Berlimpah dan Tidak Tersaring
Media digital memberikan akses informasi tanpa batas, termasuk yang bertentangan dengan adat dan agama. Arus informasi yang tidak terfilter ini seringkali membuat orang bingung dan sulit membedakan antara yang sesuai nilai-nilai tradisional dan yang tidak.
2. Individualisme yang Meningkat
Era digital cenderung mendorong individualisme, di mana orang lebih mengutamakan kebebasan pribadi daripada nilai kolektif yang dijunjung dalam adat dan agama.
3. Distraksi dari Teknologi
Kehidupan digital sering kali membuat orang sibuk dengan gadget dan media sosial, mengurangi waktu untuk mendalami agama atau menjalankan tradisi adat.
4. Perubahan Pola Sosialisasi
Tradisi adat dan agama biasanya ditransmisikan melalui interaksi langsung, seperti pertemuan keluarga atau kegiatan keagamaan. Namun, pola sosialisasi ini tergantikan oleh interaksi virtual yang kurang mendalam.
5. Persepsi Agama dan Adat sebagai Kuno
Generasi muda sering menganggap adat dan agama sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman dibandingkan gaya hidup modern yang ditawarkan era digital.
6. Komodifikasi Nilai Tradisional
Nilai-nilai adat dan agama sering kali "dijual" dalam bentuk konten digital, yang kadang kehilangan esensi dan maknanya karena lebih mengutamakan daya tarik visual atau popularitas.
7. Polarisasi dan Konflik di Media Digital
Media sosial sering menjadi ajang debat atau konflik yang memperkeruh citra adat dan agama, sehingga malah menjauhkan orang dari nilai-nilai tersebut. Agar adat dan agama tetap relevan, penting untuk beradaptasi dengan cara memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan nilai-nilainya secara kreatif dan positif.
PENDEKATAN STRATEGIS DAN ADAPTIF
Untuk menjaga marwah adat dan syarak di Sumatera Barat dalam konteks kontemporer, diperlukan pendekatan strategis yang adaptif, mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan tantangan era modern.
1. Pendidikan Berbasis Adat dan Syarak
Integrasi Kurikulum: Memasukkan materi adat dan syarak dalam kurikulum sekolah formal. Misalnya, pelajaran tentang filosofi "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" secara kontekstual. Pendidikan Non-Formal: Mengaktifkan kembali surau sebagai pusat pendidikan informal untuk generasi muda.
2. Pemanfaatan Teknologi Digital
Platform Digital: Mengembangkan aplikasi, media sosial, atau situs web yang memuat nilai-nilai adat dan syarak dalam bentuk konten yang menarik, seperti video, podcast, atau infografis. Kampanye Positif: Melibatkan tokoh adat dan agama dalam kampanye digital untuk menguatkan citra adat dan syarak.
3. Revitalisasi Tradisi Adat
Penguatan Upacara Adat: Menghidupkan kembali tradisi adat seperti baralek, batagak pangulu, atau gotong royong dengan cara yang relevan bagi generasi muda. Pameran dan Festival Budaya: Mengadakan kegiatan rutin yang mengangkat seni dan tradisi Minangkabau, seperti tari, musik, dan randai.
4. Keterlibatan Pemuda
Komunitas Pemuda: Membentuk komunitas pemuda adat dan syarak untuk menjadi duta budaya yang aktif di masyarakat. Pelatihan Kader: Memberikan pelatihan tentang adat dan syarak kepada generasi muda agar mereka menjadi pewaris yang kompeten.
5. Kolaborasi dengan Pemerintah dan Lembaga Adat
Kebijakan Publik: Memastikan peraturan daerah (Perda) tetap selaras dengan nilai adat dan syarak, seperti Perda Nagari. Fasilitasi Kegiatan Adat: Pemerintah daerah mendukung kegiatan adat dengan pendanaan dan promosi.
6. Adaptasi Nilai dalam Kehidupan Modern
Perkawinan Nilai: Menyesuaikan adat dan syarak dengan realitas modern tanpa kehilangan esensi, seperti penerapan prinsip syarak dalam bisnis halal atau pengelolaan zakat berbasis teknologi. Pemikiran Progresif: Mendorong ulama dan tokoh adat untuk menginterpretasikan nilai adat dan syarak secara kontekstual terhadap isu-isu kontemporer.
7. Penguatan Peran Keluarga.
Keteladanan Orang Tua: Orang tua menjadi contoh dalam mempraktikkan adat dan syarak di rumah. Ritual Keluarga: Memperkuat tradisi seperti makan bajamba atau musyawarah keluarga sebagai bagian dari pembiasaan nilai-nilai adat. Strategi di atas diharapkan nilai adat dan syarak dapat tetap hidup, relevan, dan menjadi panduan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di era kontemporer.
Konklusi dari diskusi di atas bahwa Islam dan adat Minangkabau di era kontemporer masih ada, setidaknya dari seremonial, tradisi dan kebudayaan dalam makna terbatas. Sedangkan Islam dan adat dari sisi nilai, makna dan ajaran luhur yang di bawanya tenang mengalami ujian berat. Bertahan hidup dan berkembang ditentukan oleh pendukung adat dan pemeluk Islam yang ramah dengan adat. Patut diingatkan nilai, ajaran, norma dan etik yang ada dalam adat Minangkabau (ABS-SBK) adalah Islam wasathiyah, dan mengakomodasi perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Adalah keliru dan tidak dapat dikonfirmasi secara nilai, kultur dan tradisi bila ada digeneralisasi bahwa ABS-SBK berpotensi menimbulkan disharmoni atau intoleransi. Praktik hidup berdampingan umat lintas agama di Sumatera Barat dan diterimanya komunitas Minangkabau di belahan dunia dan Nusantara yang ditandai berdirinya Rumah Makan Padang, perantau Minang, dan pedagang kaki lima asal Minang yang dapat hidup bersama-sama suku, etnis, agama dan golongan yang berbeda adalah fakta sosiologis Islam dan adat Minang tetap eksis dan masyarakatnya harmoni dan toleran. DS.2612024.
*Pengkaji Islam dan Adat Minangkabau