Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

IPTEK BIT TAUFIQ Oleh: Duski Samad

Ilmu dan tekhnologi bit taufiq artinya ilmu dan tekhnologi yang dibimbing secara terintegrasi oleh ajaran ketuhanan (ilahiyah) dan ilmu pengetahuan (ilmiah). Ilmu pengetahuan dengan taufiq diperlukan dalam memilih dan menentukan ilmu yang dapat disebut ilmu bermanfaat dan ilmu yang dikategorikan tercela dan membawa kemudaratan. 

Era digital yang sebaran dan pembawa ilmu luar biasa luasnya, ada kecerdasan buatan (AI), ada aplikasi cepat dan murah menghasilkan ilmu, adalah tantangan yang semangkin memerlukan daya kritis dan selektif terhadap jenis ilmu pengetahuan dan praktik kehidupan yang seolah-olehnya ilmiah, tapi akal-akalan. 

Prinsip al-Qur'an ilmu dan teknologi itu pada dasarnya terbuka, netral dan boleh dipelajari semua orang, Allah mengajari Adam alaihisalam dengan semua bidang ilmu (QS. al-Baqarah (2):32). Islam menempatkan orang berilmu derajatnya begitu mulia (QS. al-Mujadilah, 11). Mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama adalah bahagian dari jihad (QS.al-Taubah, 122). 

ILMU '"ORANG PINTAR" 

Dalam masyarakat ada dikenal istilah orang pintar untuk menunjukkan pada seseorang yang ilmu lebih dari umumnya komunitas, namun ilmunya tidak jarang terjadi tidak dapat dikategorikan ilmu ilahiyah dan tidak pula disebut sebagai ilmu yang ilmiah. Ilmu paranormal yang mestinya sudah berakhir di era digital, tetapi justru terus melaju dengan perangkat teknologi moderen. 

Berkenaan dengan ilmunya orang pintar, paranormal, dukun, dan sejenisnya sejatinya sejak zaman Rasul juga sudah ada. Nabi bersama-sama sahabat berjalan dalam perkampungan, lalu sekelompok orang sedang berkumpul di hadapan orang yang bisa mengetahui nasib orang, disebut orang pintar, atau para normal. Sahabat bertanya bagaimana kedudukan ini ya Rasulullah, Nabi menjawab, Rasulullah s.a.w. bersabda:

قَلِيْلٌ مِنَ التَّوْفِيْقِ خَيْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ مِنَ الْعِلْمِ

“Sedikit taufiq (petunjuk) dari Allah jauh lebih baik daripada banyak memiliki ilmu (tanpa taufiq).” (1358).

إِنَّمَا الْعِلْمُ آيَةٌ مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ أَوْ فَرِيْضَةٌ عَادِلَةٌ

“Yang disebut dengan ilmu yang sebenarnya itu adalah ayat-ayat al-Qur’an yang tidak diragukan lagi kebenarannya, dan Sunnah Rasul yang kekal, serta hukum-hukum seputar kewajiban yang ‘adil (yang didasarkan kepada al-Qur’an maupun s-Sunnah).” (1325).

Ilmu yang terbimbing dan diarahkan oleh hidayah walau sedikit itu lebih baik dari ilmu yang tak dibimbing (taufiqi) dari ilahiyah dan ilmiah. Ilmu-ilmu pada dasarnya mesti bersumber dari ayat-ayat muhkmat (tegas dan jelas dalam nash), sunnah qaimah (pengalaman hidup Rasul) dan kewajiban yang dapat diterima akal, pengalaman dan jelas dalil-dalilnya. 

Era digital ilmu telah menjadi rusak oleh mereka yang menguasai ilmu yang tak dibimbing syariat. Ilmu computer yang tak bertaufiq menjadi alat untuk judi online, ilmu komunikasi menjadi perusak oleh penjahat dari penjara mengendalikan peredaran narkoba. 

Imam Al Ghazali sebagai tokoh yang menghidupkan ilmu-ilmu agama telah cukup mengkritisi dan memberikan bimbingan tentang ilmu. Ada yang disebut ilmu yang membawa taufiq (petunjuk) dan ada juga ilmu yang tak ada gunanya bahkan disebut mazmum (ilmu tercela). Bahasan ini terasa up to date terus, di era digital saat ini perkembangan ilmu ada yang membawa kemajuan dan juga tidak sedikit yang merusak kehidupan. Judi online, perdagangan narkoba digital adalah contoh ilmu yang merusak. Mudahnya komunikasi dengan perangkat digital contoh ilmu yang membawa kemajuan. Jadi terpuji dan tercelanya itu ditentukan bagaimana ilmu itu dipakai dan tujuan pemakaian.  

Dua hadis tentang ilmu dan taufiq di atas dikutip dalam pembahasan bab ketiga kitab ihya' ilat (alasan) ilmu yang dianggap oleh orang kebanyakan sebagai terpuji, padahal sebenarnya tidak (yakni tercela).

Penjelasan yang menyebabkan ilmu itu menjadi tercela, serta batasan atas ilmu yang terpuji maupun tercela. Juga penjelasan di seputar penggantian nama menjadi Fikih, Tauhid, Ilmu Tadzkir dan Hikmah.” Ilmu tidak dianggap tercela kecuali karena salah satu dari tiga alasan berikut ini: 

Pertama: 

Ilmu akan jatuh pada tercela, jika orang yang menguasai ilmu itu membawa kepada kesengsaraan dan kebinasaan orang lain (dhirar). Contohnya adalah ilmu sihir, perdukunan, dan segala sesuatu yang menggunakan mantera. Ilmu-ilmu semacam ini benar-benar ada, sebagaimana di dalam al-Qur’an juga dinyatakan tentang keberadaannya. Malaikat Jibril a.s. yang memberitahukan kepada Rasulullah mengenai persoalan sihir ini. Adapun benda yang dipergunakan sebagai perantaraan masuknya ilmu sihir kepada diri beliau.

Sedangkan ilmu yang diperoleh pengetahuan tentang batu-batu mulia dan perhitungan matematis di seputar kedudukan dan saat bintang-bintang terbit (Ilmu geologi dan astronomi) ilmu itu tidaklah tercela. Karena keberadaan ilmu itu sendiri, akan tetapi lebih disebabkan pada hak manusia yang keliru di dalam menggunakannya. Yakni, bisa menyebabkan retaknya hubungan antara dua orang yang sebelumnya bersatu, disebabkan hak salah satu di antara keduanya telah dilanggar oleh yang lain.

Kedua: 

Jika suatu ilmu menyebabkan banyak penderitaan dan kebinasaan bagi pemiliknya, maka ia merupakan ilmu yang tercela. Seperti pada ilmu astronomi masih bercampur dengan ilmu astrologi, atau biasa disebut sebagai ilmu nujum (perbintangan). Ilmu astronomi itu sendiri terdiri dari dua macam, yaitu: yang berhubungan dengan matematika dan perhitungan waktu.

وَ الشَّمْسُ وَ الْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.” (ar-Raḥmān [55]: 5).

وَ الْقَمَرُ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ

“Mengenai bulan, Kami tetapkan manzilah-manzilah (tempat-tempat) baginya, hingga kembalilah ia seperti bentuk mayang yang menua.” (Yāsīn [36]: 39).

Sedangkan astrologi berhubungan dengan aktivitas meramalkan sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang. Di mana sebagian dari tandanya adalah, bahwa kejadian-kejadian pada masa mendatang ditunjukkan oleh sebab-sebab yang terjadi sekarang. Karena itu, ilmu tentang meramalkan sesuatu ini dapat didefinisikan sebagai usaha untuk mengetahui sebab-sebab hukum dan perintah Allah s.w.t. yang terkait dengan ciptaan-Nya pada masa yang belum diketahui.

Syari‘at menyatakan bahwa ilmu mengenai urusan meramal kejadian pada masa mendatang itu sebagai ilmu yang tercela (dilarang mempelajari atau menggunakannya). Sebagaimana Rasulullah s.a.w. sendiri pernah bersabda (berpesan) kepada para sahabat beliau:

إِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوْا، وَ إِذَا ذُكِرَتِ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا، وَ إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِيْ فَأَمْسِكُوْا

“Ketika taqdir Allah disebutkan, maka berhati-hatilah kalian. Pada saat ilmu mengenai bintang-bintang (ramalan) disebutkan, maka berhati-hatilah kalian. Dan ketika – keburukan – sahabat-sahabatku disebutkan, juga berhati-hatilah kalian.” (1292).

Juga pada sabda Rasulullah s.a.w. lainnya:

أَخَافُ عَلَى أُمَّتِيْ بَعْدِيْ ثَلَاثًا: حَيْفُ الْأَئِمَّةِ وَ الْإِيْمَانُ بِالنُّجُوْمِ وَ التَّكْذِيْبُ بِالْقَدْرِ

“Aku khawatir tiga hal menimpa umat sesudahku, yaitu: [umatku akan dikuasai oleh] para penguasa yang zhalim, [mereka] percaya (gemar) kepada ilmu meramal, dan [nyaris] tidak percaya kepada taqdir Allah.” (1303).

‘Umar bin Khaththab r.a. pernah berkata: “Pelajarilah ilmu perbintangan sebatas yang dapat kalian pergunakan untuk menunjukkan arah bagi kepentingan kalian, baik itu di darat maupun di laut; namun, jangan lebih dari itu.”

Ada tiga sebab mengapa ilmu perbintangan dilarang 

Ia memberi kemudharatan bagi kebanyakan orang, karena di dalam pikiran mereka tertanam bahwa bintang-bintanglah yang mempengaruhi berbagai kejadian, hingga karenanya di antara mereka banyak yang kemudian menyembah bintang-bintang (ditakuti). 

Sedangkan orang yang bijaksana mengetahui, bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk serta patuh hanya kepada perintah Allah s.w.t. Kedua, ilmu meramal dengan menggunakan bintang-bintang adalah pekerjaan yang semata-mata perkiraan semata. Ia diberi sebutan sebagai ilmu yang tercela karena putusannya didasarkan pada kejahilan.

Suatu kali Rasulullah s.a.w. berjalan di dekat seorang laki-laki yang dikelilingi oleh banyak orang di sekitarnya. Beliau bertanya: “Siapakah laki-laki ini? Mengapa begitu banyak orang mengitarinya?” Para sahabat menjawab: “Ia adalah seorang yang sangat pandai.” Nabi s.a.w. bertanya kembali: “Pandai dalam hal apa?” Mereka menjawab: “Tentang sya‘ir dan silsilah ‘Arab.” Nabi kemudian bersabda: “Ilmu tersebut tidak berguna, dan ketidaktahuan tentang kedua urusan itu tidak akan membawa mudharat apa pun.” (1314).

Jadi, dapat kita simpulkan di sini bahwa perbincangan mengenai ramal-meramal dan ilmu-ilmu sejenisnya adalah pekerjaan yang bernilai sia-sia.

Ketiga: 

Bahwa suatu ilmu itu tercela justru karena tidak bermanfaat bagi orang yang memilikinya. Misalnya mempelajari ilmu yang sama sekali tidak bermanfaat sebelum memiliki ilmu yang justru sangat dibutuhkan dan cukup penting untuk segera dipahami. Atau, dengan kata lain dapat dikatakan di sini, dengan mempelajari cabang-cabang ilmu sebelum menguasai ilmu-ilmu yang pokok. Bahkan, tidak mengetahui ilmu-ilmu yang bersifat pendukung seperti itu dalam beberapa hal justru menguntungkan jika dipahami dari kisah berikut:

Suatu hari, seseorang mengeluh ke hadapan seorang dokter bahwa istrinya mandul, dan ia tidak akan bisa mengandung. Sang dokter memeriksa denyut nadi si istri beberapa lama, lalu berkata kepadanya bahwa ia akan meninggal dunia dalam masa 40 hari ke depan. Wanita itu sangat takut dan memberikan semua hartanya kepada orang banyak, lalu ia menjalani sisa hidupnya selama 40 hari tanpa makan maupun minum. Setelah rentang waktu itu berlalu, suaminya datang kepada sang dokter dan mengatakan bahwa istrinya sampai detik itu masih hidup. Sang dokter pun berkata: “Sekarang berhubungan badanlah dengan istrimu, niscaya engkan akan mempunyai anak.” Sang suami pun mengajukan pertanyaan kepada dokter: “Mengapa bisa demikian, dok?” Jawab sanga dokter: “Sebab, aku melihat kondisi fisik dari istrimu sangat gemuk, dan lemak telah menutupi mulut rahimnya. Dan, semua itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menerapinya melalui perasaan takut mati. Hingga si istri pun menjadi kurus, dan siap dibuahi.”

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini adalah, bahwa ketidaktahuan seseorang kadang-kadang berdampak baik baginya. Ketidaktahuan terhadap beberapa cabang ilmu ternyata lebih baik bagi seseorang yang tidak membutuhkannya. Sebagaimana dijelaskan melalui hadits berikut ini. Nabi s.a.w. bersabda:

نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ

“Kami berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (1336).

Oleh karena itu, janganlah kita membicarakan ilmu-ilmu yang dalam aturan syari‘at dinyatakan tidak berguna. Ada banyak ilmu yang apabila diselidiki lebih mendalam justru akan membinasakan dan menyengsarakan penuntutnya.

Sebagaimana pada riwayat lainnya dijelaskan, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

إِنَّ مِنَ الْعِلْمِ جَهْلًا وَ إِنَّ مِنَ الْقَوْلِ عِيًّا

“Sesungguhnya sebagian dari ilmu yang ada (berkembang) itu merupakan bagian dari kejahilan, dan atau sebagian dari penjelasan yang disampaikan menjadi bagian yang tidak membawa arti (pengaruh) sesuai yang dibutuhkan.” (1347).

Yang dimaksudkan di sini adalah, disebabkan kejahilan pemiliknya, maka ilmu yang ada justru membuat pihak lain tidak bisa memahami atas kemauan atau tindakan pemiliknya dengan menyalahgunakan ilmu ke arah yang justru bertentangan dengan kehendak ilmu itu sendiri, yaitu; membawa kemaslahatan bagi semua pihak.

Nabi Allah ‘Isa a.s. pernah mengatakan: “Alangkah banyak pohon yang batang dan rantingnya tidak mengeluarkan buah-buahan. Juga alangkah banyak ragam buah-buahan, namun tidak semuanya bisa dinikmati. Begitu pula dengan banyaknya ilmu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, walau tidak seluruhnya mendatangkan manfaat bagi pemilik maupun pencarinya.”

Konklusi bahwa ilmu prinsipnya netral, tujuan, ilmuwan dan daya gunanya di masa depan menjadikan ilmu terpuji. Tercelanya ilmu bukan disebabkan ilmu itu sendiri, tetapi ditentukan alasan bagi pemiliknya dan manfaatnya bagi kebaikan untuk semua dan semesta.

Islam mendorong umatnya untuk terus belajar dan berilmu.Ilmu tanpa dibimbing taqwa menimbulkan kemudaratan dan tercelanya ilmu dan ilmuwannya. Ilmu dapat membawa kesesatan, dan kemudaratan ketika ilmuwan dan ulamanya tidak diyakini jiwa agamanya. 

Korupsi dilakukan oleh orang berilmu yang bangkrut taqwa. 

Perang dan pembunuhan terhadap bangsa (gnosida) terjadi ketika ilmuwan, dan pemegang kuasa bangkrut taufiq, (ilmiyah yang tidak dibimbing ilahiyah). Budaya korupsi terjadi adalah hasil dan buah dari sekulernya pembelajaran, dan pembiasaan yang membiarkan dikhotomi ilmu. ayo integrasikan ilmu dan taufiq. DS. @17122024

*Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin Wisma Indah Siteba Padang, Selasa, 17 Desember 2024



Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies